BAB 7 || Bulan Madu

48 9 13
                                    

Halo apa kabar?

Selamat membaca!

1,7k+

⚪  E v l a n k a ⚪


Lanka duduk di sofa ruang tamu dengan kepala menunduk dalam. Sedang kedua orang tuanya duduk di hadapannya dengan tampang penuh selidik. Tak terkecuali Fendy yang duduk di sebelahnya ikut merasakan hawa menakutkan itu.

Helaan napas Angga terdengar memecah sunyi yang bertahan hampir lima belas menit. Tatapannya melunak, mengurut kedua sisi kepalanya. Begitu pula Lesa yang akhirnya kembali tersenyum setelah menghela napas. Merasa lucu dan tak ada gunanya marah.

“Sudah selesai, Pak.”

“Oh, iya.” Angga berdiri, berjalan ke luar rumah untuk bertransaksi dengan tukang kunci.

Lesa terkekeh geli. Dia beranjak, duduk di sebelah Lanka dan memeluknya. “Gak papa, Sayang ... kuncinya sudah diganti.”

“Maaf, Ma ...”

“Sudah-sudah ... gak papa.”

“Lanka ceroboh,” lirih Lanka penuh penyesalan.

Lesa mengusap punggung Lanka lembut. Dia bisa memaklumi kesalahan Lanka, karena hal tersebut sangat manusiawi apabila terjadi. Kunci hilang bisa diganti, tapi jika Lanka yang hilang tidak pernah bisa terganti.

“Sudahlah. Jangan cengeng. Drama banget kamu.”

Fendy terlebih dahulu melirik Angga, agak terusik dengan cara pria itu bicara. Ingin protes, tapi Fendy sadar sangat jarang berkomunikasi dengan Angga. Toh, cara orang bicara memang berbeda-beda.

“Ini kita bagi kunci rumah yang baru.” Angga menunjukkan serenteng kunci.

“Mama Papa pegang masing-masing satu. Kakak sama Lanka mau masing-masing satu juga?”

“Iya.” Fendy menjawab. “Kita semua punya kesibukan masing-masing, dan gak selalu bisa cocokin jadwal.”

“Kalau Lanka hilangin lagi?” Lanka merasa pesimis.

“Kita ganti lagi kuncinya.” Angga mengangkat bahu enteng. Lagi pula, mengganti kunci pintu biayanya tidak seberapa. Juga tidak mungkin setiap hari Lanka menghilangkannya.

“Papa ngebiarin aku jadi anak ceroboh gitu?”

“Bukan, Sayang ... itu artinya Papa percaya sama kamu. Jadi ... lain kali lebih hati-hati, ya?”

Jawaban dari Lesa membuat Angga mengatupkan kembali bibirnya. Baru saja dia hendak membalas dengan candaan, tapi syukurlah Lesa bisa memberi pengertian jauh lebih baik darinya.

“Oh, ya. Sekalian Mama mau umumin, kalau minimal  seminggu ke depan Mama sama Papa bakal ke Lombok.” Lesa menatap Angga, memberikan pria itu giliran untuk bicara.

“Iya. Mama sama Papa juga sudah siapkan ART setiap Sabtu-Minggu untuk bantu-bantu kalian di rumah. Kalian gak papa, kan, ditinggal?”

Lanka menatap Lesa, kemudian beralih pada Angga, dan berakhir pada Fendy yang hanya diam saja. Dia pikir hanya seminggu, tapi ternyata malah jadi minimal seminggu. Lanka senang mendengarnya, jika begitu dua orang ini bisa menikmati me time mereka dengan sangat baik dalam periode itu.

“Kak Fen?”

“Hem? Kenapa? Aku?”

Fendy menatap Lanka dan Lesa bingung, menunjuk dirinya sendiri.

“Gimana kalau nanti Mama Papa tinggal ke Lombok?” Lesa bertanya dengan nada yang membelai telinga. Senyuman hangat tak tertinggal di parasnya yang masih terlihat cantik di usianya yang sudah berkepala empat.

“Gak gimana-gimana. Nikmati aja waktu kalian.”

Lesa menghela napas pelan. Dia menarik tangan putranya, mengusap lembut punggung tangannya. “Maksud Mama ... Lanka. Kamu bisa jaga Lanka?”

Mata Lanka membulat, dia menatap Lesa dan buru-buru membela diri dengan menggeleng tegas. “Lanka bisa jaga diri, kok, Ma.”

“Jaga kunci aja gak bisa, gimana jaga diri?” Angga mencibir.

“Pa ...” Lesa melemparkan tatapan horor pada Angga. Sekaligus mengirimkan sinyal untuk tidak bercanda sekarang. Kekehan geli dari Angga adalah bukti pria itu menerima sinyalnya.

“Bisa, tapi Fendy belum bisa janji.”

Fendy menginterupsi. Dia berdiri, lantas pamit untuk lanjut mengerjakan tugasnya di kamar. Melihat itu Lanka menghela napas lega, menatap punggung Fendy hingga lenyap dari jangkauan sorot matanya.

Ya ... setidaknya sudah ada kemajuan meski masih sering jalan di tempat.

Lesa tersenyum, mengusap kepala Lanka merasa tak enak karena kelakuan putranya. “Maaf ya ... kalau Fendy masih suka cuek.”

Lanka menggeleng. Sungguh. Tidak perlu sampai meminta maaf segala. Selama Lanka punya waktu untuk menunggu, itu bukanlah sebuah masalah. Lanka tersenyum manis, memeluk Lesa untuk menghilangkan rasa bersalah yang tidak perlu.

“Yang penting, Mama selalu terima Lanka. Untuk Kak Fendy ... cuma masalah waktu. Gak papa.”

EvlankaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang