BAB 14 || Maaf, Lan

47 13 1
                                    

Halo apa kabar?!

Hehe, met baca💜

1,9k+

⚪  E v l a n k a ⚪


“Minggir! Gue mau duduk di sini.”

Gadis berambut pendek yang menerima gertakan Hesa dengan patuh memenuhi keinginannya. Sambil terburu-buru gadis itu membereskan barang-barangnya, pindah ke bangku lain tanpa ingin membuat Hesa emosi. Ekor matanya melirik Lanka khawatir. Dia hanya bisa berharap, Lanka baik-baik saja. Karena bagaimana pun, Lanka adalah sosok baik yang banyak membantunya sejauh ini.

Lanka membuang napas, tampaknya sengaja menarik perhatian Hesa. Sejenak tangan Hesa berhenti melakukan pekerjaan seorang budak, tersadar— kenapa harus dia yang membersihkan meja ini? Otot jemarinya menegang, perlahan meremas tisu lantas sengaja melemparnya mengenai Lanka.

Mata Hesa memicing, memberikan atensi yang Lanka inginkan.

“Lap-in meja gue!”

Mata Lanka berhenti sebentar pada gumpalan tisu yang jatuh di lantai. Tak perlu menunggu Hesa meledak sekali lagi, Lanka bersegera melaksanakan perintah itu. Membiarkan Hesa tersenyum puas.

Mejanya sudah bersih sesuai keinginannya. Akhirnya Hesa bisa duduk dengan tenang. Sekian detik berdiam, membuat otak Hesa bekerja dengan leluasa. Entah apa yang sebenarnya dia inginkan sampai rela mengeluarkan isi laci Lanka. Mencari-cari sesuatu yang bisa dijadikan hal menyenangkan.

Dari belakang, Lanka hanya memperhatikan dalam diam. Satu persatu bukunya diperiksa oleh Hesa. Sampai pada akhirnya Hesa tertarik pada sebuah buku. Beberapa lembar isinya dirobek sesuka hati hingga tinggal potongan-potongan kecil.

Lanka kembali ke mejanya dengan tenang seakan tak ada yang terjadi. Sedetik setelah Lanka duduk, Hesa kembali memerintahkannya untuk membuang sampah yang barusan dia buat.

“Siap-siap dihukum,” bisik Hesa sebelum Lanka kembali keluar kelas. Bibir yang dipoles agak merah muda itu sedikit mengembang. Menciptakan senyuman kecil, pertanda bahwa dia sudah memperkirakan kejadian menyenangkan apa yang akan terjadi.

Kali ini, Hesa sangat yakin Lanka tak akan bisa lolos darinya hanya dengan mengandalkan CCTV. Mari menunggu bagaimana Lanka menyikapi hadiah kecil ini.

“Kumpulkan PR kalian sekarang.”

Imajinasi Hesa dimulai dari sini.

“Nih, kumpulin punya gue.”

“Oke.”

Hesa mendengkus geli menunjukkan remeh. Menatap punggung Lanka, hingga sampai di puncak imajinasinya. Lanka diusir dari kelas, sebab dia sudah kehilangan tugas yang seharusnya dikumpulkan.

Hadiah-hadiah kecil seperti ini lebih menarik bukan? Seperti kata pepatah, sedikit demi sedikit lama-lama jadi bukit. Dibanding menarik pelatuk pistol, menusuk lapisan demi lapisan hingga sampai di jantung adalah bayaran yang tepat.

Semua itu karena salah Lanka yang kembali muncul di hadapannya. Salah Lanka yang tak memanfaatkan kepindahannya. Salah Lanka yang tiba-tiba dekat dengan Fendy. Salah Lanka yang berani-beraninya menarik atensi yang sebelumnya hanya tertuju padanya.

Semua ini salah Lanka. Sejak saat itu, sampai detik di mana Hesa memutar bola ingatan.

⚪  E v l a n k a ⚪


Lanka berjalan mengitari sekolah tanpa tujuan. Pekerjaan rumah yang Hesa robek sama sekali bukan masalah. Sejak pindah, Lanka sudah mempertimbangkan banyak hal. Salah satunya mengumpulkan tugas di pagi hari dengan memberi alasan yang masuk akal. Lanka bela-bela menunggu di ruang guru untuk mengumpulkan tugasnya saat guru datang. Lanka bela-bela menulis dua kali tugasnya demi memiliki cadangan.

Bukan hal sulit menjelaskan situasinya pada Pak Imam. Tak hanya karena Lanka menyimpan beberapa potongan tugasnya, juga karena Pak Imam hafal jelas orang macam apa Hesa. Serta dirinya yang dicap sebagai target bully Hesa sudah tersebar di kalangan guru dan staf. Jadi sedikit lebih mudah untuk diajak bekerja sama.

“Kak Bagas!”

Bagas menoleh, napasnya yang terengah ditambah keringat membasahi pelipis menciptakan kesan tersendiri di mata para pemujanya. Terlihat sejauh mata Lanka memandang, para gadis tak lepas pandang juga, tak berhenti mengelukan seorang Bagas.

“Semangat!”

Meski suaranya tak terdengar, tapi Bagas bisa membaca gerak bibir dan gestur tubuh Lanka. Sejenak Bagas merelakan waktu berharga dalam pertandingannya untuk sekadar melihat Lanka.

“Ditonton Lanka harus kerenlah. Jangan sampai kalah lu, Gas. Semangat!”

Bagas telah bertekad dalam hati. Aliran darahnya terasa dipenuhi oleh energi yang besar. Matanya seakan jadi lebih terang. Dengan leluasa menatap pergerakan bola, menguatkan posisinya sebagai penyerang.

“Tim Bagas menang!”

“BAGAS!”

Gemuruh pujian yang didominasi suara perempuan memenuhi lapangan. Tak lupa Bagas memuji permainan teman-temannya agar tak hilang kepercayaan diri.  Sebagai kapten voli yang selalu mewakili sekolah, Bagas terbiasa untuk menyalurkan energi. Menjadi sosok keren di lapangan sudah dirancang secara otomatis, membuat semua orang lupa bagaimana Bagas bersikap clingy di hadapan perempuan.

Mata Bagas menyapu pinggir lapangan dengan benar setelah diberi waktu istirahat. Menatap tempat terakhir Lanka terlihat.

“Nyari siapa?” Ojan yang paling peka. Dia mengatur napas, ikut celingukan dan menyusul Bagas ke pinggir lapangan.

“Lanka.”

“Oh, gue juga sempat lihat. Balik kelas paling.”

Bagas mendesis kecewa. “Harusnya dia lihat tim gue menang.”

“Dih! Norak! Kurang heboh apa coba cewek-cewek nyorakin lo tadi?”

Bagas melirik rombongan anak cewek tak tertarik. “Kesan yang keren di depan gebetan itu sangat perlu, Jan. Dari orang lain gak ada nilainya.”

Nyenyenye.”

Bagas menghela napas sedih. Duduk di sebelah Ojan dengan lesu. Benar-benar membiarkan ototnya rileks setelah serangan dahsyat bertubi-tubi Bagas kerahkan.

“Lagian lo juga udah jadian sama Hesa.” Ojan menatap Bagas aneh. “Lo gak takut Lanka diapa-apain?”

“Ya ... ya takut.” Bagas menatap Ojan. “Tapi, kan, ada gue.”

Ojan tersenyum remeh meledek. Mungkin Bagas bisa mengatakannya dengan percaya diri, tapi bukan berarti dia bisa berkutik seenak jidat di sini, wilayah kekuasaan Hesa. “Otoritas Hesa tuh kuat banget. Lo bahkan gak berkutik, kan, pas dia maksa lo jadian? Ew!”

Bagas berdecak merasa harga dirinya tercoreng. Setelah itu sekali lagi memastikan bahwa Lanka benar-benar tak ada di sekitarnya. Diakhiri dengan membuang napas berat. Benar yang dikatakan Ojan. Dua tahun sejak Hesa resmi menyandang status murid di sini, sejak itu pula dia mengambil peran. Dengan mudah Hesa mengendalikan banyak hal. Menyingkirkan apa pun yang tidak dia inginkan.

“Sebenarnya gue rada bingung. Ini sekolah negeri, bukan swasta, lho. Tapi, emangnya dia bisa seenak itu ngelakuin hal di luar nalar seakan yang paling banyak nanam saham?”

“Korupsi, paling?” Bagas mengernyit, sinar matahari tiba-tiba menyorot ke arahnya. Sepertinya karena awan yang sebelumnya menutupi sudah menjauh. “Eh, salah. Nyogok instansi di atas?”

Ojan tertawa sarkas. “Gue suka gaya lo sebagai Ketos. Berani berpikir negatif ke sekolah lo sendiri.”

Don’t judge a book by it's cover.” Bagas mendadak bijak. “Berarti gak cuman yang look-nya jahat yang aslinya baik, bisa kebalikannya.”

“Ya ... bentar lagi juga purna OSIS. Yang penting masih bisa lulus aja lo. Lanjutkan overthinking.”

Ojan menepuk-nepuk bahu Bagas bersamaan dengan sesuatu menyentuh lembut pipinya. Bingung hendak menoleh ke mana lebih dulu, sudut mata Bagas menangkap hal tak asing di sisi kiri. Sontak kepalanya mendongak, dalam sekejap melebarkan senyuman.

“Buat Kak Bagas. Selamat.”

Bagas menerima botol air dengan senang hati. Lantas berdiri sambil senyum-senyum sendiri. Bukankah sudah jelas Lanka menyukainya? Bagas hafal jelas modus sederhana seperti ini.

Thanks. Gue haus banget, nih. Untungnya bidadari gue bawain minuman. Kalau gak gue bisa mati dehidrasi.”

“Jangan, dong!”

“Apa benar di sini septic tank? Mau muntah soalnya.”

Bagas tertawa kecil, menjauhkan botol dari bibirnya sambil menendang Ojan di belakang. “Iya juga, nanti lo kangen gimana?”

Lanka mendengkus geli, kali ini enggan menanggapi gombalan Bagas, malu juga karena disindir Ojan. Sekali lagi sebelum pergi, manik matanya memperhatikan Bagas yang sedang minum.

“Lanka balik dulu. Habis ini sejarah, kan? Jangan tidur di kelas, ya. Semangat! Dah!”

Pandangan Bagas tak lepas dari kepergian Lanka. Tangan kanannya terangkat, menyentuh dadanya dengan dramatis. Bagas yakin setelah ini dia bukan larut dalam mimpi, tapi larut akan bayangan senyum gadis itu di sepanjang kelas nanti.

“Heh! Jangan sering-sering ketemu Lanka. Gue udah ingatin pokoknya.” Ojan menepuk bahu Bagas, mengembalikan fakta yang sempat hilang sesaat dari kepala Bagas. Cowok itu tidak boleh lupa, siapa yang sedang menyandang status sebagai pacarnya sekarang. Barang sedetik pun. Tidak boleh lupa.

“Yang laki-laki boleh balik ke kelas duluan! Langsung ganti baju!”

“Siap, Pak!”

EvlankaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang