02 | Belanja dan Hujan

125 60 296
                                    

Bel pulang berbunyi merupakan alarm terindah. Seolah itu panggilan bidadari surga yang akan memanjakan penghuninya. Sudah waktunya kelas untuk dibubarkan, tapi tidak sedikit pula sekumpulan murid sudah terlihat nangkring di depan kelas atau di pinggir lapang saat bel berbunyi. Hanya 5% kelas yang baru keluar sekitaran 5-10 menit setelah bel selesai.

Selalu ada yang menarik perhatian siswa-siswi saat berjalan melewati atau di lapangan ketika jam pulang--beberapa siswa kelas 12 yang sibuk mengguyur diri dengan air minum, tambahannya sambil tiduran. Kalau seperti itu, sudah ada satu jawaban yang sama di setiap kepala: berakhirnya pelajaran Pak Frazan. Yang sibuk berguyur-guyuran tidak tahu saja banyak pasang mata perempuan terpaku ke arah mereka, terlebih lagi ke arah mereka yang sengaja membuka seragam atasan olahraganya.

Di kelas 11 IPS 4, ada Yasmine dan belasan teman lainnya yang masih berada di ruangan, termasuk empat orang yang berada di depan pintu. Kelasnya hari ini termasuk kelas yang baru bubar setelah bel selesai. Apa lagi kalau bukan karena amanat wali kelas yang tidak jauh membicarakan insiden jatuhnya pigura, yang diam-diam mengundang tatapan sinis Edrea dari meja tengah.

"Gais, gua duluan, ya," ucap Yasmine setelah menelepon sang nenek. "Mau ke Semar soalnya."

"Ih, jauh anjir dari sini!" balas Jinan tidak suka.

"Iya tau gua juga jauh, tapi kan jualannya emang di sana, ya mau gimana lagi," sahut Yasmine melas.

"Bareng gua aja, yuk," ajak Haviz. "Sekalian gua mau belanja."

"Titipan Bunda, ya," tebak Lingga diikuti cengiran.

"Ho'oh." Haviz mengangguk, kembali ditatapnya Yasmine. "Mau enggak?"

"Boleh aja, kalo lu enggak keberatan," balas gadis itu.

Zaky tiba-tiba terbatuk pelan. "Cih, tadi pagi aja ... kaya preman nyegat."

"Preman nyegat?" Jinan menaikkan sebelah alis.

"Tadi gua numpang Jaki dari belokan, itu pun sorry ya gua numpang karena KEBETULAN, bukan maksa." Yasmine menjulur lidah ke lelaki itu.

"Oke deh! Gua piket dulu bentar," ucap Haviz, kemudian berjalan ke belakang kelas.

Naufal diam saja, tapi ketika matanya melihat jam dinding dia bagai tersengat listrik. "Anying lupa! Lintang, buruan ke lapangan!"

Lintang mengernyit, tidak berapa lama wajahnya memancarkan sinar keterkejutan. "Eh iya! Yok ah!"

"Mau ngapain dah?" tanya Yasmine terheran-heran.

"Kepentingan sepak bola, biasa ...." Lingga bantu jawab.

"Pamit dulu bro!" Lintang dan Naufal pun berjalan keluar kelas, beriringan sambil merangkul 'mesra'.

Sepuluh menit dari kepergian duo berisik itu, Jinan menyusul pulang. Tersisalah Yasmine bersama Haviz dan Lingga yang sedang piket. Lantas, ke mana teman giliran piket yang lain? Jawabannya, tentu sudah kabur. Merasa kasihan--dan sebagai sahabat yang baik juga--Yasmine memutuskan untuk membantu. Namun sebelum itu, dia menelepon lagi sang nenek untuk memberi tahu bahwa dirinya akan pergi bersama teman.

Pasalnya, tadi Nenek sangat khawatir sampai meminta Yasmine untuk beli pigura esok hari saja dengan diantar Kakek, setelah mendengar cucunya itu akan pergi sendiri.

Selesai menelepon, Yasmine mengambil tugas memasukkan sampah-sampah yang sudah disapu Lingga, ke dalam tong. Empat kali kerukan pengki, tong terisi sangat penuh. Padahal, masih ada satu kerukan lagi untuk dibuang. Yasmine punya cara mengatasinya, hanya saja dia terlalu enggan untuk melakukan itu. Namun, melihat sampah yang masih berserakan, terpaksa dia akan melakukannya.

Girl AlmightyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang