PACIS | 33

77 21 9
                                    

Federick mengetuk, oh tidak, lebih tepatnya menggedor dengan kencang.

"TUNGGU SEBENTAR!" teriak wanita dari dalam. Federick mundur.

Arsa ingin meluapkan emosinya yang memuncak, namun batal setelah menemukan wujud Federick. "Ada urusan apa, ya?!" Wanita tersebut melipat dua tangannya.

Federick menunjuk pria berusia matang di sampingnya. "Dia pengacara Syifa."

Kalimat pendek yang mampu meletuskan benteng pertahanan Arsa selama ini.

"Mana suamimu?" tanya Federick, kepalanya nampak berputar beberapa sudut.

"Jangan ikut campur!" gertaknya.

Tapi, dia pikir dia siapa? Apalagi yang sekarang dihadapi adalah manusia berdarah dingin.

"Sebenarnya saya gak ada waktu untuk mengurus ini di pengadilan." Federick bicara dengan tatapan yang menelusup tajam, menatap pupil mata Arsa lekat-lekat. "Jadi kalau mau ini semua lebih cepat dan tanpa adanya campur tangan hukum, keluar dan lepaskan semua yang bukan hak kalian."

Arsa menggenggam gagang pintu erat sekali. Dadanya sesak.

Syifa tengah bersiap, merapikan pakaian dan menyemprotkan sedikit parfum. Di hadapan cermin yang menyatu pada lemari, ia terbayang sosok seseorang. Entah kenapa ia begitu merindukan Rizky.

Di atas ranjang, sudah ia siapkan selembar masker. Ia raih benda tipis itu dan ia gunakan dengan benar. Ia tatap penampakan dirinya.

Mata Syifa mendadak sayu, setelah seorang pria menguasai pikirannya. Dulu, Rizky lah yang meminta Syifa untuk selalu menggunakan masker. Tapi sekarang, manusia bertubuh tinggi itu seolah menghilang dari peredaran.

Sani membersit hidung, sesekali tangisannya meledak-ledak. Reza yang berada persis di sampingnya hanya menatap malas. "Dalah ...."

"Lo tuh gak tau gimana rasa sakitnya!"

"Kan masih ada gue, San."

"Ya tapi rasanya beda, Za! Biasanya kita berempat, sekarang berdua!"

Kasihan juga sebenarnya melihat rekan setimnya bersedih. Jadi Reza menyiapkan mi wadah dan memberikannya pada Sani. "Tunggu 5 menit."

"Hm, thanks."

"Lo suka ya sama Rizky? Sedih banget keliatannya ..."

"Ck, apaan sih lo. Gue murni sedih karena kehilangan temen!"

"Hm, gak percaya gue."

Sani menaikkan dua alisnya. Andai saja laki-laki bodoh ini sadar kalau orang yang aku cintai adalah dirinya! Huh, dasar pabo!

"Za ... San."

Reza tercengang, sementara Sani butuh waktu untuk mendongakkan kepalanya. Di sana, ia hampir saja melepas wadah mi yang sebentar lagi siap santap. Namun Rizky berhasil menahannya. "Kok kaget gitu lo pada?"

"Eishh Si Bangsat." Reza memijat kepalanya setelah memperhatikan kondisi Rizky yang sehat. "Gue kira lo mati."

"Ish, sembarangan!" Sani menggaplok tubuh Reza. "Lo ke mana aja, Rizky Firman?!" Sani lekas berdiri, menonjok bahu Rizky cukup kencang.

"Loh, bukannya kalian tau kalo gue sakit? Mamah gue kan ke sini ...?"

"Mimpi lo!"

"Kenapa lo resign?!" cetus Sani tanpa babibu.

"HAH? Resign?"

"Gak usah belaga bego lo, Ky."

Rizky makin tak percaya. "Gue pake seragam, loh." Ia membuka resleting jaketnya. Sani dan Reza saling memandang.

"Bercanda lo gak lucu. Udah ah, bentar lagi masuk, kan?" Rizky membuka jaket dan menyiapkan badannya untuk shift malam kali ini.

"Ky" Reza memberikan surat pengunduran diri pada orang yang bersangkutan.

Rizky membukanya, terkejut ketika nama dan tanda tangannya berada di sana dengan sangat jelas. Perlahan tangannya meremas surat itu.

"Ada apa sih, Ky?"

Ada rasa kesal yang tak bisa dibendung lagi. Ini semua benar-benar direncanakan. "Gue pergi dulu."

"Kan udah saya bilang, gak usah datang ke sini."

Federick duduk di hadapan Syifa. Di sebuah bangku yang kemarin mereka duduki. "Ke sini naik apa?"

"O-ojek online."

"Yaudah, tunggu apa lagi? Ayo pulang sama saya."

Syifa mengerut alis. "Tapi saya a-ada janji, Pak."

Federick mendengus sebal. Haruskah ia mengatakan yang sebenarnya?

"Emangnya kamu rela ya nyerahin semua harta kamu itu ke orang kayak mereka? Asal kamu tau ya, menjaga lebih mudah dibandingkan mencari."

Syifa tak berkutik, ia menunduk. Memang benar ucapan pria di depannya. Apalagi aku ini nggak sempurna, mau mencari uang sampai kapanpun nggak akan mampu beli rumah sendiri.

"Syif," panggil Federick. "Kamu harus jaga warisan orang tua kamu."

"Tapi ... Mereka ...."

"Mereka akan kalah, Syifa. Kamu pemilik sebenarnya."

Perempuan berwajah cantik dengan tinggi yang mumpuni, berjalan keluar rumah dengan langkah yang sedikit terburu. "Ky, ke mana aja? Aku nungguin kamu dari sejam yang lal—ih, Ky Ky! Sakit!"

Rizky melepaskan tangannya dari sikut Citra. "Lo ini beneran sampah, ya?"

"Ada apa, sih?"

"Masih nanya ada apa? Gue tau ini semua ulah lo. Pasti lo yang ngirim surat resign ke restoran, kan? Lo juga yang ngakalin mama supaya nggak bilang kondisi gue ke temen-temen."

"Aku ngelakuin itu semua untuk mempermudah perjodohan kita! Lagipula kamu gak akan ke sana lagi kan untuk kerja, karena kamu akan meneruskan posisi papa kamu di perusahaan."

Rizky mengepalkan tangan, urat di rahang dan telapak tangannya mencuat. Perempuan di hadapannya benar-benar berubah. Atau memang inilah sifat aslinya yang tak Rizky ketahui selama ini.

"Denger ya, Cit. Apa pun yang terjadi ke depannya, orang yang gue cintai tetap bukan lo." Rizky mengutarakannya dengan begitu tegas. Di pekarangan rumah, emosinya memuncak dan meletup-letup.

"Terus siapa, Ky? Kenapa bukan aku?!"

"Kenapa bukan lo? Karena lo gak menarik dan gak akan pernah bisa menarik gue."

Rizky menarik senyum ejeknya, kakinya siap melangkah untuk masuk ke dalam.

"Apa kamu yakin perempuan istimewa itu masih sudi menerima kamu, Ky?"

Rizky berhenti.

"Setelah dia lihat aku tidur di pelukan kamu?"

---------------------------------





Halo, aku upload seapa adanya aja ya ges ya gak usah nunggu 1000 kata dulu gapapa khaaaaann? Hehehe, besok lagi yach! 🙈

Senin, 17 Okt 2022
862 kata
11.26

PACAR ISTIMEWATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang