BAB 1 || Bully

86 13 26
                                    

Halo apa, kabar?

1,9k+ kata

⚪  E v l a n k a ⚪


“Mama mau nikah lagi, Kak. Namanya Angga. Dia duda anak satu. Anaknya perempuan, lebih muda setahun dari kamu. Boleh, kan?”

Tidak ada persetujuan maupun penolakan yang keluar dari mulut Fendy saat itu. Dia hanya menatap mamanya, meneliti seberapa besar keinginan wanita itu untuk menikah lagi. Seberapa yakin wanita itu bahwa Angga adalah pilihan terbaik. Menilai satu kalimat terakhir yang mamanya ucapkan sesungguhnya tak sepenuhnya menanyakan pendapat Fendy. Ada penekanan di akhir kalimat yang meminta untuk disetujui.

Pembicaraan itu berakhir dengan jawaban terserah. Fendy pamit, memilih menginap di rumah Pian—sepupunya—untuk beberapa hari. Bukan karena kecewa, Fendy hanya butuh ruang untuk tidak melakukan kesalahan. Hanya tidak ingin ikut campur urusan pernikahan mamanya.

Dengan tidak menolak maupun menyetujuinya, Fendy berharap dia bisa berdiri dengan netral dan rasional jika suatu saat keputusan itu membuahkan masalah. Kalau keputusan itu tidak menyakiti Lesa, Fendy akan ikut berbahagia dan merasa lega.

Tak terasa dua bulan berlalu sejak Lesa meminta izin. Pernikahan itu akhirnya digelar tertutup di sebuah hotel mewah. Wajah-wajah yang Fendy lihat pun hampir semuanya dia kenal. Sisanya adalah tamu undangan dari pihak Angga.

Setengah hari berlangsung tanpa menarik minat Fendy untuk menunjukkan perasaan bahagia yang menggebu-gebu. Hingga detik ini masih kesulitan menemukan rasa puas dari keputusan Lesa yang akan mengubah bagian besar kehidupan Fendy. Ini masih terlalu awal. Apa yang baru dimulai kemungkinan besar terasa menyenangkan, tidak tahu akhirnya bagaimana.

Sampai pada akhirnya dua orang asing itu resmi tinggal di rumahnya. Berbagi udara yang sama di satu atap. Berbagi tanah yang sama untuk berpijak. Berbagi semua hal yang ada di dalam sana, apa yang ditinggalkan papanya. Kenangan yang Fendy kira selamanya hanya untuknya.

Fendy merasa terusik dengan kehadiran mereka, itu pasti. Perasaan asing, tidak nyaman, tidak ada yang spesial, dan tidak ada ketertarikan. Hal-hal yang menjadi alasan Fendy lebih sering menginap di rumah Pian. Memilih menghabiskan waktu dengan kegiatan monoton ketimbang mencoba banyak hal baru di rumahnya sendiri.

Ada waktu di mana Fendy tersadar hatinya sudah mengeras. Entah sejak kapan tepatnya Fendy mulai membatasi diri untuk tidak berkenalan dengan orang baru.

Sampai hari ini, ketakutan Fendy masih terpendam dalam diri. Setiap kali dia pulang untuk menjenguk mamanya, Fendy disambut dengan sangat baik. Air wajah mereka bertiga terlihat berseri-seri. Anehnya, tidak ada yang memaksa Fendy untuk pulang seakan tahu itu hanya sia-sia.

Satu hal yang paling membuat Fendy risi berada di rumah adalah keberadaan adik tirinya. Gadis itu tak berhenti menarik perhatian Fendy meski sudah berulang kali ditolak dengan dingin. Sisanya Fendy baik-baik saja.

Setidaknya hingga satu per satu kabar miring sampai di telinganya.

“Eh, Fen. Lanka makin lama kenapa makin cakep anjir,” celetuk Pian di tengah-tengah-tengah keseruan mereka bermain play station.

Tidak tahu kenapa, tiba-tiba sosok Lanka lewat saja di pikirannya. Satu-satunya cewek cantik yang sangat dekat dengan Pian. Hubungan itu terjalin dengan alami sejak persiapan pernikahan. Tanpa diduga mereka langsung akrab meski dibalut cekcok ringan.

“Info yang gak berguna.”

Pian menoleh sekilas, keningnya mengernyit dalam. Fendy menanggapi dengan tak acuh. Toh, kalaupun Fendy menanggapi itu dalam bentuk pertanyaan yang harus dijawab, Fendy tidak memiliki jawaban. Bukan dia yang menciptakan Lanka.

“Ya elah. Lo mah bisa puas banget liat wajah dia dua empat per tujuh. Dari bangun sampai tidur lagi.”

“Ya udah. Lo tinggal di rumah gue, gue tinggal di sini. Gimana?”

Pian malah tertawa mengejek, memutar bola matanya malas. Dia menyikut lengan Fendy dengan siku kirinya, mengganggu konsentrasi cowok itu.

“JANGAN CURANG KALAU MAIN!”

“YA UDAH GAK USAH NGEGAS!” Pian menggerutu kesal. Menekan kuat-kuat tombol yang ada di stik PS-nya. Fendy persis seperti cewek yang lagi PMS. Sensitif! Ngalahin pantat bayi!

“Gue dengar-dengar, dia di-bully sama—KOK, LO PAUSE! GUE BARU MAU MENGHINDAR ANJIR!” Pian berteriak frustrasi. Dia melempar stick PS-nya, mengacak-acak rambutnya mulai kehabisan kesabaran.

Kalau begini caranya, dia hanya tinggal berharap pada keberuntungan. Apakah ketika memulai kembali gimnya, tokohnya dapat menghindar tepat waktu, atau dia akan mati sia-sia karena kebodohan Fendy.

“Lanka di-bully?” tanya Fendy setelah memastikan dia tidak salah dengar.

“Apa? Kenapa?” Pian mendelik. “Info pentingkah buat lo yang gak pernah nganggap Lanka ada?” Pian berujar sewot, minta dijitak.

Fendy tampak berpikir. Selama ini, ketika tak sengaja melihat Lanka, tidak ada yang aneh darinya. Gadis itu berusaha mencari perhatian Fendy seperti biasa dengan tingkah-tingkah polos dan manja layaknya seorang adik perempuan. Membuatkannya sarapan dan bekal setiap pagi. Menunggunya pulang ketika Fendy ada kegiatan OSIS atau alasan lain. Juga mendekati teman terdekat Fendy.

Bully fisik atau verbal?” Fendy kembali bertanya.

“Pentingkah lo tahu gue tanya?” Pian masih kesal. Bahkan semakin kesal ketika Fendy mematikan PS lalu menyambar tasnya, pergi seenak durian.

“Mainnya sama gue. Jangan sendiri!”

“Apaan! PS PS gue.” Pian mendengkus kesal, membiarkan Fendy pergi begitu saja tanpa pamit padanya. Gini, nih, yang tidak dia suka dari Fendy. Kurang ajar. Mentang-mentang lebih tua.

“Lho, Fen? Mau pulang?”

Fendy menoleh, menatap tantenya. “Iya, Tan. Fendy pulang dulu.”

“Oh, ya udah. Hati-hati di jalan.”

Fendy menghampiri motornya, memakai helm lantas melesat keluar dari pekarangan rumah Pian. Beberapa opsi alasan bermunculan di kepala. Dari kapan, bagaimana, hingga siapa yang melakukannya.

Tanpa sadar satu nama terduga pelaku menjawab satu tanda tanya.

Tuk!

Seekor serangga menghantam keras kaca helm Fendy. Dalam sekejap mengembalikan seluruh kesadaran dan logika milik laki-laki berusia tujuh belas tahun itu. Fendy membuang napas gusar, menepikan motornya. Mulai bertanya pada dirinya sendiri, kenapa sampai seperti ini?

Fendy tidak perlu sampai bersikap begini.

Ya.

Tidak perlu.

Karena Lanka baik-baik saja. Dia punya semua yang dia inginkan. Dia tidak memiliki celah untuk ditindas. Tidak ada hal buruk yang terjadi pada gadis itu.

Walaupun ...

Tidak ada.

Lanka terlalu sempurna di matanya.

EvlankaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang