Wanita usia pertengahan 30 tahun dengan rambut dibentuk kucir kuda berjalan mencakah di tengah-tengah lorong bernuansa kayu. Benturan antara hak sepatu dengan lantai marmer begitu memekakkan telinga di tengah suasana sunyi. Kacamata berbingkai coklat tua bertengger tegas di hidung, sementara dipegang erat sebuah tablet di tangan kiri. Kemudian langkahnya terhenti, belok ke arah kiri melewati pintu besi berwarna merah.
Pancaran warna putih dari dinding dan cahaya remang-remang terlukis di depan mata. Nuansa serba putih itu dibatasi oleh jeruji besi, yang memisahkan empat orang di belakang meja beserta siapapun yang masuk ke ruangan.
Berhenti di depan pintu, pandangan wanita itu mengedar ke sekeliling. Alisnya bertaut ketika sosok yang dia cari tidak ditemukan. Sebelum mencari di luar, dia bertanya lebih dulu.
"Di mana Mr. Affandi?"
Satu dari empat orang menjawab, "Dia berada di Ruang LG-04."
Hanya berbalas anggukan cepat, wanita itu meninggalkan ruangan. Namun sebelumnya, matanya sebentar melihat objek di balik jeruji. Sebuah tabung transparan yang dikelilingi pancaran cahaya berwarna jingga. Ujung cahaya itu tampak bercampur dengan warna putih sekitarnya. Satu pertanyaan ingin dilontarkan, tapi perihal satu ini dengan seseorang bernama Affandi lebih penting dilakukan. Alhasil, kakinya melewati pintu merah dan melangkah menuju ruangan yang dimaksud.
BRAK!
"Rangga." Wanita itu melesat masuk tanpa permisi. "Aku ingin bicara denganmu."
Pria yang dipanggil respons menegak di kursinya. "Amara! Kau mengejutkanku."
Wanita berkucir kuda, Amara, menyodorkan tablet dari tangannya. Rangga menerima dengan raut kebingungan di wajah. Menunggu pria itu membaca, Amara memerhatikan wajahnya sambil bersedekap. Pada layar yang tengah dicermati, tergambar dua simbol kuning.
"Apa kau menyadari ini?" Dia bertanya mendapati bungkamnya Rangga. "Kau membawanya kembali."
"Mengapa aku? Bukankah kau menyetujuinya juga?" protes pria itu.
"Aku setuju karena kau menekanku," ungkap Amara tegas. "Dengar, bagaimanapun dia tetap manusia, dilahirkan dari rahim seorang ibu. Meskipun takdirnya seperti ini, tapi kita sudah berjanji untuk membuatnya dapat hidup normal bukan? Kau sendiri yang bilang begitu, eh."
Rangga mendesah kasar. "Aku tahu, jangan menceramahiku. Sekarang kutanya, bagaimana bisa ini terjadi?"
"Bagus, sekarang kau malah bertanya." Amara mendengkus. "Menghapus citra utama lalu menggantinya dengan citra cadangan tanpa menganalisis proses verbal lebih lanjut, bisa menyebabkan kerentanan yang lebih besar. Satu simbol kuning itu menunjukkan lapisan pertama citra cadangan, atau Sesi B, telah ditembus. Kau tahu apa selanjutnya."
"Ya ... kemungkinan lapisan berikut bisa ditembus hingga akhir. Pada akhirnya, citra tidak dapat bekerja dan proses kita selama ini gagal," sambung Rangga.
"Aku terus berpikir, sebenarnya citra utama masih bisa ditransfer seandainya kau tidak terburu-buru menyuruh lakukan Protokol Penghapusan!" ucap Amara, nadanya menyindir kesal.
Lantas Rangga menatap wanita berkacamata itu dengan tajam. "Kenapa kau terus menyalahkanku? Lihatlah dirimu, tanganmu juga ikut campur dalam hal ini!"
"Aku hanya berusaha mengingatkanmu bahwa subjek kita manusia, bukan tikus putih."
Amara berbalik badan, meninggalkan ruangan berikut Rangga yang terus memanggil namanya. Dari ruangan pria itu, Amara mengambil arah ke kanan untuk mendatangi sebuah ruang lain yang letaknya satu lantai di atas.
Di lantai tersebut, nuansa lain terbangun. Tidak ada kayu yang menghiasi dinding lorong, melainkan lapisan cat abu tua. Langit-langit lorong sepanjang 30 meter itu diterangi lampu neon kuning setiap enam meternya. Pintu kaca buram di sebelah kiri menjadi tujuan Amara, di baliknya berdiri ruangan berukuran 3x3. Isinya mencerminkan ruang kontrol, terlihat dari adanya beberapa layar sama ukuran beserta meja berisikan alat elektronik pendukung seperti papan ketik dan telepon. Amara mendaratkan bokong di kursi roda yang menghadap ke seluruh layar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Girl Almighty
ParanormalEye-catching cover by @shemarpy Menjadi berbeda adalah hal yang cukup menyulitkan bagi Yasmine, tapi untunglah orang-orang di sekitar dapat menerimanya dengan terbuka. Namun, kecelakaan yang menimpa Yasmine di suatu sore siapa sangka perlahan-lahan...