40 | Fever

36 10 64
                                    

Mendapati sang cucu tidak kunjung turun keesokan hari, Nenek memutuskan pergi ke kamarnya. Melihat sang cucu masih terbalut selimut, dahi berkerut sebab gelagatnya menunjukkan hal tidak biasa pula. Nenek sigap menghampiri gadis itu dan memeriksa kondisinya. Tidak salah lagi, sang cucu mengalami demam tinggi.

Suhu tubuhnya sangat panas sampai serasa memanggang telapak tangan ketika menyentuh baik itu area dahi maupun leher, bahkan dari jarak setengah jengkal pun dapat dirasakan hawa panas yang menguar dari kulit.

"Yasmine, kamu demam. Apa kamu kecapekan?"

Dalam keadaan lemah, Yasmine menarik kembali selimut yang diturunkan Nenek sebelumnya dan menggeleng pelan. Wajah Nenek dipandangnya pula dengan tatapan sayu.

Apa yang terjadi kemarin malam, tepatnya ketika kemampuannya menyedot seluruh energi, menjadi jawaban atas kondisi Yasmine seperti ini.

"Kalo demam begini harusnya jangan pake selimut. Dibuka, ya?" Permintaan Nenek langsung dijawab gelengan gadis itu. "Ya udah, Nenek turun dulu ambil makan."

"Oke."

Nenek mengangkat bokong dari tepi kasur, kemudian berjalan ke pintu. Dengan lirikan, Yasmine memandang kepergian sang nenek. Sepeninggal beliau dari ruangan, rintihan terlontar dari mulut Yasmine sembari ujung-ujung jari memijat kepala cukup kencang.

Yasmine tiba-tiba merasakan jiwanya hancur. Bagaimana pengungkapan di depan mata--ucapan Edrea--mengakibatkan remuk hatinya hingga menjadi kepingan kecil nan halus. Tidak hanya itu, pikiran dan bahkan tulang-tulang penopang tubuh juga terasa demikian.

Suhu tubuh semakin meningkat tanpa Yasmine sadari. Darah pula ikut mendidih rasanya. Bulir-bulir keringat mulai bermunculan, setetes demi tetes berjatuhan membasahi kain. Yasmine memejamkan kedua mata, menekankan pijatan pada kepala, sementara deretan gigi menggigit bibir bawah cukup keras.

"Persetan." Satu tarikan napas, gaya gravitasi dalam kamar itu seakan hilang.

Kedua netra indah Yasmine membuka, dipandangi langit-langit kamar yang penuh oleh benda-benda mengapung. Meja belajar terlepas dari hal-hal seperti buku dan peralatan tulis, begitu pula tempatnya berias di samping itu yang bersih dari segala jenis aksesori. Selimut yang sedang dipakai juga ikut terapung bebas, membentuk gerakan gelombang kecil nan lambat.

Entah mengapa, tapi melepaskan kemampuannya seperti itu membuat jiwanya lebih 'bebas' dan tenang.

"Yasmine, hentikan!"

Terkesiap, semua barang langsung jatuh bersamaan. Nenek memejam penuh cemas saat kedua telinga menangkap berbagai jenis suara benturan dari benda sekitar. Ketika benturan mereda, dilihatlah sang cucu sedang membetulkan posisi selimut seraya balas memandangnya nanar.

"Kendalikan dirimu," tegas Nenek sambil menyimpan nampan di nakas.

"Yang kulakukan tadi itu demikian, karena aku melakukannya sendiri tanpa dikendalikan orang," balas Yasmine, agak sengit.

Tersirat rasa syok di wajah Nenek. "Apa yang kamu ucapkan?"

Yasmine spontan menggeleng cepat. "Enggak. Aku ingin makan."

"Makanlah. Nenek harus membereskan kamarmu."

Suaranya kentara terdengar ketus dan Yasmine tidak menyangka akan hal itu. Baru kali ini dirinya mendapati sikap sang nenek yang tidak berlemah lembut.

Yasmine mendengkus pelan, lalu diambilnya mangkuk dari nampan. Sesuap demi sesuap, sorot mata tidak lepas dari pergerakan Nenek yang sibuk menyusuri setiap titik ruangan untuk merapikan barang-barang ke tempat asalnya. Akibat kejadian itu pula, menyebabkan keretakan kaca pigura foto gadis itu bersama dirinya dan sang kakek. Hati Nenek agak tersayat memerhatikan retakan tersebut.

Girl AlmightyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang