Bab 28

12.2K 983 45
                                    


Prilly terlihat terengah-engah setelah menyiram satu ember air tepat di atas kepala mantan mertua suaminya. Perempuan tua ini salah mencari lawan, jika Fatma pikir Prilly akan menangis terisak-isak setelah ia perlakukan seperti ini maka Fatma salah besar.

Prilly di didik untuk menjadi pribadi mandiri dan pemberani oleh ayahnya Sadewa. Prilly berani karena ia benar, ia tidak akan mencari masalah tapi ketika orang lain mencari masalah dengannya maka tidak ada istilah lari.

Dengan keberanian yang ia punya Prilly akan membalas siapa saja yang menyakiti dirinya termasuk Fatma.

"APA YANG KAU LAKUKAN JALANG!?" Fatma kembali berteriak memaki wanita sialan yang berani-beraninya mengguyur dirinya seperti ini.

Dalam keadaan basah kuyup Fatma terlihat begitu murka namun sayang sekali tatapan nyalangnya itu sama sekali tidak membuat nyali Prilly ciut, ia justru semakin tertantang untuk membalas perbuatan jahat wanita tua ini.

Brak.

Prilly membanting ember yang masih ada di tangannya lalu dengan berani ia melangkah mendekati Fatma membalas tatapan tajam Fatma dengan kilat yang tak kalah tajam.

"Saya sudah berusaha menahan diri untuk tidak menganggu Anda meskipun kedatangan Anda sangat menganggu saya." Prilly berkata dengan gigi terdengar bergemeletuk pertanda emosinya benar-benar sudah berada diujung tanduk.

Namun ia masih berusaha menguasai diri supaya ia tidak kelepasan dan menyakiti wanita tua didepannya ini. Prilly terlihat kesulitan mengendalikan emosinya.

"Tapi Anda sudah begitu berani dan lancang menganggu kenyamanan saya." Lanjut Prilly masih dengan tatapan nyalangnya.

"Kamu yang salah tempat! Tempatmu bukan di sini sialan! Yang pantas menjadi istri menantuku adalah Sarah!" Fatma ingin sekali menjambak rambut panjang Prilly namun tatapan nyalang wanita ini jujur saja membuat lututnya bergetar.

Fatma ketakutan namun ia tetap berusaha tenang.

Prilly menyunggingkan senyum sinisnya. Ia benar-benar tidak menyangka jika mantan mertua suaminya memiliki mulut seberbisa ini.

"Jika memang wanita bernama Sarah itu yang pantas menjadi pendamping Mas Ali lalu kenapa Mas Ali justru memilih menikahi ku daripada wanita itu heum?" Ejek Prilly dengan gaya angkuhnya. "Atau mungkin ada yang salah dengan si Sarah, mungkin si Sarah perempuan Jalang." Lanjut Prilly yang membuat wajah Fatma berubah merah padam.

"Jangan berani-beraninya kamu menghina putri ku sialan!!"

"Jangankan putrimu, kamu saja bisa saya hina lebih dari ini." Balas Prilly tak kalah kasar. Prilly sudah melupakan tata krama yang selama ini ia pelajari tentang menghormati orang yang lebih tua karena Ibu Fatma yang terhormat ini benar-benar tidak layak untuk dihormati.

"Mami!"

Prilly segera merubah ekspresi wajahnya ketika mendengar suara ceria putranya. "Hai Sayang."

"Ini kenapa tumpah?" Amar terlihat terkejut melihat makanan yang berhamburan di lantai. Julia yang berjalan di belakang Amar juga sama terkejutnya.

Ia sudah bisa menebak siapa yang menyebabkan kekacauan ini. Fatma, benar-benar keterlaluan wanita tua ini.

Prilly tersenyum kecil, mengabaikan wajah bengis Fatma yang terlihat begitu kacau dengan tubuh basah kuyupnya.

"Kita ke kantor Papi ya Sayang."

"Makanannya?"

"Kita beli aja tadi Mami nggak sengaja numpahin makanannya." Bohong Prilly yang langsung dipercayai oleh Amar.

"Mami nggak apa-apa?" Anak itu terlihat khawatir dengan Ibunya. Prilly tersenyum lalu menggeleng pelan. "Mami baik, sekarang Amar tunggu Mami di ruang depan ya Mami ambil tas sama kunci mobil dulu." Amar segera berlari menuju ruang depan meninggalkan Prilly yang kembali memasang wajah dinginnya.

"Julia tolong bereskan semua kekacauan ini." Julia segera melaksanakan apa yang Nyonya nya perintahkan.

"Dan untuk Ibu Fatma yang terhormat sekali lagi saya ingatkan jangan terlalu percaya diri dan memandang mudah saya karena saya bisa melakukan apa saja bahkan sesuatu yang tidak pernah Anda pikirkan sekalipun. Ingat itu!"

***

"Papi!!"

Prilly memasuki ruangan suaminya, ia sedang dalam mood buruk jadi alih-alih menghampiri suaminya ia memilih berjalan menuju sofa yang ada di sudut ruangan Ali lalu menghempas tubuhnya disana.

Prilly lelah.

Ali yang sedang menggendong Amar menatap bingung istrinya, Prilly aneh sekali hari ini, apa ada sesuatu yang salah? Pikir Ali tanpa melepaskan pandangannya dari tubuh sang istri.

Prilly tidak menghiraukan sama sekali kebingungan suaminya. Ia memilih memejamkan matanya setelah membaringkan tubuhnya di sofa Ali.

"Mami sakit?" Ali memilih bertanya pada putranya.

Amar menatap Ayahnya lalu menggeleng pelan. "Ada nenek dirumah yang ngerjain Mami terus."

"Nenek?" beo Ali yang dijawab anggukan kepala oleh Amar.

"Katanya Nenek itu ibunya almarhumah Mama Salwa." Jelas Amar begitu polos yang membuat Ali terhenyak.

Mantan mertuanya datang? Lalu kenapa mereka tidak menghubungi dirinya?

"Terus Nenek dimana?"

"Di rumah Pi tadi nenek juga gangguin Mami masak buat Papi." Amar bukannya tidak melihat apa yang Neneknya lakukan pada Ibunya hanya saja ia memilih tidak tahu supaya tidak membuat Ibunya khawatir.

Amar tahu Neneknya itu tidak menyukai Ibunya, meskipun tidak langsung melihat apa yang Neneknya lakukan tapi ia yakin makanan yang berserakan di lantai itu adalah ulah Neneknya.

Ali menghela nafasnya, sekarang ia tahu apa penyebab istrinya bersikap acuh terhadap dirinya. Prilly pasti mengira jika dirinya yang membawa mereka -mantan mertuanya- pulang ke kediamannya.

"Amar main sama Om Sam dulu bisa?" Ali mulai terbiasa berinteraksi dengan putranya sehingga ia tak lagi kaku seperti dulu walaupun sesekali ia masih bingung jika harus memulai pembicaraan dengan putranya.

Dengan patuh Amar menganggukkan kepalanya. "Bisa Papi." Amar benar-benar anak yang patuh dan Ali bersyukur dengan kepatuhan anaknya itu.

Ali menurunkan putranya lalu berjalan menuju mejanya. "Sebentar Papi telpon Om Sam dulu." jelas Ali ketika meraih ponselnya dan langsung menghubungi sahabat juga asistennya itu.

Ali hanya akan menyerahkan Amar pada orang yang dipercayai olehnya dan di kantor ini satu-satunya orang yang Ali percayai adalah Samuel, sahabatnya.

Tak butuh waktu lama, Samuel sudah tiba di depan pintu ruangannya setelah menyerahkan Amar putranya, Ali segera berjalan menuju sofa dimana istrinya sedang berbaring.

"Bangun Prilly, Mas perlu bicara sama kamu."

*****

Duda TampanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang