Bab 25

13.2K 873 19
                                    


Prilly melirik suaminya yang sejak keluar dari kamar Amar tadi wajahnya terus saja ditekuk. Ali kenapa sih?

"Mau tambah Mas?"

"Kenyang." Jawabnya singkat. Memang sih selama ini Ali dikenal dingin dan datar tapi pagi ini pria itu benar-benar terlihat sangat datar semalam saja sebelum mereka tidur Ali sempat mengecup keningnya lalu kenapa pagi ini Ali kembali diam.

"Mami mau ayam goreng lagi." Pinta Amar membuyarkan lamunan Prilly tentang sikap manis suaminya tadi malam.

"Oke. Makan yang banyak ya Sayang besok pagi kita belanja lagi." Seru Prilly yang sontak menghentikan gerakan tangan Ali yang sedang menyuapi dirinya dengan nasi goreng buatan sang istri.

"Kapan?"

Prilly menoleh menatap suaminya bingung. "Hah? Apanya?"

Ali mendelik kesal namun mulutnya tetap bersuara. "Belanjanya kapan."

"Oh rencana sih besok sekalian mau beli keperluan kita juga." Jelas Prilly, yang memang sudah berencana untuk berbelanja keperluan mereka sudah habis seperti sabun, sampo juga lulur miliknya.

Jadi sekalian saja Prilly ingin berbelanja bahan dapur lagi sekalian untuk stok satu bulan ke depan.

"Sama siapa?"

"Amar ikut ya pasti Mbak juga ikut Mas." Prilly menjawab saja setiap pertanyaan suaminya padahal ia sudah penasaran setengah mati kenapa suaminya tiba-tiba jadi banyak bicara seperti ini.

Ali melirik istrinya sekilas sebelum kembali melahap nasi gorengnya sedangkan Prilly kembali dibuat bingung dengan sikap suaminya. Amar sendiri memilih tidak perduli dengan apa yang terjadi pada orang tuanya, anak laki-laki tampan itu terlihat begitu menikmati sarapan miliknya.

Ayam goreng mengalihkan dunia Amar.

"Makan!"

Prilly nyaris terjungkal ketika Ali tiba-tiba menyodorkan sendok berisi nasi goreng kearah mulutnya. Kejadiannya hampir sama seperti di taman kemarin hanya saja kemarin wajah Ali begitu sumringah tidak kecut seperti sekarang.

Prilly terus memperhatikan suaminya sedangkan Ali sekuat tenaga menahan diri supaya tidak mempertemukan matanya dengan mata indah sang istri, bisa-bisa ia luluh padahal sekarang Ali sedang kesal.

"Kenapa sih eum?" Tanya Prilly setelah menelan nasi di dalam mulutnya.

Ali menatapnya sekilas lalu menggeleng pelan. Pria itu benar-benar dalam mode ngambek hingga membuat istrinya terkekeh geli.

Prilly tidak mau terlalu cepat menyimpulkan tapi melihat perubahan sikap Ali sejak Amar menceritakan perihal Aditya yang mengejarnya kemarin entah kenapa hati kecilnya menyakini jika saat ini suaminya sedang cemburu.

Bolehkah Prilly berharap seperti itu? Prilly ingin apa yang ia pikirkan begitulah yang Ali rasakan.

"Mami."

"Ya Sayang?" Prilly menoleh menatap putranya. "Kita ke kantor Papi lagi nggak hari ini?" Tanya Amar menatap kedua orang tuanya dengan bergantian.

Prilly tak langsung menjawab ia melirik suaminya sekilas, Ali juga melakukan hal demikian. "Boleh nanti siang ajak Mami kamu ke kantor Papi." Perasaan Ali terasa hangat ketika ia menyebutkan dirinya sendiri dengan panggilan Papi.

"Ya udah nanti sekalian kita bawain Papi makan siang semoga siang ini tidak ada kendala seperti kemarin." Ali tahu maksud istrinya, sejak tadi malam Prilly terus mengolok-olok dirinya yang tidak becus mencari karyawan.

"Perempuan muka kayak topeng monyet begitu kamu jadikan karyawan. Owalah Mas Mas kamu ini benar-benar nggak becus tahu nggak."

Ingin Ali membalas kalimat hinaan istrinya tapi mengingat bahwa istrinya seperti ini karena mantan karyawannya itu menghina anak mereka jadi Ali memilih diam saja.

Bahaya juga istrinya kalau dilawan apalagi saat mood wanita ini sedang buruk seperti tadi malam, bisa-bisa niat baik mereka ingin menjalani kehidupan rumah tangga normal tinggal angan.

Ali tidak mau kehilangan istrinya lagi walaupun belum ada cinta untuk Prilly tapi jauh di dalam lubuk hatinya Ali hanya menginginkan wanita ini untuk menjadi pendamping hidupnya.

"Ya sudah Papi ke kantor dulu." Ali masih malu-malu ketika menyebut dirinya Papi jadi sebelum istrinya menyadari jika dirinya sedang menyembunyikan rona merah yang sepertinya mulai menjalar diwajahnya.

"Kita antar Papi ke depan yok." Amar meraih tangan Ibunya lalu berjalan menyusul sang Ayah yang sudah nyaris mencapai mobilnya.

"Papi!"

Ali menghentikan langkahnya ketika mendengar teriakan anaknya. "Kenapa?"

"Kalau mau ke kantor biasain pamit sama istri dulu." Sindir Prilly sambil berjalan mendekati suaminya. Seperti biasa Prilly meraih tangan Ali lalu mencium punggung tangan suaminya dengan penuh hormat.

Ali selalu merasa berdesir ketika Prilly melakukan hal ini. Amar juga mengikuti apa yang Ibunya lakukan.

"Eum--aku ke kantor dulu." Pamit Ali menarik cepat leher istrinya lalu mengecup hangat kening Prilly.

Prilly tersenyum lebar menatap suaminya. "Hati-hati dijalan Mas Sayang." Godanya mengedipkan sebelah matanya.

Ali yang sedang mencium putranya sontak menoleh kearah sang istri. "Nanti malam kamu benar-benar akan habis Mami." Seringai kecil yang Ali perlihatkan membuat sekujur tubuh Prilly berdesir.

Prilly menyukainya.

"Dengan senang hati, aku benar-benar sudah tidak sabar menunggu malam tiba." Balas Prilly dengan ekspresi wajah ia buat senakal mungkin.

Refleks Ali mengumpat, ia pria normal digoda seperti itu jelas membuat sesuatu yang ada pada tubuhnya menggeliat bangun.

"Awas kamu nanti malam ya?" Ancam Ali sebelum menghilang ke dalam mobilnya. Alih-alih takut Prilly justru tertawa terbahak-bahak sambil melambaikan tangan kearah mobil sang suami yang sudah melaju meninggalkan pekarangan rumah mereka.

"Ayok masuk Sayang." Ajak Prilly pada putranya.

"Ayok Mami." Amar menggandeng tangan Ibunya lalu keduanya berniat kembali ke dalam rumah bertepatan dengan sebuah mobil taksi yang memasuki pekarangan rumah mereka.

Prilly sontak menghentikan langkahnya untuk melihat siapa tamu yang mendatangi rumahnya pagi-pagi seperti ini.

Kening Prilly sontak berkerut saat melihat dua orang tua yang mungkin usianya sebaya dengan Ayah dan mertuanya berjalan anggun menuju teras dimana Prilly dan Amar berada.

"Siapa Mami?"

Prilly menunduk menatap putranya. "Mami nggak tahu siapa Sayang." Prilly kembali mengalihkan pandangannya pada dua orang tua itu.

Ekspresi wajah yang mereka tujukan terlihat berbeda, jika yang pria terlihat sangat bersahabat wajahnya begitu tegas namun tatapannya penuh kelembutan sedangkan yang perempuan terlihat begitu bengis apalagi ketika menatap dirinya.

Siapa orang-orang ini? Bathin Prilly bingung.

"Oh jadi ini wanita yang Ali pilih untuk dijadikan pendamping hidupnya? Sama sekali tidak ada apa-apanya dibandingkan putri kesayanganku Sarah." Prilly belum menangkap apapun selain hinaan yang wanita ini tujukan padanya.

"Maaf Ibu siapa ya?" Prilly masih menghargai wanita ini karena usianya walaupun mulutnya begitu lancar menghina Prilly.

"Saya Fatma mertua Ali, Ibunda dari wanita yang paling Ali cintai, Salwa."

Deg.

Ya Tuhan cobaan apalagi ini?

*****

Duda TampanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang