BAB 9 || Playing Victim

52 11 11
                                    

Halo apa kabar?

Gimana? Sehat? Yang habis ikut SNBT gimana kemarin? Lulus pilihan satu atau dua? Yang habis bagi rapor gimana, nilainya memuaskan atau perlu ditingkatkan lagi?

Apa pun itu terima kasih sudah berjuang sampai hari ini, berdoa supaya hari esok jadi lebih baik lagi!

Selamat membaca💜

2,2k+

⚪  E v l a n k a ⚪


Lanka sedang menyiram tanaman ketika Fendy pulang. Tepat pukul lima sore laki-laki itu masuk ke dalam rumah tanpa membalas sapaan Lanka. Si gadis mengerjap, mulai berpikir jika dia membuat kesalahan. Didiami begini serasa cosplay jadi tuli.

Lanka meletakkan selang dan mematikan kran. Langkahnya melebar sampai dia berhenti di depan pintu kamar Fendy. Hendak mengetuk, tapi takut mengganggu.

Di tengah rasa gelisah tiba-tiba pintu kamar Fendy terbuka. Tubuhnya tersentak kecil, menatap kaget kakaknya.

“Ngapain?”

Lanka gelagapan, berakhir dengan cengiran karena tak tahu harus menjawab apa. Lebih tepatnya ragu menanyakannya. Lanka merasa tidak melakukan kesalahan apa-apa, tapi sikap Fendy menunjukkan seolah dia sedang marah.

Fendy menghela napas pelan. Menutup kembali pintu kamarnya lantas berjalan menuju dapur. Mendadak tenggorokannya terasa kering, dia butuh minuman dingin yang biasa tersedia di kulkas. 

Hawa seseorang yang sedang mengikuti terasa jelas di balik punggungnya.

“Lo mau ngomong apa?” tanya Fendy mengumpulkan semua kesabarannya. Sebenarnya Fendy hanya butuh waktu untuk memikirkan kembali perkataan Hesa.

Lanka menggigit bibir, ditanyai seperti itu malah membuatnya semakin ragu.

“Dua minggu ke depan gue nginap di rumah Pian.” Fendy kembali bicara.

Sontak Lanka menatap Fendy. Kedua alisnya terangkat tinggi, cukup terkejut. “Kenapa?”

“Lo tahu gue sibuk di sekolah.”

Mata Fendy melirik, Lanka masih tak merespons. Memang lebih baik seperti ini, kan? Ketimbang orang-orang tahu mereka tinggal serumah hanya berdua. Lagi pula memang ini yang Lanka inginkan. Tidak ada yang tahu tentang mereka. Fendy telah memberi penawaran dan ditolak, tidak ada alasan untuknya bersikeras.

“O-oke.”

“Lo bilang gak papa sendirian di rumah, kan?”

Lanka mengangguk kecil. Dia menghela napas cukup panjang, lalu tersenyum.

“Lanka kira Kak Fendy marah sama Lanka.”

“Marah atau enggak, gue tetap nginap di rumah Pian. Ada lagi?”

Lanka terdiam sejenak. Terasa sedikit nyeri di sudut hatinya. Baru tadi pagi Fendy bersikap manis, Lanka jadi lupa kalau Fendy yang asli memang seperti ini. Pandangannya menuju lantai, kepalanya menggeleng kecil. Kini Lanka memutuskan untuk terlebih dahulu pamit, memberi alasan bahwa ada tugas yang harus diselesaikan.

Entah Fendy yang tidak peka atau benar-benar percaya padanya. Walau tahu begitu, seharusnya Fendy tetap di sini menemani Lanka. Seharusnya.

⚪  E v l a n k a ⚪


Ceklek!

“ASTAGA! Untung belum lepas nih handuk!” pekik Pian ketika pintu kamarnya tiba-tiba terbuka.

Fendy hanya melirik sekilas, tak menghiraukan pekikan Pian yang hampir tujuh oktaf tingginya. Dia meletakkan tasnya, memandangi Pian yang masih syok dengan kedatangannya.

“Salah sendiri gak kunci pintu.” Fendy berbalik, melengos pergi dari kamar Pian tanpa rasa bersalah.

“DIH! SALAH LU MAIN NYELONONG, ANJIR! GAK SOPAN!”

Nana mendengkus geli dari dapur. Dua anak itu sudah tak heran karena sering bertengkar. Wajar, asal tidak mengganggu penghuni rumah saja. Masa remaja adalah masa yang paling tepat untuk bebas berekspresi.

“Fen, nih mangga.”

“Makasih, Tante.”

Nana tersenyum lembut. Dia berjalan menuju wastafel, mencuci pisau dan tangannya sekalian. Wanita yang hanya beda dua tahun dari Lesa itu tak sengaja teringat sesuatu, dia melepas apron masaknya. Lantas menyusul Fendy duduk di teras belakang melihat dua kelinci milik anak sulungnya sedang berkeliaran.

“Lanka gimana?”

Fendy menoleh, bingung dengan pertanyaan itu.

“Baik.”

Nana terkekeh geli. Dia memperhatikan Fendy, bukan jawaban itu yang Nana inginkan. Bukan Nana keberatan Fendy sering menginap, tapi seharusnya Fendy sadar dia punya tanggung jawab baru dari orang tuanya, yaitu Lanka. Namun, agak mengejutkan Fendy memilih meninggalkan tanggung jawabnya.

“Mama kamu gak marah kalau kamu tinggalin Lanka sendirian di rumah?”

“Kenapa marah?”

“Tante pikir, sebelum berangkat Lanka dititipin ke kamu.”

“Iya.”

“Terus kenapa kamu tinggalin sekarang?”

“Lanka bukan anak kecil. Dia sendiri yang bilang gak papa Fendy tinggal.”

Nana tersenyum kecil. Alibi yang masuk akal, tapi tetap saja tak dibenarkan untuk ingkar janji. Mungkin, dia memang tidak mengerti bagaimana pikiran Fendy berjalan. Hanya saja, dia rasa perlu menyampaikan beberapa hal menurut pengalamannya.

“Kamu pernah pacaran, gak?”

“Pernah.”

“Seharusnya kamu tahu, dong, gimana pola pikir cewek.”

“Dia adik Fendy, Tan. Masa aku anggap dia kayak cewek yang mau aku pacari?”

“Itu dia masalahnya. Kamu beneran anggap Lanka adik kamu atau bukan?”

Fendy menatap Nana terdiam. Senyuman penuh arti dari mama Pian menyadarkan Fendy akan satu hal. Rasa takut. Nana pikir Fendy menginap di sini karena takut tidak bisa melihat Lanka selayaknya seorang adik. Namun, Nana salah besar. Sampai kapan pun, Lanka sebagai adik tidak akan berubah statusnya.

Fendy hanya mengikuti kemauan Lanka. Tidak lebih.

“Ma! Mangga Pian mana?”

“Tuh, sama Fendy. Mama mau ke rumah Nenek, kalian jangan berantakin rumah, lho.”

“Dih, dikira rampok berantakin rumah?” Pian menggerutu menatap punggung ibunya. Lantas matanya beralih pada sepiring mangga di samping Fendy. Dia ikut duduk di sana.

Udara malam ini sedikit berbeda. Rasanya tidak begitu dingin, malah panas. Sepertinya besok akan turun hujan yang sangat deras.

“Lo sad boy banget duduk di teras, di bawah bintang, cahaya remang rembulan, melamun lagi. Komplit.” Pian meledek.

Cowok itu menusuk potongan mangga dengan garpu, melahapnya rakus. Sudah berhari-hari dia bersabar karena mangga yang matang di pohon depan hilang terus menerus. Sampai akhirnya dia bisa menikmati mangga miliknya sendiri, walau hanya tinggal beberapa buah saja.

“Lo juga mikir gue salah ninggalin Lanka sendirian di rumah?”

Pian berhenti mengunyah, dia menegakkan tubuhnya, menatap lekat ke arah Fendy.

“Dari tadi lo mikirin Lanka?”

“Gak.”

Pian berdecih tidak percaya. Dia kembali mengunyah mangganya sembari menimbang-nimbang jawaban. Jawaban yang membuat Fendy merasa bersalah pasti menyenangkan, tapi jawaban yang membuat Fendy merasa tenang lebih terdengar manusiawi.

“Lanka udah gede, kok. Gak salah lo tinggal sendiri. Toh, alasan lo logis. Bukan karena lo marah sama dia.” Pian tidak menyangka rupanya dia sosok sahabat yang sebaik ini. Memilih membuat Fendy tenang.

“Lo bener.”

“Ya udah, sih. Kalau dia butuh paling juga nelpon lo.”

EvlankaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang