Halo apa kabar?
Selamat membaca💜
2k+
⚪ E v l a n k a ⚪
Fendy menghela napas lega, mengintip jarum jam di pergelangan tangan kirinya. Sesuai prediksi, setengah jam cukup untuk berkonsultasi, tinggal memperbaiki revisi akhir lalu ditandatangani.
Fendy membawa laptopnya ke toko fotokopi tepat di depan gerbang belakang. Bertemu dengan Hesa yang sepertinya sudah memprediksi hal ini. Wajar saja, setiap Fendy konsultasi dengan Pak Imam rutenya akan selalu seperti ini. Dia hanya berharap ke depannya ruang OSIS punya fasilitas yang lebih memadai.
“Hai, Fen. Gimana? Lancar?”
“Hm, lancar.” Fendy menatap tukang fotokopi, memberi informasi untuk mencetaknya seperti biasa.
“Padahal sponsor gue lebih gede ketimbang yang Puspa cari. Bisa ngundang artis besar sekalian.”
“Gue mau bikin HUT, bukan bikin konser. Lagian, sekolah kita gak kekurangan bakat. Orang dengan bakat kayak lo yang nganggap status adalah tameng dari kesalahan juga banyak.”
Hesa terdiam, sudut bibirnya yang sempat terangkat kembali ke tempat semula. Dia berdecih, dengan gamblang Fendy menyampaikan penilaian buruk terhadap Hesa sampai segitunya. Dia tidak mengira Fendy akan menyakitinya lewat kata-kata.
“Lo ngapain tadi ke BK?” Hesa langsung mengubah topik pembicaraan. Ketimbang sponsor yang sudah lewat, sekarang hal itu jauh lebih menarik.
“Ada hubungannya sama lo sampai lo harus tahu?” tanya Fendy, melirik Hesa sekilas. Dia mengambil hasil print proposalnya, membayar lantas bersiap pergi dari sana.
“Lanka, kan?”
Fendy tak menggubris. Dia meneruskan langkahnya, menyeberangi jalan sampai kembali masuk ke ruangan Pak Imam. Membiarkan pembinanya itu memeriksa sekali lagi sebelum Fendy meminta tanda tangan kepala sekolah.
“Oh, ya. Infokan ke ketua panitia lomba segera konsultasikan tata tertib yang sudah kita sepakati. Harusnya, kan, paling tidak ada satu atau dua orang yang sudah konsultasi. Karena kita perlu cari juri, menyesuaikan dengan guru-guru yang bisa diandalkan.”
“Siap, Pak.”
“Oh, ya. Kasih tahu ke Ketos, kita rapat lagi pulang sekolah setelah semuanya fix. Dia gak balas pesan saya ini.”
“Siap, Pak. Segera saya infokan. Kalau begitu saya permisi.”
Pak Imam mengangguk, membiarkan Fendy mencium punggung tangannya lantas pergi. Anak-anak ini, sudah dua periode mengurus masih saja teledor.
Fendy berjalan menuju ruang OSIS, mengetuk pintu lantas masuk dan kembali menutupnya. Dia menghela napas, melihat pemandangan yang mungkin ruang OSIS sendiri sudah bosan disalahgunakan. Mereka malah tidur di sini.
“Tos! Bangun!” Fendy menyenggol kaki Bagas dengan kakinya. Gini banget punya Ketos hasil tebar pesona. “Gas! Astaga. Gue tahu hidup lo gak seindah mimpi, tapi bangun dululah.”
“Udahlah Fen, percuma. Dia lagi mabuk itu.”
Ojan yang terbangun memberi info. Dia mengusap wajahnya yang berbekas karena tidur di tumpukan jaket. Kedua tangannya bergerak, melipat jaketnya sampai kembali nyaman digunakan sebagai bantal.
Alis Fendy terangkat, tidak mengerti.
“Mabuk coklat. Dia, kan, lagi ultah. Coklatnya sekebon. Liat aja tong sampah depan penuh bungkus coklat.” Ojan menjelaskan tak acuh. Dia kembali mencari posisi yang nyaman untuk tidur.
Dalam sekejap Fendy menemukan jalan keluarnya. Dia tersenyum kecil lantas menendang kaki Bagas lebih keras kali ini.
“Apa, sih?!” Bagas berdecak, berguling menjauh dari Fendy.
“Gas, lo gak mau coklat dari Lanka?”
Kedua mata Bagas langsung terbuka dengan sempurna, tubuhnya langsung terduduk. Bersusah payah menyesuaikan penglihatan dan pening di kepala. Susah nih makhluk darah rendah.
“Mana?” tanya Bagas sambil menengadahkan tangan.
“Gue cuman nanya. Lo mau gak? Bukan bawain.”
“Sialan lo, Fen. Lagian aneh lo ngomongin Lanka.”
“Ya, sesuai namanya. Lanka.”
Bagas tertawa mengejek. “Dih, langka maksud lo?” Dia mengusap wajahnya, menyandarkan tubuhnya yang masih lemas di dinding. Nyawanya baru terkumpul seperempat.
“Pak Imam WA lu tuh. Cari masalah aja.”
Bagas terperanjat langsung sadar sepenuhnya. Tiba-tiba panik meraba seluruh kantong pakaiannya. Tak kunjung menemukan ponselnya, akhirnya Bagas berdiri mencari tasnya. Bagas tidak ingat kapan terakhir kali dia melihat benda pipi itu—
Ketemu. Bagas langsung menghela napas lega. Buru-buru membuka pesan yang Fendy maksud, sontak berlari keluar ruang OSIS, meninggalkan Fendy dan Ojan begitu saja.
“Udah dia doang yang boleh HP, masih aja gak bisa diandalin.”
Fendy mendengkus setuju. “Tapi, bukannya lo juga boleh sebagai waketos yang terhormat?”
“Ya, tapi asemnya HP gue selalu ditahan sama Bu Yuli. Kampret emang.”
“Jaga omongan lo, Jan.”
“Iya, iya, ampun Bu Yuli!” Ojan menguap lebar. Menegakkan tubuhnya lantas merenggangkan otot-ototnya. Mendengar nama Lanka disebut, Ojan jadi teringat kejadian tadi. Meski kejadiannya terjadi di lantai dua, jendela lebar itu memberi akses untuk mereka menonton apa yang terjadi.
“Udah paling bener lo gak ngeladeni Hesa, Fen.”
Fendy menoleh dari berkasnya, tidak mengerti kenapa Ojan tiba-tiba membahas itu. Sejenak menatap wajah bantal Ojan, menunggunya melanjutkan pembicaraan.
“Tadi pagi gue liat dia jambak Lanka, trus nampar si Lanka. Pas Pak Dian datang, dia malah gak terima disalahin. Malah bilang Lanka yang nginjak kakinya. Walaupun gitu, jelas-jelas Hesa yang mulai. Tetap dia yang salah menurut gue.”
Dijambak? Fendy pikir Hesa hanya menampar Lanka.
“Anak-anak ada yang ngintilin Pak Dian soalnya, jadi bisa denger pembicaraan mereka.”
Ojan tersenyum kecil, menatap Fendy dengan kesadaran yang mulai pulih. “Tumben lo tertarik. Gara-gara Hesa atau Lanka? Atau malah Pak Dian?” Ojan merinding sendiri dengan kalimat terakhir yang terlontar. Kemudian tawanya meledak menanggapi raut wajah kesal Fendy.
“Feeling gue sih gara-gara Lanka. Lo suka? Saingan sama Bagas, dong. Ah, elah.”
Fendy tak memberi respons. Dia membereskan berkas-berkas yang tadinya dia baca. Memilah mana yang perlu dia bawa dan yang harus dia kembalikan ke tempatnya. Berkas yang tadinya hendak dia berikan pada Bagas berujung dia titipkan pada Ojan.
Fendy akan pulang, sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Evlanka
Teen Fiction| Fenly UN1TY | ⚪ E v l a n k a ⚪ "Lan, lo mau pakai mata gue?" "Lo cuman anak buangan yang beruntung ketemu Lim!" "Gue sayang lo, Lan. Kita semua sayang lo." "GUE BENCI LO, LAN!" "Lan ... maaf ... gue telat." "Sampai mati gue benci sama lo!" "Samp...