Halo guys! Apa kabar?
Harusnya update kemarin, tapi gak tau kenapa bisa lupa:)
So, selamat membaca💜
2,1K+
⚪ E v l a n k a ⚪
Suara gebrakan pintu menggema di dalam toilet. Lanka mendengkus geli. Baguslah. Hesa masih belum sadar. Semakin sering dia bertindak tanpa alasan, semakin bagus untuk Lanka. Membuatnya dengan mudah membaca jalan pikiran Hesa yang lebih sering mengambil tindakan spontan. Melihat peluang tanpa mempertimbangkan apa-apa.
Lanka menatap tubuhnya yang basah. Menyandarkan tubuhnya yang melemah. Jemarinya yang menganggur mulai bergerak, membuka satu persatu kancing seragam. Melucuti seragamnya, menyisakan kaos putih polos dan celana pendek hitam di tubuhnya.
Basah semua.
Pintu lemari di bawah wastafel Lanka buka, mengambil baju yang sudah dia siapkan. Tidak perlu tahu jalan pikiran Hesa, cukup tahu jika toilet identik dengan basah. Alasan yang sangat cukup untuk meninggalkan pakaian ganti di sana.
Ah ... tunggu. Sepertinya ada yang lebih menarik ketimbang mengganti seragamnya.
Lanka membuka pintu toilet, mengintip sedikit lantas memanggil siapa pun yang lewat di sana. Jujur, dia masih belum mengenal banyak orang.
“Kak Bagas!”
Bagus. Bagas masih berkeliaran di sekitar sini.
Bagas membawa mundur tubuhnya. Dia melirik kepala Lanka yang menyembul dari dalam toilet. Alisnya terangkat, kemudian tersenyum.
“Gak nyangka bakal ketemu di toilet.” Terdengar agak ambigu, tapi sudah terlanjur.
“Takdir, Kak.” Lanka tersenyum sangat lebar. Menebarkan pesona yang dengan senang hati Bagas nikmati. “Kak Bagas punya baju ganti?”
“Baju ganti?” Bagas bertanya bingung. “Lo ...” Bagas menatap ke arah di mana dia sempat melihat Hesa pergi.
“Ada gak? Ceritanya nanti dulu.”
“Ada. Baju cadangan di ruang OSIS. Lima menit, oke?”
Lanka mengangguk sambil tersenyum. “Makasih ya, Kak.”
“Bentar.”
Sempurna. Obsesi Bagas padanya bisa Lanka manfaatkan. Perlahan saja, dimulai dari sesuatu yang manis. Orang-orang hanya mengenal Lanka sebagai gadis lugu yang baik hati, yang paling penting korban bully.
Bagas berlari cukup kencang menuju ruang OSIS. Buru-buru mencari kunci loker, membuka loker di mana biasanya terdapat banyak baju cadangan. Entah itu seragam, baju ganti, sampai alat salat dan sebagainya. Bagas ingat jelas jika dia pernah menyimpan beberapa pakaiannya di sini agar tidak bolak-balik pulang ke rumah ketika banyak kegiatan.
“Berisik, Gas.”
“Dih, sewot. Waktu gue cuma lima menit.”
Fendy membuang napas lelah. Tidak tahu Bagas sedang mencari apa, tapi cowok itu kelewat heboh ketika melakukannya. Menghancurkan ketenangan Fendy yang sedang merevisi proposal sponsor. Kebiasaan, ketika ada kesalahan ngadunya H-jam begini. Itu pun dilempar ke Fendy untuk diperbaiki.
“Lo ngapain, sih? Kesel gue lama-lama.”
“Bidadari gue butuh bantuan. Nah, ketemu. Kalau Rena ke sini bilang gue pinjem roknya, atau punya siapalah itu. Thanks, Bro. Cemungut!”
“Gak jelas.” Fendy menggerutu malas.
Persetan dari kelakuan absurd Bagas. Fendy hanya perlu bersyukur bisa bolos mata pelajaran Fisika karena urusan OSIS. Lebih baik jomlo ketimbang mengerjakan soal Fisika di papan tulis. Malunya to the bone karena tidak bisa menjawab dan berujung berdiri di pojok kelas dua jam pelajaran.
“Bidadari mana lagi yang si Bagas maksud?”⚪ E v l a n k a ⚪
“Makasih ya, Kak.”
Bagas menoleh. Kedua sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman menawan. Dia berjalan mendekati Lanka, menyentuh ujung resleting jaketnya lalu menariknya sampai atas.
“Biar gak kedinginan.” Tangan kanannya mengusap puncak kepala Lanka. Dia sedang berbangga karena Lanka memakai jaketnya. Entah sudah terbang sampai mana jiwanya. Lanka sangat imut berpenampilan seperti ini. Tolong! Bagas tidak kuat! “Lo utang cerita ke gue.”
“Eum ... istirahat nanti Lanka tunggu di kelas. Semangat belajarnya, jangan bolos ke RO.”
Bagas merasa tertangkap basah, lalu membeku ketika tangan Lanka balas mengusap puncak kepalanya. Degup jantungnya tidak bisa dia kendalikan seperti biasa. Ada desiran aneh menjalar ke seluruh pembuluh darah. Tangan Lanka seperti menyetrum setiap sudut tubuhnya.
“Gila.”
Bagas menyentuh dadanya. Merasakan sensasi debaran yang begitu kencang. Sudah lama sekali rasa menyebalkan ini tidak mampir. Bisa gila Bagas. Kalau begini dia bisa bersumpah untuk berhenti mempermainkan perasaan perempuan.
Bagas menyentuh kembali puncak kepalanya. Kemudian tersenyum dan jadi salah tingkat sendiri. Dia melompat-lompat kegirangan, tidak sadar jika Lanka masih ada di sana sengaja berhenti untuk memperhatikannya.
“Balik kelas sana!”
Sekali lagi Bagas dibuat membeku. Sedikit demi sedikit seperti kipas macet kepalanya menoleh. Yang benar saja, Lanka masih ada di sana tersenyum geli padanya. Memalukan. Bagas mau nitip muka di mana?
“Mau gue antar ke kelas?”
Sudah basah, tenggelam saja sekalian.
“Boleh. Biar Lanka bisa jelasin ke Pak Budi lengkap pakai saksi.”
“Pak Budi pengertian, kok. Asal lo pintar.”
“Oh gitu, ya?”
Bagas mengangguk. Menurut ingatannya memang seperti itu. Guru pilih kasih itu bukan hal yang aneh. Masing-masing dari mereka pasti punya murid favorit.
“Gue pikir lo cuek, gak peduli gitu sama gue.” Bagas memasang tampang sok tersakiti. Pasalnya, baru kali ini Lanka meresponsnya setelah ribuan hal Bagas lakukan untuk menarik atensi Lanka.
“Lanka mau nanya, deh.”
“Sok atuh.”
“Gimana caranya cuekin cowok semanis Kakak?”
Bagas berdecak malu-malu. Namun, dia menetralkan kembali raut wajahnya ketika sadar sudah berdiri di ambang pintu kelas Lanka dengan Pak Budi di hadapannya. Pria dengan tubuh tinggi besar itu menatap curiga padanya. Memicingkan mata siap menginterogasi Bagas. Padahal tinggi mereka sama, tapi Pak Budi masih terlihat seperti raksasa.
“Ngapain kamu ke kelas sebelas?”
“Ngantar bidadari, Pak. Lagi mandi di sungai, trus saya balikin selendangnya.”
“Ngawur!”
Punggung Bagas ditepuk dengan tenaga dalam, hampir tersedak ludahnya sendiri karena terpaksa berhenti tertawa. Terlihat dan terdengar pelan, tapi rasanya meremukkan tulang-tulang. Kalau dia jadi si kucing Tom, matanya sudah melompat keluar dari tempatnya.
“Maaf, Pak. Baju saya basah, terus saya ketemu Kak Bagas dan minta tolong. Karena itu saya berpakaian seperti ini.”
Budi kembali menatap Lanka dari ujung kaki sampai ujung kepala. Rambutnya juga basah. “Ya, gak papa. Silakan duduk. Sepuluh menit lagi istirahat, Bapak keluar duluan, kalian keluarnya nanti pas bel bunyi.”
See. Bisa Bagas simpulkan jika Lanka adalah murid yang pintar sehingga banyak maklum yang diberikan padanya. Tapi, ada satu hal yang aneh. Apa Pak Budi tidak kepo terhadap apa yang Lanka alami? Jelas ini bukan suatu kecerobohan yang bisa Lanka lakukan.
Seisi kelas menyanggupi perintah Pak Budi. Walau semua orang juga tahu, ketika sosok Pak Budi tak lagi terpantau jarak pandang, mereka semua akan berlari keluar menuju kantin untuk makan. Atau tidak sedikit juga yang langsung mengunjungi kelas lain untuk menunggu doi, gebetan, atau bestie yang terpisah kelas.
Benar saja. Kesempatan itu Bagas gunakan untuk menunggu Lanka. Dia tak perlu menunggu lama sampai kelas Lanka sepi. Namun, Bagas sadar ada sesuatu yang salah di dalam sana. Ada Hesa, terlihat begitu peduli pada kehidupan Lanka.
“Lan.”
“Em?” Lanka menoleh. Menatap Bagas, cowok itu tampak kelelahan karena menghela napas panjang. Menyandarkan punggungnya di sandaran kursi dengan begitu nyaman. Tubuh semampainya sudah duduk di bangku sebelah Lanka.
“Kak Bagas sibuk banget ya, ngurusin OSIS?”
Bagas terdiam sejenak, ide brilian tumbuh di kepala geniusnya.
“Iya, nih.”
“Tapi masih sempat istirahat, kan? Jangan sakit.”
Senyuman Bagas mengembang sempurna, menatap Lanka dengan tampang siap menggombal. “Obatnya ada di samping gue. Cepat sembuh, deh.”
“Minum obat gak enak tahu!”
Bagas menegakkan tubuh dalam sekejap, memutar tubuhnya sembilan puluh derajat menghadap Lanka. Dia menatap wajah gadis itu lekat-lekat, kemudian menggeleng.
“Obat gue mah tinggal diliatin, doang. Manis.”
Lanka mendengkus geli, ada-ada saja gombalan tak bermutu dari Bagas. Kini giliran Lanka yang melancarkan serangannya, membalas tatapan Bagas. Mencari tahu seberapa kuat Bagas menahan salah tingkahnya.
Ya, dia kalah. Mengalihkan tatapan dari Lanka duluan.
“Cerita, gue dengerin.”
Lanka kembali menatap Bagas, kemudian lirikan matanya berjalan dan berhenti pada Hesa. Sinyal itu Bagas tangkap tanpa perlu repot-repot berpikir. Dia menghela napas, berdiri lalu menarik pergi tangan Lanka dari kelas. Meninggalkan Hesa yang punya rencana baru untuk menghancurkan Lanka.
Apalagi kalau bukan membuat Bagas membenci Lanka habis-habisan?
“Kak, pelan-pelan.”
“Oh, sorry.” Bagas memelankan ritme jalannya. Sesekali dia memastikan Lanka tidak keberatan dia tarik tanpa tujuan. Bagas sendiri masih berpikir mau dibawa ke mana anak ini.
“Duduk sini aja, deh.”
Ujung-ujungnya, pusat kehidupan Bagas di sekolah tetaplah ruang OSIS. Di daerah sini cukup sepi karena tidak ada kelas aktif, hanya ada ruang praktikum dan ruangan lainnya yang jarang digunakan.
“Ngobrol di sini aja, gimana?”
Lanka mengangguk menurut. Dia duduk di hadapan Bagas, memperhatikan lawan bicaranya sekarang.
“Gak mungkin cuma keran lepas.”
Lanka menghela napas memulai ceritanya. “Sebenarnya ... Hesa nyiram Lanka pakai air pel. Dan syukurlah Lanka ketemu Kak Bagas.” Lanka tersenyum manis. Berusaha meyakinkan Bagas dengan cerita super duper singkatnya tadi.
“Mak lampir emang si Hesa.” Bagas menghela napas lelah. Untuk pertama kalinya di dalam hidup Bagas bersyukur pernah ditolak. Hesa menolaknya adalah takdir paling Bagas syukuri di dalam kisah percintaannya.
“Lo gue antar pulang gimana? Sekalian gue ada keperluan keluar juga.”
“Gak usah, Kak. Udah ganti baju, gak papa.”
Bagas menatap Lanka tidak yakin. Dia menghela napas berat, kembali menampilkan tampang menyedihkan. “Kalau lo sampai masuk angin, gue yang merasa bersalah, Lan.”
Lanka terkekeh geli. “Gak, kok. Kan, udah pakai jaket dari Kak Bagas. Rasanya hangat kayak dipeluk.”
Bagas mengerjap. “Mau peluk beneran?”
Sebelah alis Lanka terangkat, Bagas membuatnya mendengkus geli dengan pertanyaan itu. “Gak suka physical touch yang berlebihan. Kak Bagas minjemin jaket udah lebih dari cukup, kok. Action paling penting.”
Bagas mengangguk mengerti dengan mulut membulat. Dia berdehem. Menautkan jemarinya di atas meja lantas kembali menatap Lanka.
“Hesa siram lo pasti ada alasannya, kan?”
Lanka terdiam, menatap Bagas dengan tatapan sendu. Sudut bibirnya terangkat tipis, membuang arah pandangnya ke sembarang arah.
“Gak-gak-gak. Gue gak coba bela Hesa. Maksud gue, sebelum dia siram lo ada kejadian apa?” Bagas jadi panik sendiri menangkap ekspresi kecewa dari Lanka.
“Salah paham.” Lanka kembali menatap Bagas. “Kita ... punya masa lalu yang belum selesai. Awalnya gue mau minta maaf, tapi ... ya begitulah.” Lanka tersenyum pedih.
“Masa lalu?” Bagas menggumam. Dia ingat akhir-akhir ini ada kabar burung yang beredar. Hesa dituduh sebagai pelaku perundungan di SMP-nya dulu. Namun, belakangan berita itu berbalik fakta menjadikan Hesa di posisi korban.
“Masalah bully itu?”
Lanka mengerjap, cukup terkejut. “Kak Bagas tahu?”
Bagas tak kalah terkejutnya. “Bukannya berita itu udah jadi gosip di sekolah? Dan itu lo?”
Benar. Banyak yang membahasnya dan berspekulasi bahwa Hesa dengan kekuasaan yang dia pegang telah memutar balikkan fakta. Berusaha membersihkan namanya sendiri dengan berperan sebagai korban. Dengan temperamen dan tindakan tak masuk akal yang Hesa lakukan selama ini, sangat mudah memunculkan spekulasi buruk tentangnya.
“Sejak kapan? Lanka gak tahu kalau—kalau itu udah jadi gosip di sekolah. Apa mungkin ... Hesa makin marah gara-gara itu?”
Bagas menatap Lanka terdiam. Jika Hesa marah karena berita itu berbanding terbalik dengan berita awal, ada kemungkinan bukan dia yang memutar balikkannya. Namun, cara paling masuk akal untuk membersihkan nama Hesa adalah dengan cara ini sebelum dia menghapus berita itu dari peradaban media sosial.
Bagas berdiri. Dia menghampiri Lanka, menarik jaket yang Lanka kenakan. “Ikut gue.”
“Ke mana?”
“Ikut aja, ya? Gue gak mau main tarik-tarikan.”
“Oke.” Lanka pasrah.
Bagas melepas tangannya, membiarkan Lanka sendiri yang mengekor di belakangnya. Keningnya mengernyit, masih tidak mengerti. Hesa ... dan Lanka.
Hesa Prameswari adalah siswa berinisial HP.
Lalu siapa EL? LE?
“Gue Bagas Tritama Sanjaya.”
Lanka mengernyit. “Lanka tahu.”
Bagas berhenti berjalan, menatap Lanka lebih serius. “Nama lengkap lo?”
“Oh.” Lanka mengerti sekarang. “Evlanka Lenggara.”
Ah, jadi Lanka adik dari korban yang dikabarkan menjadi pelaku untuk membalas dendam. Tapi, mau dipikirkan bagaimana pun anak seperti Lanka yang polos, menggemaskan, dan berhasil menaklukkan hati Bagas ini tidak mungkin sejahat itu.
“Nama lo unik.”
“Makasih. Nama Kak Bagas bagus.”
“Biasa aja.” Bagas menahan senyuman. Fix, Lanka berhasil membuat Bagas menyukai namanya sendiri yang terdengar alay sebelumnya. Laki-laki itu kembali berjalan, kemudian berhenti di meja piket.
“Gak ada yang jaga.” Bagas bergumam. Dia membaca jadwal piket guru, mengingat siapa-siapa saja yang mendapat tugas hari ini. Kemudian cowok itu mengambil surat izin, mengisinya, lantas masuk ke dalam ruang guru.
“Pak Dian. Pagi menjelang siang, Pak.”
Dian mendongak dari buku tugas di depannya. Pandangannya tak langsung mengarah pada Bagas, melainkan pada Lanka yang berdiri di belakang cowok itu. Pakaian yang dia gunakan tidak seharusnya dan melanggar aturan mengenakan jaket di dalam lingkungan sekolah.
“Lanka kenapa? Hesa lagi?”
Bagas berdecak sebal. Dia yang menyapa, tapi Lanka yang dilihat dan ditanyai.
“Pak, yang cari Pak Dian saya, lho.”
“Gimana Lanka?”
Lanka menatap Bagas dan Dian bergantian. Dia menarik ujung seragam Bagas, meminta laki-laki itu yang menjawab.
“Iya, Pak. Bapak bener. Mereka ketemu di toilet, terus tersangka menyiram Lanka dengan air pel. Makanya sekarang penampilan Lanka seperti ini. Nah, maka dari itu dimohon tanda tangannya agar saya bisa mengantar Lanka pulang.”
“Kak Bagas ... Lanka gak papa. Gak usah pulang.”
“Nanti lo masuk angin”—“Nanti kamu masuk angin.”
Bagas dan Dian saling melempar tatap. Merasa aneh plus geli karena jawaban refleks mereka yang sangat mirip. Dua laki-laki itu pun menghela napas canggung. Bagas memberikan surat izin yang dia isi tadi, lantas ditandatangani oleh Dian.
“Kamu langsung kembali ke sekolah setelah mengantar Lanka. Ngerti?”
“Iya, Pak. Tenang aja.” Bagas beralih menatap Lanka. “Gue antar surat izin sekalian ambil tas lo dulu di kelas. Tunggu di sini.”
Bagas akhirnya pergi.
“Saya mau dengar kronologinya. Bisa kamu ceritakan?”⚪ E v l a n k a ⚪
Terima kasih sudah membaca!
See u👋🏻
26 Jun 23
- Princboo -
KAMU SEDANG MEMBACA
Evlanka
Teen Fiction| Fenly UN1TY | ⚪ E v l a n k a ⚪ "Lan, lo mau pakai mata gue?" "Lo cuman anak buangan yang beruntung ketemu Lim!" "Gue sayang lo, Lan. Kita semua sayang lo." "GUE BENCI LO, LAN!" "Lan ... maaf ... gue telat." "Sampai mati gue benci sama lo!" "Samp...