4

46 6 3
                                    

"Habis ini kita bakal masuk SMA ya ...," ujar Sakhi dengan nada bicara yang sendu.

Tinggal menghitung minggu hingga waktu kelulusan mereka tiba. Tak lama lagi mereka akan melanjutkan langkah mereka masing-masing untuk menggapai mimpi mereka.

"Iya, Sak. Kita pisah deh ...," timbrung Cia. Perempuan itu memilih untuk bersekolah di SMA Negeri yang dekat dengan rumahnya. "Tapi kamu enak ada temen, gue sendiri nih," gerutunya.

Sakhi menautkan alisnya. "Juan? Aku kan gak deket-deket amat sama Juan, udah gitu pas masuk SMA pasti banyak temen yang selevel. Jadi makin kesingkir deh," ujar Sakhi pasrah.

Diam-diam Juan mendengar obrolan dua perempuan itu walaupun telinganya tertutup oleh earphone yang memutar lagu pop. Lantas ia mengecilkan volume lagunya.

Lelaki itu sedikit salah tingkah melihat kepasrahan Sakhi yang membayangkan kalau perempuan itu jauh darinya. Apakah perempuan itu juga menaruh rasa kepadanya?

"Ya bukan apa-apa, cuman aku pasti jadi susah nanya soal ke dia. Message aku pasti tenggelem sama cewek-cewek yang ngedeketin dia."

Setelah mendengar perkataan Sakhi tadi membuat Juan seolah-olah dihantam oleh batu kenyataan. Sakhi hanya menganggapnya sebagai teman yang bisa dihubungi setiap perempuan itu kesusahan mengerjakan tugas.

Sepertinya ia harus berhenti berekspektasi tinggi terhadap perempuan itu. Tetapi sebenarnya perempuan itu tidak usah khawatir pesannya akan tenggelam karena Juan telah menyematkan room chat dirinya dengan Sakhi di paling atas.

"Aku berani taruhan kalo nanti Juan bakalan dapet pacar yang hits terus stylenya kayak selebgram," ujar Sakhi percaya diri.

Juan menyunggingkan senyumnya. "Salah," gumamnya seolah dirinya sedang menanggapi perkataan perempuan yang sedang duduk di kursi milik guru bersama dengan beberapa temannya.

"Juan!"

Mendengar namanya dipanggil membuat pergerakan Juan menjadi cepat setara dengan kecepatan cahaya. Tangannya melepas paksa earphone yang teratur di telinganya.

Juan menoleh ke sumber suara. "Iya kenapa?" balasnya. Lagi-lagi jantungnya berdegup kencang, ia sangat tidak suka dengan perasaan ini.

"Tipe kamu yang kayak gimana?" tanya perempuan yang sedari tadi membicarakan Juan. "Aku cuma nanya ya, gak ada maksud apa-apa," lanjutnya menghindari kesalahpahaman.

"Kenapa nanya begitu?" tanya Juan. Ia sudah terbayangkan satu perempuan yang merupakan tipe idealnya, tapi ia tidak akan memberi tahu semudah itu.

"Gapapa, aku kepo aja," balas Sakhi.

"Rambut panjang, pinter, pendiem," jawab Juan. Ucapannya tadi sangat bertolak belakang dengan tipe idealnya yang asli. Tidak mungkin ia mendeskripsikan Sakhi di depan perempuan itu langsung. Bagaimana kalau perempuan itu menyadarinya? Ia tidak mau menahan rasa malu itu.

Lantas Sakhi menganga, ia menoleh ke arah salah satu temannya lalu mengarahkan telunjuknya. "Lea ya?!" tanyanya dengan mata yang terbelalak.

Perempuan yang Sakhi tunjuk membantah. "Ih mana mungkin, Sakhi! Aku kan gak pinter-pinter amat," ujar perempuan berambut panjang yang bernama Lea.

Setelah dipikir-pikir, tipe ideal yang Juan sebutkan tadi memang cocok dengan Lea. Perempuan itu memiliki rambut yang panjang dan pintar. Perempuan itu juga pendiam. Juan hanya bisa mengembuskan napasnya kasar setelah menyadari kesalahannya. Niatnya ingin menghindari salah paham malah menimbulkan kesalahpahaman yang lain.

"Ciee, Lea! Ternyata Juan selama ini tipenya kayak Lea ya," goda Sakhi sambil menyikut lengan Lea. Wajah perempuan yang digoda memerah seketika. Jujur saja, siapa yang tidak salah tingkah jika mengetahui lelaki yang disukai banyak orang ternyata menyukai dirinya?

KanigaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang