BAB 11 || Tikungan

55 11 6
                                    

Selamat membaca💜

1,9k+

⚪  E v l a n k a ⚪


Bagas menatap sekitar. Merasa tidak asing dengan rumah di seberang. Rasa-rasanya dia pernah ke daerah sini dan bertamu ke salah satu rumah walau tidak sering. Mungkin hanya sekali atau dua kali?

“Lo tetangga Fendy?”

Sebelah alis Lanka terangkat. Dia menatap ke arah pandang Bagas. Sudah dia duga, Bagas pasti mengenali rumah Fendy. Wajar saja, Lesa pernah bercerita jika tahun lalu ketika menyiapkan HUT, mereka sempat mengerjakannya di rumah.

Lanka hanya tersenyum, memberikan serangan kecil pada akal sehat Bagas.

“Ya udah. Buruan masuk.”

Lanka menggeleng. “Lanka mau lihat Kak Bagas pergi dengan aman.”

Bagas menghela napas. Dia melepas helmnya, menatap Lanka terang-terangan. “Gue mau lihat lo masuk ke rumah dengan aman.”

Lanka menggeleng lagi. “Nanti kalau Kak Bagas kenapa-kenapa Lanka gak bisa langsung bantuin. Jadi ... Kak Bagas pulang duluan, ya?”

Bagas membeku. Lanka lagi-lagi memberinya kejutan lewat sentuhan, tapi kalau begini jadinya Bagas tak bisa menikmati sensasi tangan Lanka yang mengusap kepalanya. Seketika jantungnya berdegup kencang, rasanya jadi gugup bukan main. Sampai tangan Lanka ditarik kembali pun, masih meninggalkan efek yang luar biasa.

Padahal Bagas ingin sekali membalas ucapan gadis itu, tapi dia dibuat KO duluan.

Bagas pun berdehem, mulai mengenakan kembali helmnya dengan gerakan kaku.

“Ya udah.”

Lanka tersenyum lebar. “Jaketnya nanti Lanka balikin.”

“Buat lo aja gak papa.”

“Serius?”

Bagas melirik kaku, mengangguk. Tak terduga senyuman Lanka semakin melebar, gadis itu memeluk tubuhnya sendiri. Apa tidak makin membuat jantung Bagas kewalahan? Kenapa Lanka bisa seimut ini, Ya Tuhan?!

“Makasih, Kak.”

“Iya.” Bagas masih coba bernapas. Sial. Biasanya dia yang membuat para gadis kehabisan napas. Sekarang malah sebaliknya dan rasanya sangat menyebalkan

“Hati-hati di jalan, Kak. See you.”

Lucunya. Kulit wajah Bagas memerah, seperti aliran darahnya berbondong-bondong naik ke atas. Lanka seketika sadar kulit Bagas putih bersih.

“Ya udah. Gue balik ke sekolah dulu.”

Lanka mengangguk mengerti. Dia memperhatikan Bagas, memastikan cowok itu sudah tak lagi terpantau jarak pandangnya. Senyuman Lanka lenyap seketika. Dia menghela napas lelah, merogoh isi tasnya untuk mengambil gantungan kunci rumah. Lanka tersenyum, gantungan kunci dari Lim.

Lanka menyeberang, membuka pagar, menutupnya kembali lantas duduk di teras. Dia menarik lepas seleret jaket milik Bagas. Dari sana samar tercium aroma tubuh Bagas. Baru kali ini, tapi Lanka bisa hafal.

Perpaduan aroma segar mint dan aroma maskulin. Aroma yang mirip dengan milik kakaknya. Satu-satunya alasan yang membuat Lanka betah mengenakan jaket ini. Salah satu alasan pula kenapa Bagas bisa dijadikan pilihan yang cukup baik.

⚪  E v l a n k a ⚪


Fendy keluar dari ruang OSIS setelah Rena kembali membuat perdebatan di dalam. Perkara ide baru dan perbandingan desain darinya dengan Fendy. Cewek itu terlalu meragukan Fendy, gini-gini juga dia jago dalam hal membuat kerajinan tangan dan desain eksterior. Fendy hidup dan berbaur dengan seni sejak kecil.

“Gak usah ngelamun, Gas. Banyak angin.”

Bagas mengerjap. Dia memangku wajah dengan kedua tangan. Lalu tersenyum geli sendiri membuat Fendy bergidik ngeri. Bagas masih normal, kan?

“Eh, Fen.”

“Apa?” tanya Fendy. Sudah membuat jarak aman, takut tiba-tiba Bagas menyerangnya.

“Kalau ada cewek bilang dia gak suka skinship, tapi suka ngelus kepala gue.” Bagas menatap Fendy. “Fix, dia suka sama gue, kan?”

Fendy tertawa hambar. Kesimpulan yang sangat percaya diri. “Dia nganggap lo kucing kali.”

Mata Bagas memicing, tidak suka dengan jawaban Fendy. Seketika mood-nya rusak.

“Fix. Dia suka sama gue. Gimana ya nembaknya, ya?”

“Mati, dong, dia.”

Bagas berdecak malas. “Kalau gak bisa ngasih saran diem deh lu!” Bagas membuang muka, tidak mau memedulikan Fendy lagi.

Yang dicuekin menghela napas. Bagas persis anak kecil kalau ngambek. “Lo harus tahu apa yang dia suka dan gak suka. Itu penting.”

Bagas kembali menoleh, mulai merasa tertarik dan menghempaskan rasa kesalnya begitu saja. “Dia suka bunga apa enggak? Dia suka dinner apa lunch, gitu?”

“Ya semacam itu.”

“Gue punya banyak pengalaman. Tapi, gue jadi bego kalau sama dia.”

“Kalau main-main emang bisa dilakuin dengan serius. Kalau udah serius malah bego.”

Bagas mengangguk setuju. Ketika dia bermain, dia hanya fokus untuk menang. Namun, ketika mencoba serius ternyata banyak hal yang harus dipertimbangkan agar tidak menemukan jalan rusak. Bagas rasa, Lanka jauh berbeda dari cewek-cewek yang selama ini dia pacari. Yang jelas cuma Lanka yang bisa membuatnya mati kutu.

“Terakhir lo pacaran sama siapa, Fen?”

Fendy mengernyit. “Apa hubungannya?”

“Ya ... kali aja lo belum move on makanya ... just like, masih punya pemikiran yang andal tentang romantisme.”

Fendy mendengkus geli. Terakhir kali dia jatuh cinta atau sekadar suka mungkin satu tahun yang lalu sebelum Hesa membuatnya berpikir semua cewek sama menyebalkannya. Memang tidak bisa dipukul rata, Fendy mengerti. Hanya saja masalahnya dengan Hesa terus membayangi semua gadis yang dia temui. Salah satunya Lanka.

“Kayaknya doi spesial banget sampai lo jadi galau gini.” Fendy mengalihkan pembicaraan dari dirinya kembali ke permasalahan Bagas. Tidak semudah itu untuk menggali informasi tentang Fendy.

“Iya. Gue udah suka dia dari zaman dia SMP dulu. Kan, gue udah kelas sepuluh, tuh. Waktu gue main ke rumah sepupu gue, kita pertama kali ketemu. Sayangnya kita beda kota dan waktu itu doi gak main ponsel. Jadi gue gak punya kontaknya. Gue cuman dapat kiriman foto dari sepupu gue.”

Fendy bergidik ngeri. Bisa juga Bagas jatuh cinta setulus itu. “Jadi alasan lo tebar pesona ke sana kemari buat ngalihin perasaan lo, tapi gatot?”

Bagas melirik Fendy dengan kening mengernyit. Kata terakhir yang terlontar dari mulutnya membuat senyuman di wajah Bagas sirna begitu saja.

“Gatot apaan? Gatot kaca?”

“Gagal Total!”

Bagas mendengkus tertahan, hampir tersedak. “Kirain Gatot Kaca, makanya gue bingung. Kagak nyambung.” Bagas menghela napas lalu mengangguk. “Ya ... semacam itulah. Tapi waktu itu gue bener-bener buta informasi tentang dia. Sepupu sialan gue minta bayaran sebagai mata-mata. Ogahlah gue. Karena gue pikir, ya paling bentar doang sukanya. Tapi, sialnya sampai sekarang gue makin suka.”

“Secantik apa?”

“BIDADARI!” Bagas menjawab dengan menggebu-gebu. Tidak bisa, dia kehabisan akal. Hesa pun kalah jauh dari Lanka. “BTW, dia tetangga lo.”

Sebelah alis Fendy terangkat. Seketika di dalam kepalanya mengabsen siapa kira-kira tetangganya yang berada satu tingkat di bawah. Tapi, Fendy tak menemukan jawaban dan malah menganggap dirinya kurang bergaul dengan tetangga.

“FENDY! BAGAS! BURUAN BANTUIN SINI!”

Fendy dan Bagas saling tatap. Keduanya berdiri, berjalan pelan-pelan kemudian kabur dari sana. Semoga kantin masih buka agar mereka bisa menebus kesalahan.

“Patungan.”

“Oke.”

Mereka sampai di kantin dalam sekejap. Langsung memusatkan perhatian ke salah satu bilik kantin yang menjual gorengan. Hari ini ada ekskul Marching band, bersyukur gorengan di kantin baru selesai digoreng.

“Fen, makan dulu, lah. Laper gue.”

“Ya udah. Sekalian.”

Bagas berseru bahagia. Dia mengambil sebuah piring plastik, memilih-milih gorengan mana yang akan dia santap. Kalau mau nyogok, bolosnya jangan nanggung-nanggung. Lagian itu ruang OSIS sudah sumpek.

“Rena galak beut.” Bagas menggerutu. Telunjuknya masih bimbang, menunjuk antara gorengan ayam atau gorengan telur puyuh. Ah, lama! Sikat aja semua.

“Bu, tiga puluh ribu bagi rata bungkus.”

“Siap, Mas.”

Bagas duduk di hadapan Fendy. Cowok itu sibuk dengan ponselnya entah sedang melihat apa. Ngomong-ngomong soal ponsel ...

“Anjir! Gue belum minta nomornya!” Bagas mendelik, kemudian mendengus pasrah. Dia mengusap wajahnya lelah. Sudah dia bilang dia bodoh jika berhadapan dengan Lanka. Detail kecil yang tidak pernah terlewatkan ini malah tidak terpikirkan oleh Bagas.

“Medsos banyak. Jangan primitiflah.” Fendy berujar santai. Dia menatap daftar lagu yang akan dia bawakan untuk HUT nanti. Ada beberapa pilihan, dia hanya bingung ingin membawakan yang mana.

“Nah, kan, nah, kan! Gue jadi bego, kan?” Bagas menepuk dahinya frustrasi. Ayolah Bagas, be normal!

“Lo ada rekomendasi lagu gak, Gas?”

Bagas diam untuk berpikir. Matanya bergerak mengelilingi sekitar dengan kakinya yang tak bisa diam. Cowok itu mendengus, dia bukan pencinta lagu jadi tidak punya banyak referensi lagu. Paling-paling lagu viral yang dia tahu, itu pun tidak tahu judul dan sudah di remix segala.

Kira-kira Lanka suka musik atau tidak? HUT tinggal tiga minggu lagi, apa itu waktu yang tepat untuk membuat kejutan? Menyanyikan lagu romantis di atas panggung, menyatakan perasaan, diterima—

“Brilian!” Bagas berseru dengan semangat. Orang-orang di sekitar sukses dibuat kaget karena tingkahnya. Bagas menatap Fendy serius. “Lagu romantis, buat gue nembak bidadari gue. Fix.”

Fendy mengerjap, menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Sebenarnya bukan masalah mau membawakan lagu bergenre apa, tapi Fendy sendiri yang merasa lebih baik jangan lagu romantis. Khususnya jika dia yang menyanyikannya.

“HUT sekolah ke empat puluh. Bawain lagu romantis?”

Bagas mengangguk, semakin berharap.

“Lo pikir nih sekolah, sekolah apaan? Sekolah percintaan? Lucu lo.”

Bagas berdecak sebal. Dia kembali duduk, kehilangan semangatnya. “Bantuinlah temen lo ini. Sekali doang.”

“Sekali?”

“Iya, sekali.”

“Coba lo pikir dari awal lo naik jabatan siapa yang sibuk? Siapa yang lo cari? Hah?”

Bibir Bagas mengerucut sedih. Dia meraih gorengannya dan memakannya takut-takut. Fendy kalau sudah melotot mengerikan. Rasanya tubuh Bagas bisa habis dilahap.

“Siapa suruh fan-nya sedikit,” gumam Bagas.

Fendy meliriknya malas. Kalau dia tahu para pemberi suara lebih mementingkan popularitas ketimbang kreativitas dan keahlian. Fendy tidak akan capek-capek mencalonkan diri. Pusing-pusing memikirkan visi dan misi, slogan. Serta mengkampanyekan diri ke sana-kemari. Melelahkan.

By the way, lo tahu Lanka habis diganggu Hesa?”

“Diganggu?”

Bagas menegakkan tubuhnya. Merasa senang ketika Fendy tertarik dengan topik yang dia ajukan. “Iya! Itu si curut berduit nyiram Lanka pakai air pel. Lo bayangin? Kurang iblis apalagi coba dia?”

“Terus?”

“Ya, untungnya gue lagi lewat koridor kelas sebelas habis ketemu Pak Imam di sana. Ya gue tolongin, gue kasih baju ganti. Gue antar pulang, deh—“

Fendy terdiam. Ada yang salah. Dia memutar kembali ingatannya. Dari Bagas yang buru-buru dan mengganggunya di ruang OSIS sampai ceritanya yang tadi.

“—kalau curut halal udah gue makan tuh biar gak cari perkara. Sepupuan sama tikus berdasi dah paling cocok—“

“Lo antar dia pulang?”

“Hah? Iya.”

“Lo tahu rumahnya?”

Bagas memicingkan matanya. Menatap curiga, mencermati baik-baik apakah Fendy memiliki bibit-bibit penikung cinta.

“Mau tau aja atau mau tau banget?”

Oke. Fendy menghela napas lega. Berarti Lanka tidak diantar pulang ke rumahnya. Di lain sisi, dia semakin yakin jika Lanka tak ingin ada yang tahu mereka tinggal serumah.

“Dari tadi gue ngomongin Lanka, lho. Dari awal kita bicara gue udah ngomongin Lanka.”

Fendy bengong, menatap congek ke arah Bagas. “Jadi maksud lo, gebetan lo Lanka?”

Bagas mengangguk dengan kening mengernyit. Tingkah Fendy seperti tingkah putus asa mengetahui orang yang dia suka digebet teman sendiri.

“Lo gak suka Lanka, kan? Dari awal lo juga tahu gue ngebet Lanka.” Bagas menatap horor temannya.

“Gue gak suka Lanka.”

Bagas semakin memicingkan matanya. “Bener?”

“Iya, bener!” Fendy menegaskan, menatap terang-terangan mata Bagas agar cowok itu percaya padanya.

“Bagus. Gue tahu selera lo Hesa, kan? Haum!”

“Gue?”

Bagas terperanjat kaget. Hampir jatuh dari kursi jika dia tidak punya keseimbangan yang baik. Dia menatap Hesa mendelik, mengambil piringnya, kemudian pindah ke meja sebelah.

“Silakan. Gue gak bakal ganggu!”

Hesa melirik Fendy sekilas. Bukan duduk di sana seperti yang Bagas kira, melainkan duduk di sebelah Bagas, menatap cowok itu lekat-lekat.

“Gue cari Kak Bagas, bukan teman Kakak.” Dilengkapi senyuman nenek lampir di wajahnya.

Bagas bergidik ngeri, dia menggeser kursinya. Menjaga jarak. Di sini kesabaran Hesa diuji, dia bukan tai kucing sampai harus dihindari segala!

“Gas, gue balik duluan. Setengahnya lo bayar.”

“Eh, Fen! Tunggu—“

Hesa mencengkeram kuat-kuat pergelangan tangan Bagas, memberikan kode agar cowok itu tidak meninggalkannya.

“Gue mau jadi pacar Kak Bagas.”

“Sint—“ Bagas mengatup rapat bibirnya, menarik napas dalam-dalam, lalu membuangnya perlahan. “Bangun dulu ya, Sa. Lo kayaknya masih ada di alam mimpi.”

“Jadi pacar gue atau Lanka gak bakal aman.”

Fix. Gue yang mimpi.”

“Hesa serius, Sayang. Resmi.”

⚪  E v l a n k a ⚪

Terima kasih sudah membaca!

Siapa besok potong sapi???

See u di Bab 12💜

28 Jun 23

- Princboo -

EvlankaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang