Bab 3

14.2K 1K 25
                                    


Prilly bersyukur karena Ali suaminya meninggalkan mobilnya tanpa mencabut kuncinya jadi dengan mudah ia bisa mengemudikan mobil mewah itu untuk membawa putranya ke rumah sakit.

Prilly tidak perduli jika tindakannya ini bisa memancing keributan antara dirinya dan Ali karena saat ini yang terpenting adalah keselamatan putranya.

Entah kenapa Prilly bisa langsung jatuh hati menyayangi putra tirinya hanya dalam sekali pertemuan bahkan pertemuan mereka malam ini benar-benar tak layak disebut pertemuan lihat saja bagaimana Amar hilang timbul kesadarannya dan itu benar-benar membuat Prilly ketakutan.

Tak sampai setengah jam Prilly berhasil memarkirkan mobilnya di parkiran salah satu rumah sakit swasta.

"Bawa tasnya Mbak!" Prilly cukup terkesan dengan kecepatan pengasuh Amar, meskipun dalam keadaan terburu-buru wanita itu sempat membawa satu tas jinjing yang berisi keperluan putranya. Mungkin memang sengaja disediakan jika terjadi hal-hal genting seperti ini.

Prilly menggendong tubuh kurus Amar berlarian menyusuri loby rumah sakit sambil berteriak memanggil Dokter.

Tak lama dua orang perawat datang mendorong ranjang rumah sakit. "Tolongin anak saya Sus. Badannya panas sekali." Tutur Prilly dengan nafas terengah-engah. Meskipun tubuh Amar tidak terlalu besar tapi untuk ukuran tubuh Prilly yang mungil jelas saja menggendong Amar sambil berlarian cukup menguras tenaganya.

Setelah ranjang yang dibaringkan Amar didorong menuju UGD, Prilly baru mengistirahatkan tubuhnya. Tubuhnya yang memang sudah cukup lelah dengan rangkaian acara tadi siang kini kembali dibuat remuk dengan berlarian seperti tadi.

Prilly tidak menyangka jika malam pertama yang diidam-idamkan oleh banyak wanita ia habiskan sendirian di rumah sakit menunggui anaknya. Ali, jangan tanyakan pria itu padanya karena mengingat wajahnya saja emosi Prilly sudah membubung tinggi.

"Mbak pulang aja istirahat biar Amar sama saya." Prilly kasihan sekali melihat pengasuh Amar yang nyaris tersungkur karena kelelahan.

"Tidak apa-apa Nyonya, biar saya temani Nyonya di sini." Prilly tersenyum kecil, setidaknya ia tidak melewati malam pertamanya sendirian ada pengasuh Amar yang menemaninya.

"Mbak lapar?"

Pengasuh itu menggeleng pelan. "Saya nggak bisa nelan apapun Nya, sebelum kondisi Den Amar membaik." Wanita dewasa ini terlihat sekali begitu tulus menyayangi Amar.

Prilly terenyuh melihatnya. "Mbak udah lama ngurus Amar?"

"Sejak Den Amar lahir Nya."

"Panggil Prilly aja Mbak jangan pakai Nyonya geli saya dengarnya." protes Prilly yang dibalas gelengan oleh pengasuh Amar itu.

"Saya panggil Ibu saja ya."

"Baiklah itu terdengar lebih baik dari pada yang tadi." Sahut Prilly dengan senyuman kecilnya.

"Nama saya Julia Buk."

"Saya Prilly."

"Saya sudah tahu nama istri Tuan sebelum Tuan dan Ibu menikah hari ini." Jelas Julia dengan suaranya yang sedikit medok.

Prilly hanya tersenyum saja, entah kenapa mendengar Julia menyebut Tuan-tuan otaknya langsung membayangkan wajah menyebalkan Ali, suaminya.

Ya Tuhan, berapa banyak dosa yang hari ini ia dapatkan hanya karena terus-terusan mengatai suaminya tapi ia benar-benar tidak tahan dengan sikap arogan pria itu.

"Ibu sama Tuan serasi. Saya yakin kalau kalian punya anak, anak kalian pasti jadi bibit unggul." Kata Julia dengan senyuman lebarnya.

Bibit unggul? Apanya yang unggul lah Bapaknya aja sifatnya tercela begitu.

Prilly hanya tersenyum kecil tidak mengiyakan juga tidak mengaminkan perkataan Julia barusannya karena menurutnya ia dan Ali memiliki anak seperti mengharap hujan turun mengguyur gurun pasir mustahil.

"Semoga saja ya Mbak." semoga saja saya nggak gila lama-lama menghadapi tingkah ajaib Tuan Ali ya. Mbak. Sambung Prilly di dalam hati.

***

Pukul dua dinihari Prilly dikejutkan dengan tangisan Amar yang tiba-tiba terkejut ditengah tidur lelapnya.

"Sstt..jangan takut Sayang." Prilly memeluk Amar menenangkan anak itu.

Amar terlihat mendekap erat tubuh Prilly dengan tangan-tangan mungilnya. "Serem di sini serem. Amar takut." Bisiknya tak jelas karena suaranya teredam di dada Prilly.

Prilly bingung menyebut dirinya siapa alih-alih memanggil dirinya Bunda ia justru lebih memilih dipanggil Mami oleh putra tirinya.

"Jangan takut Nak. Mami disini." Bisik Prilly mengecup lembut kepala Amar yang ditumbuhi rambut hitam nan lebat sekilas mirip sekali dengan rambut Ali meskipun Prilly belum menyentuh langsung rambut suaminya.

Amar mendongakkan kepalanya menatap Prilly dengan mata bulat yang mengerjap lucu. "Amar punya Mami sekarang?" Tanyanya dengan ekspresi begitu polos.

Prilly terharu entah kenapa ia merasa begitu menyayangi anak ini. "Iya sekarang Amar punya Mami." jawabnya dengan suara terdengar serak, Prilly terharu.

Wajah pucat Amar sontak berbinar-binar menatap Prilly. "Berati Papi nggak marah lagi sama Amar?" Tanyanya dengan ekspresi begitu ceria.

Kening Prilly berkerut ringan. "Marah kenapa Sayang?"

"Papi marah karena Amar lahir Papi kehilangan istrinya." Jawaban polos Amar membuat jantung Prilly seperti ditikam.

"Ma--maksud Amar apa Nak?" Prilly kembali membawa Amar ke dalam dekapannya memeluk anak itu dengan penuh kasih sayang.

Ya Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi antara Amar dan Ali kenapa kedekatan antara Ayah dan Anak sama sekali tidak terlihat pada mereka berdua.

Julia yang mendengar pembicaraan Amar dengan Ibu tirinya mengusap air matanya diam-diam. "Tuan membenci Den Amar karena menyebabkan almarhumah Nyonya meninggal Buk."

Mata Prilly sontak membulat sempurna, ia tatap Julia dengan tatapan tidak percaya. "Lelucon macam apa itu? Kematian seseorang memang sudah ditakdirkan tidak ada yang bisa menghalanginya."

"Benar Bu tapi Tuan Ali seperti tidak mempercayai hal itu karena semenjak Nyonya meninggal setelah melahirkan Den Amar, Tuan Ali terus memusuhi Den Amar." Julia tidak bisa menyembunyikan air matanya ketika menceritakan bagaimana Ali menolak kehadiran putranya sendiri.

Gigi Prilly terdengar bergemeletuk pertanda emosinya mulai menyala. "Sekarang Amar tidak perlu takut lagi ada Mami yang akan selalu melindungi Amar." Ucapnya sambil mengecup lembut kening putranya.

Amar tersenyum lembut sebelum memejamkan matanya dalam pelukan sang Ibu tiri yang membuat dirinya nyaman. Amar belum pernah merasakan kenyamanan seperti ini, pelukan Neneknya memang hangat tapi tidak senyaman pelukan Maminya.

Perlahan Amar terpejam lalu tak lama kemudian terdengar dengkuran halus dari mulutnya pertanda putra Prilly itu sudah terseret ke dalam mimpinya.

"Mimpi indah jagoan Mami." Bisik Prilly kembali membenamkan kecupan hangat di kening putranya.

*****

Duda TampanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang