PACIS | 30

89 21 10
                                    

Federick mencari keberadaan Heri untuk memastikan tentang berita kepulangan Syifa. Karena malas jika harus mencari ke tiap sudut restoran, Federick memerintahkan pegawainya untuk memanggil Heri sementara ia meninjau pekerjaan di dapur.

"Pak"

Oh, Mas Fajri.

"Kenapa, Jri?"

"Saya pikir ucapan Pak Heri keterlaluan, Pak. Saya ga tau Bapak berpihak ke siapa, tapi saya hanya ingin tau, apakah Syifa dipecat, Pak?"

Mendengar pertanyaan yang sangat serius ini, Federick mengerutkan dahi dan menyipitkan matanya. "Hm, kenapa? Boleh ulangi?"

"Apa Syifa dipecat, Pak?"

Federick diam.

Jika pegawainya sampai bertanya hal seperti ini dengan mimik wajah yang serius, maka kesalahan yang Syifa buat cukup besar. Federick terus menimang.

"Memangnya ada apa, sih? Pak Heri belum nemuin saya."

Mas Fajri melirik sekitar. Keduanya berada di antara rak piring. "Syifa cuma melakukan kesalahan kecil, Pak. Tapi respons Pak Heri bener-bener berlebihan. Saya ga suka dengan cara dia terhadap pegawai. Apa tidak sebaiknya Bapak lihat kembali, Pak?"

Daripada Heri, Federick lebih mempercayai Mas Fajri.

"Ok, lalu, gimana Syifa?"

"Saya ga bisa ceritain, Pak. Kita lihat di CCTV aja, gimana? Saya sudah datangi Alan, katanya semua rekaman tersedia dan bisa kita lihat."

"Oh, OK."

"Ky ... Kamu siuman." Citra tersenyum lembut ke arah laki-laki yang ia cintai.

"Ci ... Tra ...."

Citra meraih tangan Rizky, mengusapnya perlahan.

"Ini di rumah sakit?"

"Iya," balas Citra. "Kamu kenapa?"

Rizky terdiam.

"Aku udah ngabarin mamah, sebentar lagi sampai. Eum, sambil nunggu, mau makan dulu?" Citra melirik bubur putih di atas nakas.

"Nggak"

"Oh, yaudah, istirahat aja."

"Sejak kapan kamu di sini? Siapa yang bawa aku?" Terdengar begitu penasaran.

"Aku, siapa lagi memangnya?"

Bukan. Bukan Citra orang yang Rizky harapkan.

"Apa ... Nggak ada orang yang datang ke rumah aku, Cit?"

"Nggak ada, Ky. Cuma aku."

*

Suasana yang dingin seperti berdiri di kutub es, Fajri dan Heri mematung di tempatnya. Layar monitor yang tidak hanya satu, berkolase memperlihatkan beberapa tayangan secara langsung. Namun bukan aksi pelayanan karyawan yang baik di siang ini, melainkan tentang rekaman beberapa jam lalu.

"Dia boleh mempergunakan kamu kemarin, tapi tidak lagi untuk kali ini."

"KAMU ITU DITERIMA DI SINI KARENA PENAMPILAN KAMU, KAN?"

"Tidak mungkin Federick membiarkan orang gagap seperti kamu ini ada di sini selain untuk memuaskan nafsu!"

Alan, orang yang selama ini bekerja di balik monitor terpaku di tempatnya duduk. Bahkan sebatas bernapas pun rasanya sulit karena bosnya berdiri tak jauh darinya. Bisa dilihat, tangan Federick terkepal sampai gemetar.

Fajri diam menyimak suara yang keluar dari sistem. Meski tidak sejelas nyatanya, tapi itu bisa menyulut emosi Federick secara sempurna.

"Cukup," kata Federick. Alan langsung menjeda rekaman CCTV tersebut. Ia pura-pura sibuk dengan mengetik papan keyboard dan memainkan mouse. Ia tak mau terlibat dalam masalah ini.

PACAR ISTIMEWATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang