PACIS | 35

83 20 3
                                    

Rizky tiba di kos putri setelah Reza bilang kalau Syifa tak lagi bekerja di restoran. Sore menjelang malam ini lelaki tersebut begitu cemas. Ia masih bertanya-tanya mengapa Syifa bisa keluar dari restoran. Apa karena hilangnya Rizky dari matanya? Ataukah karena atasan mereka yang jahat itu alias Federick? Oh tapi, Rizky ingat bahwa keduanya sangat dekat akhir-akhir ini.

Selama perjalanan, napas Rizky terhirup tak beraturan dan dadanya terasa sesak. Padahal mengenai amarahnya pada Citra sudah ia muntahkan semua di depan orangnya langsung. Tapi kenapa ada sesak yang hinggap? Mungkinkah ini bentuk kecemasan? Atau kerinduan?

Rizky mulai menelisik kondisi kos yang disewa Syifa. Jarak kaki lelaki itu dengan pintu tak lagi jauh. Ia melirik ke samping, ke kursi.

Aku harap kamu tau apa isi hatiku lewat boneka itu.

"Eh Mas, ada apa, ya?"

"Oh, saya ada perlu sama teman saya. Ada orangnya nggak ya, Bu?"

Pemilik kos datang dengan sebuah papan kecil di tangannya yang sekilas terdapat tulisan nomor hp di sana. "Nak Syifa gak ada di rumah, barusan saya dapat telepon kalo dia bakalan pindah."

"Syifa bilang begitu sama Ibu?" Mata Rizky melebar. Tak mengerti ada kejadian sebesar apa selama dirinya tak sisi perempuan itu, sampai-sampai berakhir seperti ini.

"Bukan, yang bilang cowok."

Syifa sedang tidak baik sekarang ini. Sejam lalu Federick membawanya ke rumah sakit untuk mengobati luka goresan dan kepala yang sempat terbentur. Dokter bilang ini tidak parah, tapi meski begitu, Federick tetap khawatir dan menyimpan amarah pada Citra.

"Apa ini semua masih sama?"

Syifa tidak merespons, lebih tertarik pada lemari dapur yang masih sama seperti dulu. Ia menyentuh sudut-sudut lemari itu dengan sentuhan lembut, matanya mengikuti ke mana tangannya pergi.

"Jangan lepas apa yang seharusnya kamu genggam."

Berlatar di rumah peninggalan orang tua Syifa, begitu tenang dan aromanya masih sama seperti dulu. Kilat kebahagiaan memancar dari balik dinding, menggema mengisi ruangan ketika Syifa menutup matanya.

Segala memori indah seperti tidak pernah hilang. Terkadang Syifa ditemui kehaluan yang memanjang tanpa meregang. Apakah ini hanya mimpi? Bagaimana bisa aku hidup tanpa kalian?

"Syif"

"Uh" Syifa terlonjak. Matanya mengerjap beberapa kali, dirinya sudah beralih tempat ke ambang pintu sebuah kamar.

"Kamu belum jawab pertanyaan saya 30 menit lalu, apa jawabannya?"

Syifa menunduk, kemudian mengiyakan. "Aku pindah."

"Kalo gitu, saya akan panggil orang untuk mindahin semua barangmu ke sini. Secepatnya, kan?" Federick sudah siap menelepon seseorang, namun Syifa menahannya.

"Jangan! A-aku harus kemas beberapa barangku sendiri."

Federick nampak mengerti, ia terkekeh kemudian menggaruk tengkuk. "Oh iya, yaudah nanti saya antar. Eum sekarang makan dulu, gimana?"

"Boleh. Ma-mau makan apa?"

"Jadi kamu ngelakuin itu beneran?"

Citra mengangguk setelah menceritakan semuanya. "Ya"

"Wah, aku gak nyangka banget kamu sesayang ini sama Rizky. Aku salut sama kamu, Cit." Dasya memberikan apresiasi terhadap tindakan bodoh Citra. "Mulai sekarang, kamu gak sendirian. Aku akan bantu kamu untuk hancurin perempuan itu."

PACAR ISTIMEWATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang