"Apapun yang terjadi ke depannya, itu sudah alur cerita yang ditulis Tuhan untukku. Jadi, aku mohon jangan salahkan Tuhan atas semua ini. Jika kamu tahu akhir dari alur cerita dalam suatu buku, kamu tak akan pernah mau membaca buku itu. Dan kita mungkin tak akan pernah bersatu jika diibaratkan buku itu."
***
KRATAKK... KRATAKK... KRATAKK...
Suara roda brankar dorong yang digunakan untuk mengangkut pasien darurat, tengah melaju kencang di koridor rumah sakit dengan nuansa putih. Roda yang bergesekan dengan ubin keramik yang bersekat kecil menimbulkan suara yang cukup memekakan telinga siapa saja yang ada di sana.
Di atas brankar dorong itu sudah terbaring seorang wanita cantik yang tengah menahan sakit di perutnya dan berusaha untuk tidak tertutup atau hilang sadar. Sementara itu di samping kanan dan kirinya Gerald dan Aldy membantu dokter dan perawat mendorong kereta dengan sekuat tenaga hingga peluh memenuhi wajah, leher, hingga tubuh mereka.
Sampai di ruang operasi, Gerald dan Aldy dipaksa berhenti dan diminta untuk menunggu di luar. Aldy terlihat berkacak pinggang sambil mengatur pernapasannya agar kembali normal. Gerald menatap Aldy yang terlihat frustasi dan takut akan kemungkinan-kemungkinan terburuk di hari ini.
Aldy duduk di salah satu kursi tunggu dan menutup wajahnya dengan kedua tangan yang ia tumpukan pada kedua lututnya. Gerald menghela napas, ia sudah bisa menebak akhirnya akan bagaimana. Namun, hal itu tidak membuat Gerald berhenti untuk berdo'a dalam hati agar Lui dan bayinya bisa selamat.
"Gue gak becus banget jadi suami," ucap Aldy menyadari kelalaiannya.
Gerald diam saja, setuju dengan ucapan Aldy yang menyadari sifat lalai dan kurang perhatian kepada istrinya sendiri. Gerald menepuk pundak Aldy sekali lalu meremasnya pelan untuk menyalurkan sedikit kekuatan yang ia miliki kepada sahabatnya.
"Gue yakin, Lui bisa lewatin semuanya, dan tugas lo sekarang harus berdo'a buat keselamatan istri lo sendiri," ucap Gerald memberikan masukan ke kepala Aldy yang sudah buntu.
Aldy mengangguk-angguk paham, helaan napas berat keluar dari mulutnya. Air mata ternyata sudah membasahi pelupuk matanya hingga pipinya, terlihat bekas selat kecil di sana. Gerald sedikit terkejut menyadari kalau sahabatnya itu menangis sekarang.
Karena Gerald tahu persis bagaimana sosok Aldy, sahabatnya itu tidak akan mengeluarkan air matanya dengan cuma-cuma untuk hal-hal yang menurutnya tidak penting. Jika Aldy sudah menangis, maka alasan di balik titik-titik air mata itu sangatlah berarti untuknya.
***
Sudah hampir dua jam lebih Lui masih ada di ruangan IGD dan tidak kunjung keluar atau mendapat kabar dari dokter. Kedua orang tua Lui dan juga Aldy sudah berkumpul di depan IGD untuk menengok keadaannya.
Dengan perasaan cemas, ketar-ketir, dan sedih sekaligus senang. Tak lupa mereka panjatkan do'a untuk keselamatan Lui dan juga calon bayinya. Aldy berdiri di pojokan samping pintu IGD tersebut masih dengan tatapan mata yang cemas dan khawatir sembari menggigit-gigit jarinya untuk mengurangi rasa gugup.
Gerald lagi-lagi menghela napas berat, ia masih saja menjadi sesosok pengecut yang tidak bisa mengungkap kebenaran tentang Lui kepada sahabatnya itu. Sungguh, Gerald tidak tega untuk memberitahu berita besar itu kepada Aldy dan keluarganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Astheneia 2: End With You
Romansa(SEQUEL ASTHENEIA) Kembali lagi dengan mereka berdua.. Mereka yang seperti matahari dan salju.. Mereka yang seperti tetesan air hujan dan batu.. Mereka yang sekarang telah bersatu dalam hangatnya cinta.. Dan mereka yang sekarang telah bersatu karena...