PACIS | 36

85 24 9
                                    

"Bu, saya mau bicara."

"Oh Rin, ada apa?" Nuni, wanita tua yang sedang mengangkat cangkir untuk menyeruput teh hijaunya itu menangkap gerak-gerik menantunya yang sedikit aneh.

Rina menunduk. "Em, Ri-Rizky ...."

"Kenapa Iky?"

"Bu, memangnya Rizky nggak cerita?" Rina nampak bingung. Bagaimana bisa wajah Nuni begitu datar seperti tidak ada apa-apa. Ia pikir Nuni sudah mendengar segala cerita tentang Citra.

"Rizky tidak boleh menikahi Citra, Bu."

Nuni mengerut alis. "Jangan bicara sembarangan. Kamu ini lupa tentang suamimu itu? Dia lekaki, harus memegang janjinya."

"Tapi Citra wanita tidak beres. Ibu belum lihat apa yang Mas Seno tunjukkan tadi pagi?"

Nuni meletakkan lagi cangkirnya, menatap Rina dengan geram. "Rin, Citra adalah istri yang cocok untuk Rizky. Saya yakin perlakuan dia hanya untuk menjauhi Rizky dari benalu."

Rina terlonjak. Benalu? Apakah begini pandangan ibu mertuanya terhadap gadis lain?

"Lagipula, sejak kerjasama antara Seno dan Hendra, keluarga kita semakin rukun, kan?" Nuni tersenyum, tangannya yang dihiasi perhiasan emas dengan anggunnya menggenggam pegangan cangkir, menyeruputnya dengan khidmat.

"Rukun, Bu?" Rina benar-benar kehilangan segala pidato yang sebelumnya ia hapalkan untuk membela Rizky di hadapan Nuni. Tapi setelah mendengar ucapan wanita tua ini dari awal, semua hilang bagai dilibas tornado.

Bahkan Rizky, putraku, pergi dari rumah ini dengan hati yang berkali-kali dihancurkan oleh keluarganya sendiri.

"Dengar ya, Rin, percaya sama Ibu, Citra itu baik. Lagipula, mana lagi perempuan yang bisa menyainginya? Berwawasan, pintar dan membanggakan. Urusan cinta? Belakangan."

Hari ini menjadi hari paling berbeda. Sejak dirinya benar-benar menginjak kembali rumah peninggalan dua orang tuanya, Syifa merasakan kebahagian yang tumbuh di hatinya. Ia menganggap, ini semua adalah kado yang begitu indah di ulang tahunnya kali ini.

Sejak kemarin Federick tidak datang, pria itu begitu sibuk. Dan memang seharusnya begitu, karena mengemban begitu besar tanggung jawab. Dan sedikit tumbuh rasa yang berbeda ketika Federick tidak di sisinya. Hm, semacam kesepian? Ya, karena Syifa hanya memiliki pria itu sejak hilangnya bayang Rizky.

Dan lihatlah sekarang, Syifa bersama berkas-berkasnya sudah siap menyambut tahunnya sebagai mahasiswi. Tentu saja ini semua lagi-lagi dengan bantuan Federick.

Drttt

Ponsel bergetar, Syifa meraihnya, rupanya di sana ada notifikasi dari Federick yang mengiriminya stiker lucu bertuliskan "Jangan lupa makan!"

Syifa tak membalas, ia menutup ponsel dan diam tak bergeming. Apakah ia sedang jatuh cinta? Secepat ini?

Ting tong

Bukan ponsel, tapi sekarang bel rumahnya ditekan oleh seseorang. Syifa berjalan dengan was-was. Ia tak ingin bila harus menghadapi Arsa dan Nugi, lagi.

Iya, karena mereka sempat bertemu untuk memastikan bahwa semua yang milik Syifa akan dikembalikan. Lagi-lagi, itu semua terjadi karena adanya Federick dan seorang pengacara.

"Permisi!"

Syifa berhenti, kesadaran mulai ditampar emosi. Kakinya bergetar ketika mendengar suara itu. Tangannya tak siap untuk membukanya. Bantaran rindu sudah siap berbaris di ambang hati, siap diletuskan.

"Syifa Arellia?"

Jantungnya berdegup, jelas, ini baru yang namanya cinta. Ada rasa senang, antusias dan semangat yang datang dengan sendirinya.

PACAR ISTIMEWATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang