PACIS | 23

145 33 2
                                    

Isak tangis terdengar jelas. Malam itu Rizky tak tau harus melakukan apa, yang jelas ia harus menemani Syifa sampai perempuan itu benar-benar merasa tenang.

Pukul 10 malam, Rizky masih membelah jalan dengan motornya.

Syifa menangis di boncengan, ia tak menyangka akan bertemu keluarganya lagi. Ia sudah berusaha melupakan mereka namun mengapa saat semua sudah berjalan baik-baik saja, mereka datang dan membawa luka lama 'tuk hadir kembali?

Syifa tak mau keberadaan dirinya kembali tercium. Ia tak mau bersama dengan orang-orang jahat itu.

Kemudian sirine ambulan terdengar memekik telinga malam itu. Rizky menepi bersamaan dengan motor-motor lain. Syifa berusaha menenangkan dirinya lagi yang walau sebelumnya berakhir sama, kembali hanyut dalam kesedihan.

Rizky menatap Syifa dari pantulan kaca spionnya. Terlihat perempuan itu mengusap air matanya sendiri dengan tangan. Rizky bangun perlahan agar motor tetap seimbang, kemudian berdiri di samping perempuan itu. Syifa ikut memiringkan badannya agar keduanya berhadapan.

Tanpa kata Rizky mengambil alih pipi itu. Ia hapus dengan ibu jarinya. "Syif, udah malem... Aku antar pulang sekarang, gapapa?"

Syifa menggeleng. "Boleh ngga ka-ka-kalo aku minta waktu ka-kamu sebentar lagi?"

Kamu bisa mengambil seluruh waktuku, Syifa. Batinnya. "Boleh, Syif."

"Aku mau ke te-tempat tadi sore."








Pukul 10 lewat 20 menit, keduanya sudah terduduk di pinggir rel kereta. Di sana remang dan satu-satunya sumber penerangan adalah kedai pancong. Rizky sempat membelikan satu pancong matang dengan topping cokelat keju, namun pancong itu masih utuh di tangannya karena Syifa belum jua tertarik.

"Aku pengen denger cerita kamu, Syif... Itupun kalo kamu mau nyeritainnya." Rizky mengucapkan dengan begitu pelan, bahkan terbawa angin namun untungnya Syifa mendengar itu.

Ia menoleh, menatap Rizky. "Eum, ka-kamu tau ngga kalo semua orang di dunia ini pu-punya masa lalu yang begitu buruk? Yang menyakitkan."

Rizky menatap Syifa kemudian mengangguk. Matanya berkaca-kaca, entah kenapa sakitnya ikut ia rasakan. Apa itu yang namanya tali cinta?

"Aku udah berusaha untuk melupakan mereka, ta-tapi kenapa di saat aku udah menjadi lebih baik, mereka datang lagi?"

"Emangnya mereka siapa kamu?"

"Paman... Bibik, dan keponakanku."

Syifa mulai menceritakan tentang hidupnya yang bahkan ia tak pernah membagi cerita itu pada sebuah buku novel yang mungkin bisa ia percaya. Namun malam itu, ia yakin Rizky adalah pendengar yang tepat. Syifa yakin Rizky adalah orang yang hadir untuk membantunya berdiri.

Syifa bercerita tentang semua keinginannya untuk bisa berkuliah di universitas idamannya. Dan juga tentang kedua orang tuanya yang begitu sempurna dalam segala hal, mendidik dan mendampingi.

Kemudian di suatu hari kedua orang tuanya pergi ke luar kota dan buruknya, Syifa mendapat kabar bahwa pesawat yang orang tuanya tumpangi mengalami kecelakaan dan meninggal. Syifa terkejut, sedih dan semua bentuk kekecewaan ia rasakan.

3 bulan ia menyimpan sakit sendirian karena sang paman yang tertulis sebagai adik dari sang ibu itu sama sekali tidak memperhatikannya. Dan 3 bulan juga, keluarga Nugi menghancurkan satu-satunya harapan Syifa untuk melanjutkan kehidupan. Harta.

2 bulan setelahnya, Syifa benar-benar diperlakukan seperti pembantu, seperti budak. Ia melakukan semuanya dengan segala keterpaksaan, segala sakit entah fisik atau batinnya turut terhantam. Arsa lah yang benar-benar menghancurkan perempuan itu.

Pukulan bahkan tak segan dilayangkan, cacian makian yang seharian penuh bisa ia dengar membuat perempuan itu depresi.

Semua harta milik keluarga Syifa diambil alih. Dan bulan ke-7 setelah kepergian orang tuanya, Syifa diusir dari rumahnya sendiri. Sampai akhirnya bertemu Rizky.

"Itu bisa dibawa ke jalur hukum, Syif."

Syifa menggeleng. "Aku ngga peduli de-dengan kekayaan itu, aku ngga pe-peduli dengan semua yang aku miliki di masa lalu. Aku cu-cuma mau hidupku yang sekarang ini ngga diganggu mereka."

Syifa membuka ponselnya, mencari sebuah foto kemudian ia perlihatkan pada Rizky. "Aresya Arelo."

Rizky meletakkan sterofoam berisi pancong itu ke sampingnya kemudian mengambil alih ponsel itu. "Temen masa kecil kamu?"

Syifa mengangguk. "Sekaligus sa-saudaraku. Dia anak dari wanita tadi."

Rizky mengerti. "Ke mana laki-laki ini pergi? Harusnya keberadaan dia bisa bantu kamu, Syif."

Syifa tersenyum pilu. "Dia udah ngga ada."

"Aah... Sorry."

Syifa menceritakan betapa dekatnya hubungan antara Ares dan Arellia itu. Bahkan dahulu orang tua Ares sangat akrab dengan orang tua Syifa, ya seperti keluarga harmonis pada umumnya.

"Tapi ada satu kejadian yang me-membuat lubang antara hubungan keluarga kami."

Syifa menatap foto di ponselnya lagi. Memperlihatkan dua anak kecil yang bergandengan tangan.

"Ketika aku dikatakan membunuh sahabat, teman dekat atau saudaraku sendiri."

Rizky terkejut. "Maksudnya? Kamu... Kamu dituduh membunuh Ares?"

Syifa mengangguk. "Aku ingat betul, saat itu aku sa-sama Ares lagi berwisata dan mampir ke kolam renang, mama juga bolehin aku untuk berenang karena memang aku bisa. Ta-tapi beda dengan Ares, dia ngga bisa berenang tapi mamanya memperbolehkan.

Aku ngga ngerti maksudnya a-apa yang membuat seseorang ga bisa berenang. Saat itu aku masih kecil dan me-menganggap apa yang bisa aku lakukan pa-pasti bisa dilakukan semua orang. Tapi nyatanya, ngga.

Aku lompat ke kolam yang tingginya satu meter, buatku itu adalah tantangan kecil. Ta-tapi aku ngga sadar kalo ternyata Ares itu terjun dan dia tenggelam."

Rizky hanya bisa mendengarkan tanpa mencari objek lain selain mata perempuan yang amat ia cintai.

"Saat itu mereka benar-benar tabah menerima kepergian Ares tanpa menyalahkanku. Ta-tapi nyatanya dendam itu ada, mereka menyimpan dendam dan saat orang tuaku pergi, mereka membalasnya."

Air mata itu lolos lagi sampai menyentuh sosok Ares yang hadir di foto. Rizky menggeser duduk, kemudian ia dekap Syifa.

"Aku ngga tau apa kata-kata 'Everythings gonna be okay' akan berguna untuk saat ini. Tapi kamu perlu tau kalo aku akan bantu kamu untuk melewati segala kesulitan, karena sekarang kita... Teman."

Rizky makin sakit. Entah kenapa perasaannya hancur ketika dirinya sendiri tak mampu untuk mengubah sesuatu yang ia inginkan. Kenapa mulutnya tak bisa mengucapkan kalimat pernyataan?

"Iya, makasih ya." Syifa melingkarkan tangannya ke sela yang ada. Keduanya saling berpelukan.








Arsa meletakkan secangkir kopi untuk suaminya pagi itu. Nugi masih membaca koran di teras, berbeda dengan Arsa yang nampaknya memiliki pikiran yang serius. Dipanggilnya sang suami.

"Aku takut kalau itu memang Syifa, dia akan melaporkan semua tentang kita."

Nugi melirik istrinya dengan singkat, kemudian bergumam. "Secepatnya kita harus dapat tanda tangan anak itu. Supaya semua sertifikat harta ini jatuh secara resmi dan kita aman menikmatinya."

Arsa tersenyum licik. "Ya. Aku kira anak itu akan menjadi gembel dan mati. Tapi ternyata ngga."














---------------------------------






Selasa, 12 Oktober 2021
1045 kata
17.41

PACAR ISTIMEWATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang