BAB 6 || Kehilangan

54 10 19
                                    

Yow, apa kabar?

Jangan lupa striming Ya Udah🤘🏼

Selamat membaca💜

1,9k+

⚪  E v l a n k a ⚪


“Fendy!”

Fendy menoleh. Tatapan polosnya terpancar begitu jelas, tidak mengerti kenapa Rena meneriakinya. Di tangan kanannya ada alat lem tembak, sedang di tangan kirinya ada bunga dari kertas jagung yang sudah cewek-cewek buat.

“Kenapa?” tanya Fendy polos setengah mati.

“NEMPELNYA GAK GITU, ASTAGFIRULLAH!”

Fendy mengerjap, menatap hasil mahakaryanya. Beberapa detik kemudian, Fendy membuat kesimpulan. Tidak ada yang salah dari apa yang dia buat.

“Ini bagus, kok, Ren.”

“Bagus pala lo! UDAH! TARUH!”

“Serius. Coba deh lo liat dulu. Lagian ini belum selesai.”

Rena si ketua seksi bidang kreativitas, keterampilan, dan kewirausahaan menggeram kesal. Ingin rasanya menjambak Fendy.

“Udah! Mending cowok yang gak berguna keluar! Lo beliin makanan, kek, apa, kek. Dari pada ngerusuh! Ngerusak kerjaan orang!” Rena sudah meledak-ledak. Tatapannya sudah tak terkondisikan.

“Astaga.” Fendy menghela napas. Mahakarya yang Fendy buat ini bukan sembarangan, terlihat jelek karena memang belum selesai saja. “Lo lihat dululah, Ren.”

“Keluar!”

Fendy pasrah, memilih mengalah. Ya sudahlah, mau dia bersikap tidak peduli juga percuma. Bisa-bisa dia diseret keluar dari ruang OSIS hanya perkara pekerjaannya lebih baik.

“Lho, Fen? Udah beres?” tanya Ojan dengan senyuman mengejek. Dia sudah menebak, cepat atau lambat Rena akan mengusirnya.

“Gue diusir. Padahal kerjaan gue belum beres, belum kelihatan hasilnya.”

Ojan tertawa cukup puas. “Baru awal, Fen. Entar, kalau tuh cewek-cewek udah capek mereka juga bakal ngomel karena kita gak bantuin. Padahal mereka sendiri yang ngusir. Playing victim entar ke Pak Imam. Sudah biasa kita salah. Kayak baru sekali aja ngurus HUT.”

“Gue cuma percaya sesuatu bakal berubah ke arah yang lebih baik seiring berjalannya waktu.”

“Dih,” Ojan berdecih, mendengkus geli. “Tuh, lihat Bagas. Ada gak dia berubah ke arah yang lebih baik?” Dagu Ojan menunjuk Bagas. Laki-laki itu baru saja kembali dari mengantar dedek emes membeli karton di toko fotokopi belakang.

“Gue gak bilang dia yang bakal berubah.”

Tawa Ojan semakin kencang. Benar juga. Dilihat-lihat kembali, buaya sejenis Bagas ini taubatnya bakalan susah. “Lo sendiri gak percaya, kan, dia bakal berubah? Kalau dia gak sibuk ngurus OSIS, paling sibuk ngegebet Lanka.”

Ojan terdiam sebentar, tiba-tiba teringat sesuatu. “Eh, lo dengar gak, sih, ada rumor Hesa tuh bully cowok sampai bunuh diri?”

Ujung-ujungnya diajak gosip.

Fendy menoleh. “Gue denger dari Pian. Tapi katanya gak ada bukti.”

“Oh, gitu.” Ojan mengangguk-angguk mengerti. Dia jadi penasaran, rumor itu datang dari mana. Lantas tindakan apa yang akan atau sudah Hesa lakukan untuk membersihkan namanya? Pastinya bukan hal yang sederhana, kan?

“Menurut lo, Hesa bakal ngerespons gimana?” Ojan merealisasikan pertanyaan yang ada di kepala. Dia sangat penasaran. Apalagi dari sudut pandang Fendy yang sedang didekati oleh Hesa.

“Gue gak peduli.”

“Menurut lo aja. Gue gak suruh lo peduli. Kalau polanya mirip sama cara dia ngedeketin lo. Gue bisa taruhan sama Bagas, mau beli PS nih gue.”

“Gue makin gak peduli.”

Ojan berdecak malas, membuang napas kasar. Fendy tidak bisa diajak kerja sama. Sangat menyebalkan.

Di tengah hening dadakan itu ponsel Fendy berdering. Dia mengeluarkan benda pipih berwarna hitam dari celana abu-abunya. Sebelum kegiatan sore, Fendy menyempatkan diri untuk pulang ke rumah Pian dan mengambil ponsel. Sampai di sana pun dia hanya mengganti seragamnya dengan hoodie.

“Halo?”

“Fen? Lo sibuk, gak?”

“Eum ... gak, sih. Kenapa?”

“Ke rumah gue deh sebentar. Sebentar aja.”

“Apaan? Kalau gak penting, ogah.”

“Astaga. Lo pakai motor gak sampai satu menit. Jalan kaki gak sampai menang lomba estafet. Ke sini lah, Bro.”

“Gak penting, gue tu—“

“Lanka. Oke, fine. Ini tentang Lanka. Terserah lo mau datang atau enggak.”

Sambungan teleponnya terputus. Kening Fendy mengernyit menatap layar ponsel.

“Fendy!”

Fendy menoleh. Menyahuti Rena yang memanggilnya dari ruang OSIS. Gadis itu meminta bantuannya, melanjutkan apa yang dia kerjakan. Rena mau membandingkan pekerjaannya dengan pekerjaan Fendy.

“Gue mau cabut bentar.”

“Apaan?! Gak ada-gak ada! Ini acara lo, lho, Fen. Tanggung jawab lo buat acara ini jadi sempurna sebagai koorbid* empat yang terhormat. Seenggaknya pastiin semua yang kita kerjain itu udah pasti kepakai buat hari-H. Kita gak bakal tahu ke depannya bakal ada kendala apa. Selesai lebih awal itu mau lo, kan?”

“Iya, tapi—“

“Sepenting apa?”

Sepenting apa? Fendy terdiam. Pertanyaan itu sukses mengacak-acak kepala Fendy untuk mencari jawaban. Sepenting apa? Sepenting apa Lanka?

“Ya udah.”

Setidaknya, Lanka sedang bersama Pian.

EvlankaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang