BAB 15 || Laman

36 12 0
                                    

Halo apa kabar?

Selamat baca!💜

1,8k+

⚪  E v l a n k a ⚪


“Woi, Laman!”

Pian mendengkus sebal. Lanka tidak menoleh untuk merespons panggilannya. Langkahnya kembali melebar, menampilkan wajahnya di depan mata Lanka agar gadis itu tak lagi mengabaikannya.

Budek lu?”

“Enggak.” Lanka melengos ke arah sebaliknya.

Pian mendengkus. “Gue panggil kenapa gak nengok?”

“Pian panggil siapa tadi?”

“Laman.”

“Jadi salah siapa?”

“Salah lo-lah.”

“Salah Pian-lah! Nama gue tuh Evlanka Lenggara. Apaan Laman?”

Pian memutar kedua bola mata malas. Bukan waktunya berdebat. “Yok, gue antar pulang.”

Lanka menatap Pian masih emosi. Aneh kalau cowok itu tiba-tiba bersikap baik walaupun memang baik. Tidak mungkin Pian ucuk-ucuk datang ke sekolah hanya untuk memastikannya sudah pulang atau belum.

“Tunggu taksi aja.” Lanka menolak dengan membuang muka ke arah jalanan. Menunggu taksi datang.

“Lagian kenapa, sih? Biasanya juga nunggu di rumah. Bahaya lo di sini.”

“Terserah gue.”

“Keburu masuk angin lo!”

Bahu Lanka menegang, sontak menoleh dengan tampang terkejut serta kebingungan. “Pian ... tahu dari mana?”

“Adalah. Makanya gue datang, gak mungkin gue muncul kalau gue gak tahu.”

“Ya udah santai aja.” Lanka menggerutu kesal. Dia mengusap kedua matanya, menjernihkan mata Pian yang langsung menarik tangan gadis itu dari sana. Matanya menyipit penuh selidik.

“Lo habis nangis?”

Lanka menggeleng.

“Bohong lo kejatuhan tai burung.”

“Jelek banget doanya!”

“Nah, ketahuan bohong, kan?”

Lanka terdiam. Dia menundukkan kepala, enggan menatap Pian.

Pian menghela napas, dia meraih tangan kanan Lanka, menariknya pelan untuk pulang ke rumahnya lebih dulu. Sebelum Lanka masuk angin, dia harus mengganti pakaiannya, setelah itu Pian antar pulang.

“Jangan sampai kunci lo hilang lagi.”

“Gak, kok.”

Nice.”

“Tapi, Pian.”

Hm?”

“Kuncinya ketemu.”

Refleks Pian menghentikan langkahnya. Dia menoleh, menatap horor Lanka yang hanya bisa tersenyum polos tanpa dosa padanya.

Bukan salah Lanka kalau kunci itu tak sengaja dia tinggalkan di kamarnya lalu jatuh dan terselip di sela-sela meja.

“Sumpah, ya! Ceroboh lu tuh udah gak bisa ditolerir.”

“Ya, maaf ...” cicit Lanka. “Salah sendiri kuncinya gak minta tolong. Biar gue tahu gitu dia ada di situ.”

Pian menggeram, ingin meremas kepala Lanka detik itu juga. Bisa-bisanya gadis itu memberi pembelaan yang sama sekali tidak masuk akal. Untunglah, Pian cepat tersadar bahwa dia adalah cowok yang suci dari jiwa psikopat. Jadi hal itu mustahil dia lakukan.

“Ya udahlah. Lo ganti baju dulu pakai baju Kak Mia.”

“Kak Mia kapan pulang?”

Pian mengangkat bahu. Dia sendiri tidak tahu. Kakaknya itu kalau mau pulang ya pulang, kalau tidak ya tidak. Suka-suka dia, badan-badan dia, waktu-waktu dia. Katanya begitu, jadi orang lain tak bisa mengaturnya seenak jidat.

“Ini harus banget digandeng? Gak lagi nyeberang soalnya.” Lanka menatap tangan Pian, bukannya dilepas atau memang Pian tidak mendengarkan, dia terus melanjutkan langkahnya sampai tiba di rumah.

Pian meminta Lanka masuk ke kamar Mia. Dipersilakan memilih baju mana pun yang dia inginkan. Pian akan bersiap sebentar sebelum mengantar Lanka pulang. Dia juga akan mengajak gadis itu ke suatu tempat.

“Sekalian ganti rok!” suruh Pian sesaat setelah dia menjauh dari kamar Mia.

“Buat apa?”

“Kepo! Ganti aja buru!”

“Cerewet!”

“Mau diajak jalan sama Pian!” Nana menyahut ketika lewat di depan kamar Mia. Dia terkekeh usil tanpa dosa pada putranya, mengabaikan protes dari tatapan mata yang mengopi matanya. Nana tidak mungkin takut pada matanya sendiri.

“Ke mana?” tanya Lanka bingung. Mereka jadi bersahut-sahutan begini.

“Pian cerita habis nemu kafe yang konsepnya aneh. Serba ungu gitu.”

Baru Pian hendak membuka mulut, mamanya kembali menyela tanpa rasa bersalah. Benar-benar menguji tingkat berbaktinya seorang Pian.

“Yang aneh konsepnya atau warnanya?”

“Gak tahu, tuh.” Nana mengangkat bahu. Dia tersenyum, meledek putranya kemudian menghilang di balik pintu kamarnya.

“Cepetan, Lan! Lamat! Lama amat!”

“Bentar, ih! Ini baju ungunya Kak Mia bagus-bagus.”

“Astaga!” Pian mengusap wajahnya frustrasi. Masih sempat-sempatnya Lanka galau memilih baju.

“Pian?”

“Apa?!”

“Pian pakai baju warna apa?”

“Kenapa? Kepo banget lu.”

“Jawab, dong! Protes mulu!”

“Hitam,” pasrah Pian.

“Okey!” Lanka menjawab dengan sangat antusias. Dia memilih pakaian dengan perpaduan warna hitam dan ungu yang pas. Sebuah dress cantik dengan desain yang indah. Pasti sangat cocok dengan pakaian polos Pian.

Selesai bersiap, Lanka keluar dari kamar Mia. Dia menghampiri Pian, mengajak cowok itu untuk segera berangkat. Hanya perlu sepuluh menit di jalan hingga sampai di kafe yang Pian maksud.

By the way. Tadi lo manggil gue apa? Laman?”

“Iya.”

“Itu apa?”

“Lanka manja.”

Lanka mendesis dengan alis menekuk tak suka. “Gue gak manja!”

“Iya, gue yang manjain sampai frustrasi sendiri.”

Lanka terdiam untuk mencerna lantas terkekeh geli. Seperti kebiasaannya, tangan kirinya memegangi ujung baju Pian agar dirinya tak tertinggal. Padahal hanya masuk ke dalam kafe, tapi Lanka tetap takut dia hilang.

Matanya mulai menyapu penjuru kafe sejak Pian membuka pintunya. Lanka dibuat takjub dengan konsep yang kafe ini miliki. Perpaduan berbagai tone warna ungu yang bergradasi sangat nyaman dipandang mata. Warnanya tidak ada yang bentrok sehingga terkesan rapi dan manis.

Pian menoleh, ikut tersenyum melihat sepupunya. Kalau diam beginikan menggemaskan.

“Bilang apa sama gue?”

Sontak Lanka menoleh, tersenyum semakin lebar. “Makasih, Pian!”

Pian mengangguk-angguk, mengusap kepala Lanka singkat. Dia mengajak Lanka duduk di pojokan, meminta gadis itu memesan sesuatu yang dia inginkan.

“Sebentar Fendy nyusul.”

Lanka terdiam, kemudian mengangguk saja. Gadis itu kembali sibuk mengedarkan pandangannya, mengabsen satu persatu barang yang ada di kafe. Lanka akan menghafalnya dan mencarinya untuk dibeli nanti.

Ah, Lanka baru tersadar sesuatu.

“Emang Kak Fendy gak sibuk?”

“Lo pikir dia bukan tipe orang yang bucin sama adiknya?”

“Tapi gue gak minta dibucinin.” Lanka semakin bingung.

“Dia pengen banget punya adek. Kalau sampai yang ini gak dia jaga, kan, bego namanya.”

Jemari Pian kembali sibuk berkutat di layar ponsel. Sejak terakhir bertanya, Lanka hanya sibuk memperhatikan sekitar, jadi lebih baik dia memainkan gim ringan untuk mengisi waktu.

“Kalau bukan Kak Fendy, gue punya lo yang jagain gue.”

Jempol Pian berhenti bergerak, seketika itu karakternya langsung mati di tempat. Dia mengumpat tanpa suara karena mati konyol hanya gara-gara hal ini. Pian mendecak, meletakkan ponselnya di atas meja. Ucapan Lanka tadi terlalu tiba-tiba setelah membuat hening panjang.

“Lo mikir apa, sih, Lan?”

“Makasih, Mbak.”

Lanka menoleh dari pesanannya yang baru datang. Mencerna ucapan Pian beberapa saat.

“Mikir apa?” tanyanya bingung.

Pian membuang napas berat, mengurut sisi kepala. “Lo suka Bagas?”

Lanka mengangguk sambil melahap kue rasa taro yang dia pesan. Warna ungunya cantik dilengkapi dengan krim putih yang melapisi.

“Dia sudah punya pacar.”

“Gue tahu.”

“Jadi maksudnya emang lonya aja yang bego? Sudah tahu, tapi masih lo kejar?”

Perasaan Lanka mulai tidak enak. Dia meletakkan sendoknya, menatap Pian yang bahkan enggan menatap ke arahnya.

“Kak Bagas gak suka Hesa. Mereka bakal putus.”

Pian menoleh, memberikan senyuman sinis dengan senang hati. Membuat perasaan lawan bicaranya semakin kacau tak karuan.

“Kalau gue udah serius, berarti bahaya, Lan.”

Lanka sadar. Pian tak banyak bercanda, tak bicara seenaknya seperti biasa. Lanka juga sadar dia salah.

“Lo—“ Pian mendengkus, mengusap wajahnya. “Lo kalau mau naksir orang jangan Bagas. Tuh, si Ojan.”

“Kak Ojan sudah punya pacar.”

“Bedanya sama Bagas apaan, Neng? Emang lo bisa lawan Hesa? Tadi aja lo nangis gara-gara Hesa, kan?”

Lanka menunduk dalam diserang tepat sasaran. Memilih diam dan tak memberi pembelaan apa-apa.

Pian mendengkus. Sialnya, dia paling tidak suka Lanka marah padanya. Pian menoleh, melambai pada Fendy yang baru saja masuk ke dalam kafe. Cowok itu menatapnya dan Lanka bergantian sebelum duduk di samping Lanka.

“Kenapa, Lan?”

Lanka mendongak, menggeleng, lantas mulai memakan kuenya lagi. Dia diam saja, membiarkan dua kakaknya ini bertukar informasi.

“Lagi gue ingatin, ngambek.”

Fendy melirik Lanka sekilas, adiknya sama sekali tak mengelak. “Gue aja yang jelasin, nanti.”

“Ya udah. Gue balik.”

“Iya, makasih, Yan.”

“Ya.”

Sekarang pusat atensi Fendy hanya ada di Lanka.  Beberapa kali memergoki Lanka yang diam-diam melirik dirinya. Tingkahnya yang seperti anak kecil tanpa sadar membuat Fendy tersenyum.

“Mau? Kue?” tanya Lanka menawarkan. Sebab sejak tadi Fendy tak berhenti memperhatikannya. Sampai beberapa kali potongan kuenya jatuh dari sendok. Kalau kata orang, sih, itu artinya ada yang kepengen makan juga.

Fendy tersenyum, menggeleng kecil. “Habiskan, beli buat di rumah kalau lo suka.”

“Boleh?”

Sebelah alis Fendy terangkat. Tentu saja, kenapa tidak boleh? Senyuman Lanka melebar, dengan manis berterima kasih pada Fendy. Dia kembali makan dengan lahap, sedang Fendy kembali memperhatikannya.

“Kak Fen gak sibuk?”

“Adik gue habis nangis. Lo punya saran buat hibur dia?”

Lanka menoleh, tak bisa menyembunyikan senyumannya. Ada desiran hangat yang menyebar di dadanya. Orang cuek ini, sekarang manisnya keterlaluan.

“Temani adiknya, dong.”

Fendy tersenyum hangat, mengusap puncak kepala adiknya sayang. “Iya.”

“Kak Fen tahu dari Kak Bagas?”

“Gue dengar dan lihat sendiri,” jawab Fendy jujur apa adanya tanpa ragu. Dia diam-diam membuntuti mereka, lalu menghubungi Pian agar menjemput Lanka. Kabar baiknya, Pian merekomendasikan tempat ini padanya. Berhubung Lanka sangat menyukai warna ungu, Fendy pun setuju.

“Penguntit.” Lanka mendesis sebal.

“Tapi ada dampak positifnya jadi penguntit.”

“Apa?”

“Lo gak masuk angin, dan bisa datang ke sini.”

Lanka mengernyit, kemudian menggeleng. “Bukan itu.”

“Terus apa?”

“Kak Fendy jadi lebih peduli sama Lanka. Itu yang paling penting.”

Fendy menatap Lanka lekat, melebarkan sedikit senyumnya. Seharusnya Fendy bisa merasakan rasa lega di dada, tapi justru rasa bersalah yang menyelimutinya. Semakin Lanka jelaskan, semakin terungkap betapa buruknya sikap Fendy.

Memang salahnya yang sulit beradaptasi. Memang salahnya yang sulit menyesuaikan diri dengan Lanka. Memang salahnya karena Lanka berbeda dengannya. Memang salah Fendy nyaris memukul rata semua perempuan punya maksud terselubung seperti Hesa.

Fendy sendiri yang belum bisa mengendalikan sikap dan ekspresinya untuk orang baru yang ingin bergabung di kehidupannya. Namun, sekarang Fendy sedang berusaha.

“Dari satu sampai sepuluh, berapa suka ke Bagas?”

Lanka tampak berpikir, kemudian menjawab dengan mengacungkan jari telunjuknya.

“Bohong.”

“Iya. Bohong. Tapi sekarang harus nol.”

“Bisa ngatur perasaan segampang itu?”

Lanka terdiam sambil menatap Fendy. Apa pertanyaan itu pantas dilontarkan oleh orang yang saat ini sedang melakukannya? Kemudian Lanka menggeleng. “Tapi harus. Lan gak mau buat Kak Fendy cuma fokus ke Lan karena masalah sepele.”

“Jadi menurut lo perasaan itu masalah sepele?”

“Bukan perasaan, tapi Lanka.”

Fendy mengerjap, tertegun dengan jawaban Lanka. Sama sekali tak pernah terlintas di pikiran. Mana mungkin Lanka menjadi hal sepele bagi Fendy. Dia sudah memberikan waktunya, tapi Lanka menganggap dirinya serendah itu?

“Kak Fendy belum buka buku yang Lanka kasih?”

Fendy mengerjap, kemudian menggeleng.

“Dibuka, ya. Dibaca.”

Fendy tidak mau. “Apa isinya?”

“Makanya dibaca.”

Fendy menggeleng. “Gue mau dengar langsung dari lo.”

Lanka ikut menggeleng. “Di buku sudah ringkas. Kalau Lanka yang cerita, nanti cuma penuh pembelaan.”

“Gak masalah.”

“Kak ...”

“Gue mau dengar dari mulut lo sendiri, kenapa lo ngerasa serendah itu.”

Lanka menelan ludah, tak bisa jika harus menolak hipnotis dari mata Fendy meski sudah berusaha. Matanya mulai berkaca-kaca. Tiba-tiba rasanya panas di sekujur muka.

“Boleh peluk?”

Fendy terdiam cukup lama, sampai sesaat sebelum Lanka mengurungkan niatnya, dia mengangguk. Membiarkan Lanka memeluknya, menyembunyikan air matanya di sana.

“Gue tegasin. Lo berharga bagi gue. Sama sekali bukan hal yang bisa gue anggap remeh.”

“Lanka takut ... takut jadi berharga lalu mengorbankan nyawa seseorang untuk yang kedua kalinya.”

Fendy diam. Seketika perbincangan mereka jadi menakutkan. Kalau sudah begitu, sudah di luar kemampuan Fendy.

“Nyawa ada di genggaman Tuhan. Dia pergi duluan, bukan berarti karena lo.”

“Tapi di depan Lanka ...”

Fendy kehabisan kata-kata. Dia bahkan kesulitan menelan ludahnya. Ada yang mencegat kata di dalam otaknya agar tak membentuk rangkaian kalimat penenang. Bahkan, otaknya seolah menangkap sinyal dari tubuh Lanka. Menyebarkan rasa nyeri ke penjuru dada, juga sesak di sana.


⚪  E v l a n k a ⚪

Terima kasih sudah membaca!💜

Apa bener itu Fendy udah nerima Lanka sepenuhnya?👀

See u!

8 Jul 23

- Princboo -

EvlankaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang