22

23 5 0
                                    

"Juan?"

Lelaki itu terkesiap, sadar dari lamunannya. Ia menoleh ke arah perempuan yang semula mengayunkan tangan di depan wajahnya. "Sorry, May. Gue bengong lama banget ya?" ujar Juan kikuk.

Mayumi mengangguk pasrah. "Bukannya gue jahat sama lo, tapi semoga lo bisa fokus dan nganggep proker kita sama pentingnya sama urusan lo yang gue yakin juga penting sih."

Juan mengangguk pelan. Sudah kesekian kalinya ia tertangkap melamun di tengah agenda penting salah satunya pada rapat divisi sore ini. Bukan keinginannya untuk mengabaikan rekannya, tetapi cabang di pikirannya semakin lama semakin bertambah dan memecah fokusnya.

Waktu terus berjalan, hingga rapat selesai, lelaki itu sebenarnya masih tenggelam dalam pikirannya. Ia bahkan tidak mengucapkan apa-apa sebelum meninggalkan ruangan, meninggalkan rekannya dengan perasaan heran di benak mereka.

"Juan!"

Pekikan kencang itu menarik Juan untuk menoleh ke belakang. Mendapati Mayumi yang menyodorkan botol minum milik lelaki itu. "Eh, makasih banget, May. Gue gak nyadar botol gue ketinggalan," ucap Juan gelagapan.

Tidak segera pergi, Mayumi diam sejenak memerhatikan lelaki di hadapannya. Wajahnya tidak pucat, suaranya pun tidak serak. Dilihat dari sisi manapun tidak ada tanda kalau Juan sedang sakit, tapi kenapa tingkahnya melebih-lebihi seseorang yang sedang terserang virus ganas?

"Lo lagi ada masalah apa? Mungkin gue bisa bantu, Ju," ujar Mayumi, lebih halus dibanding saat sedang rapat tadi.

Juan menggeleng seraya menyunggingkan senyumnya sekilas. "Sorry banget, May. Gue gak akan begini lagi ke depannya, janji."

Mayumi memasang wajah skeptis. "Bener ya? Kalo lo ketauan bengong lagi, gue aduin ke Sakhi."

Mendadak mata Juan melebar. "Kok Sakhi?"

"Ya ... siapa lagi dong kalo bukan Sakhi? Gue gitu?" balas perempuan itu lalu tertawa remeh. "Intinya kalo lo emang butuh bantuan, buruan minta bantuan. Jangan sok gede, ngira apa-apa bisa sendiri."

Perempuan itu melenggang pergi begitu saja, meninggalkan Juan yang sekarang memikirkan hal baru. Kenapa mendadak semua orang menganggap dirinya dan Sakhi memiliki hubungan erat? Bukannya tidak senang, hanya sedikit aneh saja rasanya.

Lelaki itu membuka ponselnya, memesan ojek online. Kali ini tujuannya tidak langsung ke rumah. Ada tempat yang ingin ia kunjungi terlepas dari rasa takutnya yang terlampau tinggi. Maaf untuk Mayumi ia ucapkan dalam hati, kali ini ia harus "sok gede" dan mencari tahu apa yang harus ia ketahui.

Perjalanan singkat yang cukup mendebarkan mengantarkan Juan ke pinggir jalan raya. Motor berhenti di sebuah bengkel kecil seberang gerbang Perumahan Manawari. Ia segera turun lalu berjalan menyusuri gang di sana, sepi dan cukup gelap mengingat waktu sudah hampir jam lima sore.

Juan kembali lagi ke tempat ini. Sebuah rumah kosong, tempat ia menangkap ayahnya dan rekan kerjanya berbincang di dalam. Tempat di mana ia melihat hal yang ia pikir tidak pernah ada.

Juan masuk melalui pintu belakang, menuju ruang tengah seperti apa yang ia lakukan saat pertama kali mengunjungi rumah ini. Bercak darah yang saat itu membuatnya hampir muntah tidak lagi mengotori ubin rumah. Barang-barang pun tidak lagi berserakan. Ia melirik ke arah ruang kecil yang pintunya terbuka. Kotak-kotak bertumpuk pun tidak ada lagi di sana.

Rumah ini seperti rumah yang berbeda. Terlalu jelas perbedaannya sampai Juan merasa salah masuk ke rumah warga. Tangannya merogoh saku celananya, mengambil ponselnya lalu mengambil gambar setiap titik rumah ini dengan tergesa-gesa.

"Kamu ngapain di si—"

"AAAAAH!"

Bisa dibilang ini adalah pekikan pertama Juan tahun ini. Lelaki itu hampir lupa cara bernapas saat berhadapan dengan seorang pria berjaket hitam dan berkacamata. Ia tidak tahu apakah pria itu salah satu kenalan ayahnya atau hanya orang penasaran sama sepertinya.

"Saya Farid, polisi yang bertugas untuk menyisir daerah Manawari dan sekitarnya." Pria itu mengangkat nametag yang semula menggantung di lehernya. Aman untuk mengasumsikan bahwa pria itu sama sekali tidak berada di pihak yang merugikan.

"Saya Juan, Pak. saya sekolah di SMA Belamour," balas Juan. Ia merasa ia juga harus memperkenalkan diri.

"Bikin konten uji nyali?" tanya Pak Farid, cenderung menebak tujuan aksi Juan menyorot rumah ini dengan kamera ponselnya.

Juan menggeleng kaku. "Enggak, Pak. Saya cuma mau abadiin rumah ini."

"Kenapa? Ini rumah kamu?"

Lagi-lagi Juan menggeleng. Kali ini ia tidak tahu harus beralasan apa. Semua jawaban terasa serba salah dan berpotensi menjatuhkannya ke lubang masalah. Ia hanya bersitatap dengan polisi di hadapannya, berharap pria itu menganggapnya bocah iseng lalu menyuruhnya untuk pergi.

Sayangnya tidak. Pria itu menunggu Juan menjawab pertanyaannya sembari mengedarkan pandangannya ke setiap sudut rumah itu. Pria itu mengabaikan Juan yang sudah keringat dingin, membuatnya sedikit curiga dengan pemuda di hadapannya.

"Rumah ini mencurigakan, Pak. Saya pernah ke sini beberapa waktu yang lalu, tapi penampakannya gak kayak gini, lebih berantakan dan banyak darah."

Seluruh kesadaran pria itu mendadak berkumpul. Tanpa waktu lama mereka berdua sepakat untuk saling memudahkan satu sama lain. Juan memberikan dokumentasi rumah kosong yang ia ambil saat itu kepada Pak Farid, membiarkan pria itu menganalisis gambar-gambar yang ada.

"Keluarga kakak kelas saya ada yang hilang, terakhir ditemukan di sini. Jadi saya coba buat lihat-lihat gang ini," ujar Juan memberi penjelasan lebih lanjut.

"Kamu dekat sama kakak kelas kamu itu?" tanya Pak Farid.

Juan mengangguk. "Dia mentor saya, mentor MOS."

Pak Farid masih sibuk menggulir foto demi foto, sedangkan Juan berdiri kaku di depannya. Entah beruntung atau sial menjadi Juan hari ini. Ke depannya, cabang di otaknya akan tumbuh sekitar seratus lagi. Lamunannya pecah saat ia mendapati Pak Farid menggulir fotonya terlalu jauh ke belakang hingga menampakkan foto dirinya yang diambil sangat dekat dengan kamera ponselnya untuk dikirim ke sang bunda beberapa menit sebelum perlombaan paskibra dimulai.

"Eh, Pak! Itu foto-"

Pak Farid terkekeh. Ia mengembalikan ponsel itu kepada pemiliknya. "Saya boleh minta nomor telepon kamu? Juga kirim foto rumah ini yang ada di HP kamu ke saya, bisa?" pinta pria itu.

Sejak Juan mengaku kalau ia memiliki foto rumah tua yang ia pijak saat ini, ia sudah menerima takdir kalau ia akan terseret dalam kasus kehilangan orang di kota ini. Juan hanya ingin tidak ada keluarga yang harus kehilangan anggotanya lagi, setidaknya di kota ini.

"Bisa, Pak."

《《《 》》》

《《《 》》》

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
KanigaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang