31 | Perpustakaan

42 13 144
                                    

"Serius? Kapan?" Jinan amat antusias bertanya ketika orang yang satu-satunya berkacamata itu bercerita mengenai, sang kekasih (?), yang baru mengiriminya kabar melalui surat. Siapa lagi kalau bukan dari gadis desa bernama Kirana.

"Trius, Ji." Cengiran terus diperlihatkan Naufal sedari awal bercerita. "Bales apa ya kira-kira ...."

"Lah, kita aja enggak tau isi suratnya apaan," sahut Lingga.

"Eh, nanti deh. Tulisannya aja. Tulisan tangan gua jelek banget, perasaan," alihnya.

Tiba-tiba Lintang memukul meja. Para sahabat berhasil dibuatnya tersentak. "Nyadar juga, akhirnya. Bukan perasaan, emang fakta."

"Hm, tajem bener," cicit Zaky.

"Pang, enggak masalah tulisan lu jelek yang penting isinya. Penuh makna mendalam--ngena ke hati--yang bikin Kirana sampe kayang tuh bacanya." Wejangan Haviz lantas direspons sorakan sekaligus tawa.

Yasmine membalas--berniat meralat ucapan Zaky. "Ini baru setajam silet."

Bel pun berbunyi, memaksa semua murid di luar kelas untuk masuk, termasuk kepada tujuh remaja yang sedang duduk-duduk santai di kantin. Bersama beberapa murid lain yang membereskan meja sebelum beranjak dari lokasi, mereka meninggalkan kantin. Lingga mendongak, memandang langit agak mendung yang menarik perhatiannya. Gumpalan kapas putih telah menutupi seluruh langit, bahkan di beberapa titik--khususnya sebelah selatan--gumpalan tidak lagi berwarna putih, melainkan kelabu pekat. Dia percaya, tidak lama lagi hujan akan turun.

Sesampai di kelas, tujuh orang itu menyebar ke kursi masing-masing. Meskipun sebenarnya tidak dapat dikatakan menyebar juga, karena posisi mereka tetap berdekatan. Kalau tidak depan-belakang, maka bersebelahan.

Kirani, si sekretaris kelas, berjalan dari meja guru menuju pintu untuk menutupnya rapat-rapat. Agaknya dia mengetahui apa yang akan terjadi di dalam ruangan IPS 4 ini sebab terbukti tidak sampai dua menit suasana berubah gaduh. Obrolan terdengar di setiap sudut, ada yang santai sampai menggebu-gebu suaranya. Bermain games ataupun menonton film di ponsel--entah itu dilakukan seorang diri atau bersama-sama--foto-foto, mengerjakan tugas sekolah, hingga tidur di mana pun posisinya semua itu mewarnai kegaduhan. Mengalihkan perhatian mereka dari langit di luar sana yang kian menggelap.

Pelajaran terakhir adalah matematika, kini sudah berlalu hampir 20 menit sejak bel masuk, tapi tidak tampak tanda-tanda kehadiran sang guru pengajar. Suasana kelas pula bertambah ramai setiap menitnya, boleh jadi kegaduhannya terdengar sampai ke luar ruangan. Satu, dua orang murid ada yang menanyakan keberadaan sang guru, tapi tidak ada yang berinisiatif untuk memanggilnya ke kelas. Mereka sekadar tahu jawaban dari mulut si ketua murid, setelah itu melanjutkan lagi kegiatan di depan mata.

"Kawan, ke perpus yuk," ajak Naufal.

Jinan spontan menegak. "Ih, ayo! Males di kelas, kaya enggak puguh."

"Pak Agus enggak bakal masuk kali, ya," tebak Lingga, setengah ragu.

"Doain aja jangan." Zaky langsung nyengir.

"Ayo, berangkat!" Yasmine beranjak, mengeluarkan sebelah kaki dari bawah meja. Hendak melangkah, tapi rupanya kaki yang satu tersangkut di kaki meja. Beruntung kedua tangan sigap menahan ke meja, kalau tidak, gubrak.

Sudah ketebak apa yang terjadi setelah itu. Suara tawa berlomba-lomba keluar dari mulut para sahabat, terkecuali Haviz dan Lintang sebab menahannya setengah mati di balik bekapan. Sesi tawa itu lalu diakhiri dengan bertolak menuju perpustakaan. Langit gelap semakin tidak terhindarkan hingga mulai terdengarnya suara guntur yang bersahutan-sahutan.

Girl AlmightyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang