15

20 5 0
                                    

Juan terdiam di atas sofa. Ekor matanya memperhatikan sang ayah yang tengah fokus menatap laptopnya di meja kerja yang berdekatan dengan ruang televisi.

Tanpa sadar Juan memasang wajah murung yang bisa disadari oleh kedua orangtuanya jika mata mereka melihat wajah itu. Sayangnya mereka belum melihat wajah murung anak semata wayangnya.

Ia meninggalkan ponselnya di kamar. Ia tidak ingin berbincang dengan siapa pun terutama teman-temannya yang mengetahui nilai evaluasinya. Bukan jelek, tapi ya ... cukup tidak memuaskan.

Tidak. Sebenarnya sangat jelek sampai Juan tidak kuat memandangi angka yang seperti nomor sepatu orang dewasa yang tertulis di kolom nilai.

Kirana mencuri pandang ke arah anaknya dari lapangan kecil di belakang rumah yang dijadikan tempat mencuci dan menjemur pakaian. Tidak begitu jelas seperti apa raut wajah Juan karena penglihatannya yang tidak begitu bagus.

Dengan cepat wanita itu menyelesaikan pekerjaannya dan mendekati Juan. Semakin dekat semakin jelas raut wajah murung anak itu. Kepalanya sibuk berpikir ada apa dan apa cara terbaik untuk menghibur Juan.

"Laper, Nak?" tanya wanita itu di tengah langkahnya.

Juan menggeleng. "Enggak."

Pikiran wanita itu semakin semrawut memikirkan apa saja masalah remaja masa kini yang terjadi pada anak laki-lakinya. Ia khawatir tidak bisa mengerti keadaan Juan dan berakhir mengeluarkan kalimat yang salah.

"Lagi ada masalah di sekolah? Juan berantem sama temen? Kenapa, Nak? Cerita sama bunda," rayu wanita itu lembut.

Juan menundukkan kepalanya. Ia malu untuk menunjukkan sisi lemahnya di hadapan orangtuanya. Ia merasa gagal menjadi anak yang bisa dibanggakan.

"Itu ... nilai eval kimia Juan jelek. Eval fisika Juan remedial juga," lirih lelaki itu.

Kirana mendengarkan keluh kesah sang anak yang kesulitan untuk mengejar materi dan mengatur waktu belajar dan mengerjakan tugas, ditambah Juan sudah menjadi anggota OSIS sekarang.

Kirana juga pernah menjadi pelajar, ia tentu tahu bagaimana tertekannya saat mendapatkan nilai yang tidak sempurna dan kewalahan mengerjakan tanggung jawab yang lain.

"Bunda paham Juan kecewa berat. Bunda paham Juan malu sama diri Juan sendiri, bunda paham banget." Wanita itu menyisir rambut sang anak dengan jari jemarinya.

"Kalau Juan mikir Juan nyesel karena gak belajar lebih rajin sebelum evaluasi, bunda rasa Juan salah." Dengan kalimat itu Kirana berhasil menarik perhatian Juan untuk mendengarkannya.

"Faktanya, Juan udah lakuin yang terbaik dengan kemampuan yang Juan punya waktu itu."

Ini bukan pertama kalinya Juan terkesiap dengan kalimat bundanya. Kabut hitam di benaknya perlahan menghilang seraya ia mendengarkan bundanya berbicara.

"Apa pun hasilnya, kalau itu atas kerja keras Juan sendiri, Juan pantes buat bangga dan seneng," ujar wanita itu dengan senyum manisnya.

Juan tertawa kecil. Entah kenapa ia merasa malu sekarang. Semua kekhawatirannya beberapa waktu lalu terasa sangat aneh dan berlebihan. Lantas lelaki itu memeluk sang bunda demi menutupi rasa malunya.

Kirana tertawa geli. "Mending siram bunga matahari di luar tuh sekalian healing," perintahnya.

Juan melonggarkan pelukannya dan menatap Kirana sengit. "Bunda keren banget tau healing."

Tawa Kirana semakin pecah. "Iya lah! Kamu bisa-bisanya ngeremehin bunda!" protesnya tidak terima.

"Kan Juan cuma ngomongg!" balas lelaki itu bersamaan ia melarikan diri dari sang bunda dan pergi ke teras rumah.

Lelaki itu mengambil selang dan menyambungkannya ke keran air. Ia mulai menyirami tanaman yang ada di sana, termasuk satu pot kecil yang sudah mulai tumbuh tunas bunga matahari miliknya.

Sambil menyiram pohon jambu, mata Juan tidak lepas dari pot kecil yang diletakkan di meja teras. Ia membayangkan dirinya sedang memberikan bunga matahari itu kepada seseorang.

Seketika Juan teringat satu hal. Saat ia memberi tahu nilai evaluasinya kepada perempuan yang duduk dekat dengannya. Perempuan itu terkejut, sangat terkejut. Juan ingat matanya dan mulutnya yang membulat sempurna.

"Ternyata Juan masih manusia!"

Terlepas dari kegemasan perempuan itu, Juan menyadari satu hal. Beberapa tahun ini ia menganggap dirinya robot yang harus selalu sempurna, mengabaikan fakta kalau ia adalah manusia yang pada dasarnya bisa gagal dalam suatu hal.

"Gapapa, Juan. Kan nanti remedialnya bareng!"

Dibanding lega karena nilainya tidak jauh di bawah KKM, Juan lebih merasa lega karena Sakhi tidak sepenuhnya berubah. Bahkan Juan merasa semakin dekat dengan perempuan itu. Ia merasa tidak harus menunjukkan sisi terbaiknya di hadapan Sakhi.

Lelaki itu mengakhiri kegiatan menyiram tanamannya lalu kembali ke kamarnya setelah membersihkan kaki dan tangannya. Ia membuka ponselnya, membaca pesan-pesan yang masuk sambil duduk di kursi belajar.

cowo doang

galang
| guys gue udah yakin
daffa
| yakin opo
galang
| nembak
januar
| nembak apa
| udah gila lo
galang
| nembak sakhi lah
bagas
| kick aja si galang @ admin
| beneran udah gila ternyata

Juan membaca dua kata itu berkali-kali, berharap matanya salah. Jantungnya berdegup tidak normal. Ia bisa merasakan sesuatu akan hancur tak lama lagi.

Dengan beraninya Galang mengumumkan kalau dia akan menembak Sakhi di grup yang isinya murid laki-laki kelas 1A. Sejak awal ternyata lelaki itu tidak bercanda dengan ambisinya.

Seharusnya ia tidak perlu memikirkan ini. Ia bahkan tidak ingin menjalin hubungan terlepas rasa sukanya kepada Sakhi, namun tidak bisa dipungkiri kalau Juan sedikit terpelatuk.

cowo doang

hahaha good luck aja deh |

Juan melempar ponselnya pelan ke meja belajarnya. Pandangannya terasa gelap, ada sesuatu yang menyeruak di benaknya. Ia berusaha untuk menenangkan dirinya yang kelewat panik.

Cepat atau lambat, Juan harus menarik rasa sukanya kepada Sakhi.

《《《 》》》

《《《 》》》

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
KanigaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang