PACIS | 31

74 22 9
                                    

"Rizky resign, Pak?!" tanya Reza dengan mata yang membelalak. Mas Fajri lah yang membocorkannya karena sempat membaca secarik surat.

"Iya" Dari sikapnya berdiri, menjawab dan cara bernapas, sepertinya Federick sedang malas menghadapi karyawan-karyawannya.

"Za" Sani hampir menangis, ia tatap Reza dengan sedikit rangkulan di tangan. "Iky kenapa?"

Reza hanya memberi tatapan sekilas terhadap kesedihan Sani. Ia menatap Federick. "Boleh kita tau penyebabnya, Pak?"

Federick merasa pertanyaan Reza tidak ada artinya. Lagipula memang pada dasarnya Federick tak pernah membaur dengan Rizky dan Reza Sani. Mentok-mentok oleh Mas Fajri dan orang-orang dapur.

Pria berbadan tegap dengan bodo amatnya berjalan menuju ruangan. Meninggalkan Reza yang terlihat sangat penasaran.

"Ish babi lah," pekik Reza. Tak tanggung-tanggung, laki-laki berseragam seirama dengan Sani itu meluapkannya seperkian detik setelah Federick menjauh.

"Za! Ih jangan sampe lo dikeluarin!" ujar Sani sambil menarik kasar siku Reza.

"Masa gitu aja gak mau jawab. Pelit tu om om."

Sani mewek. "Kalo Rizky kenapa-napa gimana, Za? Lo tadi ke rumahnya bukannya dicek keseluruhan malah megang keningnya doang!"

"Heh, lo itu gak tau gimana ekspresi Syifa. Gue peka sama dia, jadi buru-buru deh gue iyain keinginan dia yang mau pulang."

"Ahk! Mana HP dia mati, gimana ini?"

"Gak usah gimana gimana, selesai ini kita caw ke tempatnya."

"Sayang," gumam Rina, wanita tersebut memasuki kamar Rizky. Putranya duduk termenung di kursi tanpa memanjatkan kerinduan terhadap kamar yang sudah lama ia tinggalkan.

"Apa ini semua benar?"

Rizky menatap ibunya, matanya memerah. "Menurut Mama?"

Rina diam. Berarti tidak.

Rina meraih rambut Rizky, ia belai rambut tebal itu. Potongan rambut Rizky berbeda dari tahun-tahun lalu di mana putranya sempat tergiur dengan potongan pendek. Sekarang, rambut Rizky menjuntai hingga menutupi telinga dan melewati kerah baju.

Kaos yang Rizky gunakan adalah kaos yang berada di lemari rumah ini. Nampak kekecilan, tapi masih bisa dipakai. Kentara sekali dari bisepnya yang berteriak minta dilepaskan saja karena mengetat di bagian lengan.

Tetapi dari sana, Rina semakin yakin bahwa putranya benar-benar sudah dewasa.

"Iky maunya gimana?"

Rizky tak menjawab. Sama sekali tak ingin membahasnya. Kepalanya dipenuhi stigma negatif. Tapi sebagian besarnya adalah fakta. Rina, si pembela yang nyatanya tak mempengaruhi apapun. Meskipun sekali bujukan saja, Rina pasti akan memihak Rizky. Tapi, pembelaan dari Rina tak berarti apa-apa di mata Seno.

"Maafin Mamah, ya, Ky."

Rizky masih mengunci mulutnya.

"Mau ikut Mamah? Kita jalan-jalan sebentar. Udara di sini nggak baik buat kamu."

Federick tersenyum tipis ketika perempuan yang ia tunggu keluar dengan pakaian yang lebih rapi dibanding sebelumnya.

"Mau ke mana?"

"Ke suatu tempat." Federick membukakan pintu mobil, memastikan bahwa Syifa nyaman dengan yang Federick lakukan.

"Gimana, udah baikan perasaan kamu?"

"Alhamdulillah, sudah, Pak."

"Syukurlah"

PACAR ISTIMEWATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang