PACIS | 38

63 20 2
                                    

Seorang pria berjalan dengan was-was sesaat setelah ia mendengar derap langkah. Iya, tak apa bila derapan langkah tersebut terdengar di siang atau sore hari, tapi ini, di tengah malam dan Federick sendirian.

Karena sakit kepala yang menyerang, membuat Federick kehilangan kesadaran di ruangannya tadi sore. Sehingga ia menolak untuk pulang saat dibangunkan karyawannya. Jadi, sampailah di sini, di jam dua pagi dan keadaan restoran sangat gelap.

Federick kembali lagi ke ruangannya yang terang, ia menutup pintu dan menguncinya. "Aneh," gumamnya sambil memijat pelipis.

Namun usaha Federick untuk kembali tidur di sofa empuknya harus kandas ketika ia mendengar suara gesekan. Ia menghadap ke belakang dengan sangat cepat, matanya yang tajam berhasil menangkap seorang yang tinggi besar dengan tongkat baseball yang bahkan tongkat itu didapat dari ruangan ini.

"Siapa kau?" tanya Federick lantang, ia menegakkan badannya. "Main belakang?" sindirnya.

"Aku hanya menjalankan tugas."

Bugh! Bugh! Bugh!

Sangat tepat sasaran. Tugas yang dijalankan dengan apik. Federick roboh bersama erangan, kemudian redup seolah pria itu sudah mati.

Sosok tinggi besar dengan penutup wajah menendang tulang kering Federick. Ia mengangguk beberapa kali setelah melihat Federick hanya diam tak memberi respons kesakitan. "Halo, aku sudah selesai." Si Tinggi Besar nampak menoleh ke wajah Federick yang ternyata sudah berlumuran darah.

"Sudah habis?" tanya dari seberang.

"Kurasa. Dia tidak bergerak meskipun aku menendangnya."

Suara dari seberang nampak terjeda, apa sedang berpikir? Tentu saja.

"Aku tak ingin semuanya sia-sia. Kau pastikan sekali lagi. Kalau bisa pukul saja kepalanya sampai hancur."

Federick yang mendengar itu hanya bisa menelan ludahnya. Dadanya bergerak tak keruan akibat jantungnya berdetak sangat cepat. Tangannya gemetar, tungkainya lemas apalagi tulang keringnya, ah ... jangan ditanya.

Siapa orang-orang ini?

Panggilan telepon sudah berakhir, langkah mendekat lagi, membuat Federick kehilangan kesadaran saking takutnya.

Di kediaman Senopati, Rizky sibuk berkutat dengan pikirannya. Ia terbayangan ucapan sang ayah dua hari lalu. Dan pagi ini, keduanya sedang duduk bersama di ruang tengah, menikmati secangkir teh di pagi hari.

Rizky sempat mencuri pandang ke Senopati, pria setengah abad itu menyesap tehnya dengan arah mata yang tak hilang dari layar televisi.

"Rizky, diminum tehnya," kata Rina. Wanita itu datang menghampiri dan duduk di sebelah Rizky. "Ini biskuitnya kok nggak disentuh?" Rina malah menjadi pusat perhatian Seno saat ini.

"Saya mau," ujar pria tersebut.

Rizky juga mengambil toples yang sama dari beberapa camilan yang ada. Rina hanya terkekeh. "Hayo"

"Ambil yang lain aja," sanggah Seno tanpa ada rasa mengalah. Rizky hanya memasang wajah polos dan mengambil toples kue kering.

"Rambut kalian udah panjang tuh, gak mau ke barbershop?"

Rizky menatap sang ayah, iya, rambut itu memanjang dan sebelas dua belas dengan kondisi rambut Rizky sekarang.

"Boleh," balas Iky pelan. Mau bagaimana pun ia tetaplah putra Senopati satu-satunya dan begitu banyak kenangan yang pernah keduanya lalui.

Seno yang mendengar itu sempat melirik Rizky, ada rasa senang yang hinggap di sana. Tapi pria itu tak mau hanyut, jadi ia fokuskan lagi ke televisi yang membicarakan masalah politik.

PACAR ISTIMEWATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang