41 | Maaf

30 10 92
                                    

"Guys ...." Kini Yasmine merasakan kepalanya berdenyut, mendorong kedua mata untuk dipejam guna mengurangi rasa sakit yang kerap menjadi di saat kepala bergerak meski pelan.

Lingga, Meisie, Haviz, dan Naufal memerhatikan sahabat mereka dengan terheran-heran. Meskipun demikian, jantung mereka berdebar-debar karena memahami kesakitan sang sahabat. Lintang sigap berlutut di sisi kasur, meraih jari-jemari Yasmine yang sibuk memijat di kepala, sembari memasang ekspresi cemas.

"Kepala kamu sakit?" tanyanya memastikan.

Yasmine menarik napas dalam-dalam, kemudian jari-jemarinya membalas sentuhan Lintang sedikit agresif dan menjadikan kedua tangan saling bertaut erat. Lintang menutupi kekagetan di kala Yasmine mendadak menekan buku-buku jarinya keras. Sementara melihat gadis itu masih menutup mata, dirinya pun bertanya-tanya apakah dia masih sadar. Pasalnya, tubuhnya mulai bergerak agak gelisah di balik selimut.

"Perlu kita panggil Nenek?" tanya Haviz setengah berbisik.

"Jangan!" sergah Yasmine. "Gua ... gua minta kalian buat keluar, kecuali kamu."

Lintang merasakan detak jantung berhenti sejenak ketika gadis itu memberinya tatapan menusuk, lantas dibalasnya anggukan pelan. "Oke, aku enggak akan ke mana-mana."

"Jaga diri lu baik-baik, Minceu," ucap Haviz. Keresahan terpatri di wajahnya.

Lingga menyambung, "Kita ke bawah dulu."

Satu per satu meninggalkan ruangan, orang terakhir adalah Naufal yang tidak mengucap sepatah kata pun, tapi sorot mata memancarkan rasa bersalah, mungkin menyesal--entah untuk apa. Dan sebagai orang terakhir pula, dirinya menerima perintah dari Lintang agar pintu tetap terbuka.

Kini, tinggallah Lintang bersama Yasmine yang semakin menunjukkan kegelisahan di balik selimut. Tangan kedua insan itu masih berada dalam genggaman erat satu sama lain. Namun, yang disalurkan lebih kepada emosi peperangan.

"Kamu kerasa sakit apa lagi?" Lintang kembali bertanya.

"Enggak ... maksudku, ya. Ya, aku ngerasa sakit, Lintang," tegas Yasmine. Menyibak selimut, dia terduduk bangun.

Sehingga Lintang pun ikut duduk di tepi kasur, mengusap-usap punggung tangan sang gadis seperti yang Kakek lakukan sebelumnya. "Apa yang sakit?"

Sorot tajam nan gelap mulai menyelimuti sepasang manik Yasmine. Bulir-bulir keringat di pelipis dan area leher terlihat membanyak. "Apa kamu masih punya gelangnya?"

Lintang menegang, genggamannya sedikit lebih mencengkeram. Dengan netra penuh kilat-kilat kewaspadaan, dia mengalihkan perhatian. "Hm, aku ambil handuk dulu."

Yasmine ingin mencegat, tapi Lintang sudah bergerak lebih cepat menjauh darinya. Mengambil handuk kecil yang tersampir di punggung kursi tempatnya duduk tadi, Lintang kembali mendaratkan bokong di tepi kasur dengan jarak lebih dekat ke hadapan Yasmine. Memberi isyarat lewat mata, gadis itu mengangguk cepat. Tangannya yang terbalut handuk pun mendarat di leher sang gadis dan secara perlahan menyeka peluhnya.

Berdekatan dengan Lintang dan menerima sentuhan lembutnya, mengakibatkan jantung Yasmine berdegup liar. Sedikit-sedikit Yasmine menahan napas agar lelaki itu tidak menyadari betapa menggebu-gebu napasnya. Pandangan juga tidak kuasa diarahkan kepada dirinya, meskipun terus mendapat dorongan dari lubuk hati untuk sesekali mencuri pandang.

Di samping itu, pergerakan tangan Lintang di area leher selain menimbulkan rasa geli, juga gejolak di dalam perut. Yasmine merasakan ribuan kupu-kupu seolah tengah menggelitik perutnya tanpa ampun.

"Ehm, aku tanya, apa kamu punya gelangnya?"

Pergerakan tangan Lintang saat itu juga melambat. "Gelang ... apa?"

Girl AlmightyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang