PACIS | 7

295 51 8
                                    

Syifa dengan wajah mengantuk itu duduk di kursi yang menghadap ke dapur, di mana ada Nuri yang sedang memasak.

“Bangun siang lagi?”

Syifa berdeham. Lalu ia tersenyum kala ayahnya muncul dengan setelan jas.

“Ayah!” soraknya. Lalu meluruskan tangan, mengode untuk dipeluk.

“Ayah, Si-Syifa mau jalan-jalan, ga mau be-belajar.”

Nuri yang mendengar langsung berbalik badan. “Lho lho ada apa nih? Syifa kok ngga mau belajar?” tanya Nuri lembut. Sementara Rian hanya tersenyum.

“Ini hari apa emangnya?” tanya Rian. “Hari rabu, Yah.”

“Hm, gimana kalo nanti sore kita ke rumah nenek? Nanti Ayah pulang cepet deh.”

Syifa menggeleng. “Nanti si-siang aja,” pintanya. Rian mulai melepas pelukannya dan memainkan pipi Syifa.

“Ayah kan kerja, bisanya sore. Gapapa deh hari ini Syifa ngga belajar dulu sama Mas Adit.”

Nuri menghela napas. “Yaudah aku telepon Adit-nya dulu ya, takut lupa.”

Rian mengangguk dan beralih lagi pada Syifa. “Ayah...”

“Apa?”

“Ayah ke-kenapa suka mama?”

Rian tertawa dan menunduk. “Syifa tau dari mana suka-sukaan?”

“Da-dari Ares, Yah.” Wajah polosnya lagi-lagi memaksa Rian untuk menarik pipi gembul. Syifa mengaduh kesakitan.

Jawaaaab, Ayah...”

“Ayah... suka mama kamu karena dia baik.”

“Aku juga ba-baik, berarti Ayah su-suka dong sama aku?”

“Bukan suka lagi, tapi cinta! Pokoknya, kalo ada yang jahat sama Syifa bilang sama Ayah, ya! Termasuk itu Ares, dia emang rusuh anaknya.”

Rian memeluk putrinya. Erat sekali.

‘Ayah sayang sama kamu, Syif. Ayah ga akan biarin siapapun nyakitin kamu termasuk Ayah sendiri.’

Rizky melihat jam di ponselnya Syifa yang tak sengaja menyala. “Syif, kamu ngantuk ga?”

Syifa yang masih mengunyah itu menggeleng. “Oh yaudah habisin, gue mau bayar dulu.”

Rizky bangkit dari duduknya dan menghampiri si pedagang yang tengah istirahat di luar tenda. “Bang, mau bayar.”

Setelah transaksi selesai, Rizky masih duduk di sana. Sembari menemani pedagangnya mengobrol dan melirik Syifa diam-diam.

Dalam hati paling dalam, memang belum banyak kebahagiaan yang muncul saat mereka bersama. Tapi ketenangan yang didapat sungguh jumlahnya bukan main. Tarikan di sudut bibir Rizky yang menjadi bukti.

Rizky memang bukan laki-laki kaku yang jarang bicara. Namun ia juga bukan laki-laki yang mudah menyukai perempuan. Ia juga bukan laki-laki yang suka memberi harapan palsu, jadi jika bersama perempuan yang tak ia suka, ia hanya bersikap biasa dan bercanda sesuai jalannya saja.

Tapi kali ini berbeda. Rizky tak banyak cakap untuk membuat keduanya saling dekat. Ada satu titik yang membuatnya berhenti bertanya, karena di mata Syifa, jawaban demi jawaban dapat terjelaskan. Meski masih banyak sekali kebingungan, Rizky tetap diam karena tak mau jika ia bertanya, Syifa akan pergi.

PACAR ISTIMEWATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang