41. HARAP YANG KUNJUNG SAMPAI

286 26 1
                                    

ENJOY YEEE😺

Jangan lupa klik star, comment and follow meeeeeeeee><🌟🌟🌟

|- HARAP YANG KUNJUNG SAMPAI

-------------

“Alva? Kamu di sana?”

Alvandra memutar tubuhnya, menjelajahi pandangannya pada ruang kelabu tanpa sisi, hanya terbentang luas tanpa ujung. Dirinya seperti mengenal suara yang tak asing itu, suara yang rasanya dulu setiap hari dirinya dengar, atau suara yang bertahun-tahun silam menceritakan dongeng sebelum waktu tidur tiba.

Nahas hanya tatapan menyendu yang bisa dirinya pertunjukan kala hanya terdengar suara tanpa terlihat wujud.

“Mama?” panggilnya lirih. Sekejap tubuhnya seperti tanpa massa, melayang mendekati Mama yang kini nyata berada di depannya.

Rasanya ingin terisak meraungkan kebahagiaan karena Mama berada di dekatnya, ingin meraungkan kesedihan karena setelah bertahun-tahun silam, Mama baru terlihat oleh indra penglihatannya.

Nahas saat sudah tepat di depan sang Mama, peluk tak kunjung sampai, sentuh tak kunjung dirinya rasakan kala tubuh sang Mama hanya seberkas cahaya yang nampak nyata. Lalu hanya dengan seperti itu dirinya menatap dalam sang Mama.

“Alva kangen Mama, apa Alva boleh peluk Mama?” Di sana Mama menarik sudut bibirnya. Melihat ke atas yang diikuti Alvandra sayang hanya kosong yang dapat dirinya lihat.

"Izin sama Tuhan dulu, kalau kata Tuhan boleh, Alva bisa peluk Mama” entah mengapa Alvandra merasa berdebar hebat, meneteskan air matanya dengan tengadahan kepalanya lalu dalam sekejap dirinya memejamkan mata.

“Tuhan, apa sekarang Alva boleh memeluk Mama? Alva sungguh merindukan Mama”

“Dan juga, Alva ingin memeluk awan Tuhan”

Perlahan mata yang mulanya terpejam erat kini membuka memperlihatkan langit-langit atap yang serba putih lalu seperkian detik Alvandra baru tersadar kini dirinya bukan lagi di ruang kelabu tanpa ujung, namun dengan tubuh menjalar sakit, dirinya tengah terbaring lemah di brankar rumah sakit.

“Mama” ujarnya lirih.

“Alva?” Alvandra menarik sudut bibirnya tipis kala melihat Papa berdiri di sana, di samping kirinya lalu hanya dengan sekejap dirinya merasa sangat bahagia sebab Papa mengusap lembut keningnya.

“Papa” lirihnya. Meraih tangan Papa yang bebas dari keningnya. Hingga balasan erat tangan Papa membuat hatinya menghangat.

“Papa minta maaf” hanya dengan sepenggal kata itu, Alvandra merasa hatinya kembali menghangat, namun dengan perasaan itu dirinya seolah mengadu kepada sang Tuhan, mengapa baru sekarang Papa mengusap lembut keningnya, mengapa baru sekarang Papa bersikap demikian, mengapa baru sekarang saat dirinya sudah tergolek tak berdaya di atas ranjang rumah sakit.

Dengan mata sayunya Alvandra mengangguk patuh, belum lagi melihat derai air mata Papa rasanya berhasil mencabik-cabik hatinya.

“Alva harus sehat lagi ya? Lihat Papa bawa sesuatu untuk kamu” lirihnya, meraih amplop di atas nakas lalu serta merta menunjukannya pada putranya.

Sekejap hatinya mencelos melihat logo salah satu Universitas impiannya guna meraih cita-citanya. Impian terbang, lalu memeluk awan bahkan entah penyataan dari mana, Papa terlambat memberikan itu padanya saat impiannya sudah di depan mata dan diberikan langsung oleh Tuhan.

“Papa bawa formulir sekolah penerbangan impian Alva, katanya mau peluk awan” di akhir ucapannya melirih sebab tak kuasa lagi untuk mengatakannya.

Rasanya, Alvandra ingin memohon pada Tuhan untuk memberinya hidup sedikit lebih lama. Ingin mencabut doanya diwaktu entah kapan itu yang pasti saat dirinya menengadahkan kepala di ruang kelabu tanpa sisi.

Namun harapan hanya sebuah harapan kala dadanya terasa sesak bukan main. Dirinya sampai harus mengambil nafas panjang dengan sedikit menengadahkan kepalanya berharap sesak di dadanya segera enyah.

“Al-Alva boleh peluk awan?” tanyanya susah payah. Dengan tarikan nafas panjangnya, dirinya melihat Papa mengangguk dengan terus terisak.

“Boleh, tapi tunggu Papa mau?” Alvandra menarik sudut bibirnya susah payah, mengatur suara agar bisa dengan jelas terdengar oleh Papa.

“Alva juga ingin memeluk Mama, Pa”

Gara meremas erat amplop yang dirinya pegang kala sesak kembali menderanya. Merasa sakit mengingat sikapnya pada putra juga almarhumah istrinya.

“Alva, maaf. Nanti kita peluk Mama sama-sama ya? Sekarang Alva harus sehat dulu” lirihnya.

“Alva mau sekarang bo-boleh?”

Saat itu Papa menunjukan betapa lemah dirinya, meraung dengan isak pilunya lalu menggeleng berulang, “Tungguin Papa ya? biar bisa bertiga peluk awannya, Alva mau?”

Dengan tubuh yang terasa remuk Alvandra menggeleng pelan.

“Sa-sakitt Pa...” lalu hanya dengan sepenggal ucapan itu, Papa merasakan sesak yang teramat, merasa sesal sebab kini Alvandra harus mengucapkan seuntai kata itu lagi setelah dulu dirinya sakiti berulang.

Dan dikeheningan itu, dirinya mengingat senyum manis kekasihnya. Dengan suara terbata dirinya kembali bertanya.

“A-Ara di mana?” saat itu dirinya sadar, di sini bukan hanya ada Papa. Namun disisi kirinya ada Deka dan Reksa yang ikut menatapnya iba. Sungguh Alvandra membenci tatapan itu yang ditunjukan padanya.

“A-ada, Riko lagi jemput Kiara” kini Deka tak kuasa lagi untuk meluruhkan air matanya. Sedikit takut melihat Alvandra akan menutup matanya kembali.

Lalu dengan hanya melihat deraian air mata Deka, Alvandra terkekeh pelan, bahkan sangat pelan kala sakit semakin menjalari tubuhnya ketika bergerak meski hanya untuk tertawa.

“Gua enggak apa-apa” ucapnya lirih meski kini tubuhnya betulan teramat sakit namun mencoba mengatakan bahwa dirinya benar-benar tidak apa-apa. Lalu dengan cepat kini pandangannya menatap lurus menatap Reksa yang masih berdiam diri.

“Sa...” panggilnya pelan hanya untuk mendapat pandangan menyakitkan dari Reksa.

“Jangan berani tutup mata lo lagi” kini Alvandra betulan tertawa meski dikeheningan, hanya pilu yang terdengar.

“Ara, cepat datang. Alva kangen”

-------------

Maaf Alva sepertinya kamu harus...🧚

see you again in part endinggggggg📈

#alvandra

ALVANDRA [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang