Sepanjang lamunan, angin menyapu setiap inci wajah Yasmine. Di kepalanya terngiang kemungkinan yang bisa terjadi setelah perbincangan nanti sekaligus bagaimana cara tepat mengungkapinya. Perlukah diawali basa-basi atau langsung inti. Namun, inti permasalahan sebenarnya adalah Yasmine mendadak tidak begitu siap jika kemampuannya harus terungkap, padahal beberapa waktu lalu dirinya merasa cukup bersemangat. Tidak mungkin jika perbincangan dibatalkan karena ini sudah setengah jalan.
Lain di kepala Jinan, gadis yang tengah mengendarai motor. Dia sangka telah terjadi sesuatu antara sahabat satu gendernya itu dengan sang kekasih, yang mana hal itu menjadi tujuan dirinya meminta antar untuk bertemu. Jinan sudah terkagum saja kepada Yasmine sebab gadis itu memilih jalan langsung meluruskan permasalahan dengan yang bersangkutan ketimbang bercerita dulu kepada orang terdekat.
"Ini bukan?" Jinan memelankan laju motor, melihat bangunan kafe bergaya industrial di sebelah kiri.
027 Café. Yasmine mengangguk. "Pasti ini sih."
Mengamati setiap titik, atensi gadis itu terhenti di lantai teratas bangunan tersebut, tepatnya ke area balkon. Seorang lelaki mengenakan kaus hitam lengan panjang sedang duduk sambil bertopang sebelah tangan dengan kepala sedikit ditundukkan ke arah meja. Tanpa disadari, senyum melebar di bibirnya seiring kedua netra memandangi lekat sosok si lelaki.
"Ceu?" panggil Jinan. "Jadi turun enggak nih?"
Yasmine refleks mengerjap cepat. "Eh, iya. Ayo."
Dahi Jinan berkerut. "Gua ikut?"
"Hm ... iya."
Walau benak bertanya-tanya, dia mengikuti saja. Bersamaan Yasmine berjalan ke pintu masuk, Jinan memarkirkan motor. Baru kemudian keduanya melangkah beriringan menuju meja di mana lelaki itu berada.
Lagi, perasaan tidak siap menyerang hati ketika punggung lelaki itu terlihat. Yasmine ingin mundur, menghilang saja dari hadapannya dan berharap dia melupakan soal ajakan tersebut. Namun, tentu saja hal itu tidak bisa dilakukan. Setengah jalan yang sudah terjadi ini benar-benar menjadi sesuatu yang seolah tidak dapat diganggu. Perlukah Yasmine menyesal atau tidak.
"Hai."
Kepala lelaki itu langsung mendongak ketika suara gadis yang amat dikenal, terdengar. Senyum pun silih dilempar, begitu pula sepasang netra untuk saling ditatap lekat. Di belakang itu, Jinan mengatup bibir; menahan senyum yang memaksa ingin ditunjukkan.
"Tolong, jangan, risi, sama kehadiran gua di sini, okay," cicitnya kemudian. "Permintaan Nona Cantik ini juga."
Lelaki itu, Lintang, mengangguk santai. "Bukan sesuatu yang intim."
"H-hah?" Jinan spontan memasang ekspresi tanda tanya besar, bahkan suaranya keluar cukup keras.
"Enggak usah kaya orang bego begitu," decak Lintang.
Yasmine menggigit bibir dalam sambil menatap kedua orang itu bergantian. "Jadi, gua mau bilang tentang--"
"Mau pesan apa, Kak?"
Si pembicara langsung mengatup bibir, Jinan melukis senyum kecut, sementara Lintang tegas saja menatap seorang pelayan pria muda yang datang di waktu tidak tepat itu. Tidak mendapat respons berarti dari ketiga pelanggan, dia menyodorkan buku menu dengan perlahan--walau tetap kelihatannya memaksa si pelanggan merespons.
"Oke, kita pesen dulu." Jinan menarik buku menu yang disodorkan. "Gua mau minum aja."
Hati puas menerima pesanan, pelayan itu baru meninggalkan meja. Kepergiannya terus diperhatikan Yasmine, memastikan dirinya tidak kembali lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Girl Almighty
ParanormalEye-catching cover by @shemarpy Menjadi berbeda adalah hal yang cukup menyulitkan bagi Yasmine, tapi untunglah orang-orang di sekitar dapat menerimanya dengan terbuka. Namun, kecelakaan yang menimpa Yasmine di suatu sore siapa sangka perlahan-lahan...