Tak terasa satu minggu sudah terlewati sejak Prilly menerima pinangan dari suami tampannya. Dan hari ini ia sudah kembali ke kediaman suaminya bersama putra dan suaminya.Prilly sudah siap menjalani kehidupan barunya sebagai seorang istri dan juga seorang Ibu.
"Hati-hati turunnya!"
"Oke Papi." Amar tersenyum lebar menatap Ayahnya yang sontak membuat Ali mendengus namun sudut bibirnya sedikit terangkat melihat tingkah menggemaskan putranya.
Prilly yang duduk di samping suaminya menoleh menatap perubahan wajah suaminya. Ternyata bukan hanya perasaannya saja yang merasa Ali berubah tapi nyatanya pria itu benar-benar berubah.
"Kenapa?"
Prilly mengerjap pelan. "Anaknya udah turun tuh!" Ali menunjuk ke arah Amar yang sudah menunggu mereka di undakan tangga teras. "Ngapain bengong di sini? Udah turun sana!"
Prilly refleks mendengus kesal ternyata pria ini tidak berubah masih sama menyebalkannya seperti kemarin.
Prilly langsung turun dari mobil tanpa menghiraukan Ali yang bersiul menggoda dirinya. Ali tahu istrinya sedang merasa kesal padanya. Dan ia semakin bersemangat menggodanya.
Ali tidak menyangka jika menikahi Prilly membuat hidupnya kembali berwarna.
"Mami kenapa?" Tanya Amar saat melihat wajah masam Ibunya.
"Enggak apa-apa Sayang biasa ada monyet yang gangguin Mami." Prilly sengaja menekankan setiap kalimat yang keluar dari mulutnya supaya Ali yang berdiri tak jauh darinya sadar.
Menaikkan sebelah alisnya Ali menatap tajam sikap kekanakan istrinya itu.
"Mana monyetnya Mi? Papi lihat monyet?" Amar bertanya pada Ayahnya.
Ali mengalihkan pandangannya pada sang putra. "Didepan kamu leluhurnya monyet." Kata Ali sebelum melangkah meninggalkan Prilly yang ternganga lebar melihat kelakuan suaminya.
Awas kamu duda tua!
Kening Amar terlihat berkerut anak itu tidak mengerti apa yang orang tuanya bahas jika membahas monyet lalu dimana monyetnya?
"Kita masuk yok Sayang! Kamu nggak boleh panas-panasan dulu." Prilly menggendong anaknya memasuki rumahnya. Rumah Ali ya rumahnya juga kan?
Hari ini Prilly dan Ali membawa putra mereka check up setelah dua hari yang lalu Amar keluar dari rumah sakit.
"Mau tidur Mi. Amar ngantuk." Anak laki-laki Prilly itu terlihat menguap pertanda dirinya memang mengantuk.
"Oke. Kita ke kamar ya?" Amar mengangguk setuju sambil merebahkan kepalanya di bahu sang Ibu.
Amar memang sudah berusia nyaris 5 tahun tapi bobot anak ini benar-benar ringan, Prilly tahu semua itu disebabkan kealpaannya Ali sebagai orang tua. Pria itu benar-benar tak becus mengurus anak.
"Kenapa pakek acara gendong segala?" Ali yang baru keluar dari ruang kerjanya menatap heran istri dan anaknya.
"Ngantuk Amarnya." Sahut Prilly tanpa menghentikan langkahnya.
"Kaki kamu baru sembuh loh! Turunin!" Prilly nyaris menendang tulang kering suaminya jika Ali tak terlebih dahulu meraih Amar yang benar-benar sudah terlelap itu ke gendongannya.
"Lain kali kalau anaknya minta gendong panggil aku! Jangan sok kuat!" Katanya sebelum beranjak membawa Amar ke kamarnya.
Prilly menatap bingung punggung lebar suaminya itu. "Itu laki kenapa sih? Sawan apa gimana? Perasaan sikapnya berubah-ubah terus." Keluh Prilly sebelum melangkah menyusul suami dan anak mereka.
***
"Papi.."
Ali mengurungkan niatnya untuk berbalik meninggalkan kamar putranya. "Heum."
"Amar mau bobo sama Papi." Cicit Amar terlihat sekali anak itu ketakutan ketika berbicara dengan Ayahnya.
"Tadi kenapa pura-pura tidur?"
"Biar digendong Papi. Amar dari dulu pengen digendong sama Papi tapi takut Papi marah." Amar semakin menundukkan kepalanya tak berani menatap sang Ayah. Amar tidak bermaksud membuat Ayahnya marah ia hanya berkata jujur saja.
Ali menelan ludahnya entah kenapa tenggorokannya tiba-tiba terasa kering setelah mendengar jawaban polos Amar.
Anak ini sejak lahir sudah diabaikan oleh Ayahnya. Kenapa hari ini Ali merasa dirinya begitu jahat dan tidak becus mengurus anaknya sendiri? Lihat saja bagaimana Amar bersikap dengannya, interaksi mereka tidak terlihat seperti Ayah dan anak melainkan pembantu dan majikan.
Berdehem pelan Ali berusaha mengalihkan kegundahan hatinya. Ali tidak tahu kenapa ia tiba-tiba merasa sangat berdosa pada anaknya ini.
"Baring yang benar." Amar segera melakukan apa yang Ayahnya perintahkan. "Geser!" Amar menggeserkan tubuh kecilnya memberi ruang pada sang Ayah yang jarang bahkan nyaris tidak pernah menemani dirinya seperti ini.
"Mau dibacain dongeng juga." Cicit Amar takut-takut namun ia tidak akan membuang kesempatan ini belum tentu besok Ayahnya bersedia melakukan hal ini lagi dengannya.
Menatap anaknya dengan pandangan kesal Ali kembali berhasil menakuti anaknya. Menghela nafasnya Ali meraih buku cerita yang ada di atas meja kecil di dekat ranjang putranya dengan asal.
"Besok-besok kalau takut jangan nunduk kamu itu laki bukan bencong ngerti?" Amar menganggukkan kepalanya beberapa kali. "Baik Papi." Jawabnya patuh.
Amar akan menuruti semua perintah Ayahnya dan sekarang dengan memberanikan diri ia mendongakkan kepalanya menatap sang Ayah yang ternyata juga sedang menatap dirinya.
Amar tersenyum kecil, sudah lama sekali rasanya ia tidak melihat wajah Ayahnya dalam jarak sedekat ini atau mungkin selama ini ia belum pernah sedekat ini dengan sang Ayah.
"Amar seneng banget hari ini." Kata Amar yang ditanggapi Ali dengan menaikkan sebelah alisnya. Seolah sudah terbiasa dengan sikap dingin Ayahnya, Amar terus mengoceh. "Jangan marah sama Amar lagi ya Pi, Amar janji nggak akan buat Papi kehilangan Mami lagi."
Deg.
Ali kembali menelan ludahnya kali ini lebih kasar hingga membuat tenggorokannya terasa sakit.
Jemari kecil Amar perlahan bergerak menyentuh punggung tangan besar Ayahnya. Ali mengalihkan pandangannya menatap jemari kecil Amar yang sedang mengusap punggung tangannya.
"Amar sebenarnya mau genggaman tangan sama Papi tapi nggak diranjang seperti ini." Amar tersenyum kecil khas anak-anak. "Di taman. Nanti kalau Papi udah benar-benar nggak marah lagi sama Amar, kita jalan-jalan di taman ya Pi. Kita main ayunan sama Mami juga." Senyum Amar mengembang lebar ketika mengingat wajah cantik Maminya.
Ali tidak mengatakan apa-apa pria itu berubah bisu, tubuhnya juga masih menegang kaku sebelum Amar menjauhkan tangannya lalu berbaring kali ini Amar tidak menyentuh tangannya melainkan memeluk erat lengannya.
"Jangan pergi Pi. Amar kesepian. Maafin Amar yang udah buat Mami pergi." Bisiknya lirih sebelum memejamkan matanya. Yang Amar tidak tahu adalah kalimat sederhananya berhasil menusuk tepat di ulu hati Ayahnya.
Ali benar-benar bajingan bukan?
*****
Po 40k sampai tgl 15 yaa..
081321817808Pemenang giveaway juga bakalan aku umumin tanggal 15 insyaallah kalau nggak ada halangan apa-apa. 3 orang pemenang bakalan dapat 1 pdf dari aku. Yok follow IG aku syaratnya harus Follow IG aku dan rajin2 komen di cerita ini yaa sayangku..
KAMU SEDANG MEMBACA
Duda Tampan
عاطفيةCobaan untuk seorang wanita bernama Ghiani Aprillya Putri, putri semata wayang Sadewa Pramudya dan almarhumah istrinya Juwita. Wanita cantik yang kerap disapa Prilly harus menerima takdir dirinya untuk melepaskan sang kekasih demi menikahi seorang D...