BAB 20 || Ayo Bicarakan Lagi

47 10 0
                                    

Super panjang!

Selamat membaca💜

2,3k+

⚪  E v l a n k a ⚪


Fendy menggenggam ragu ponsel di sisi telinga. Dering penghubung antaranya dengan sang penerima masih tak berhenti terdengar. Mungkin dia sedang sibuk. Memang tak seharusnya Fendy mengganggu.

“Halo? Ada apa, Fen?”

Fendy kembali menempelkan benda pipih itu di telinga, sedikit terkejut ketika suara Angga yang terdengar.

“Mama mana?”

“Ma! Fendy, nih—bentar, ya?”

“Iya, makasih, Om.”

Beberapa saat menunggu, suara sang wanita yang setiap malam mengiriminya pesan menanyakan kabar akhirnya terdengar. Kedua sudut bibir Fendy terangkat, sangat lega mendengar suara mamanya. Setidaknya Fendy jadi sedikit lebih tenang.

“Gimana, Ma?”

“Mama seneng dong di sini. Seperti biasa. Gimana kalau kalian kuliah nanti Mama Papa pindah ke sini seru kali, Kak.”

Fendy terkekeh geli. “Pasti seru, Ma. Tapi sayangnya kerjaan Mama di sini semua.”

“Itu kabar buruknya, Sayang. Oh, mana Lanka? Kalian baik-baik aja, kan? Gak tengkar?”

Fendy meringis, mamanya bertanya seolah tahu apa yang terjadi. “Baik, Ma ... dia lagi di kamarnya. Kita ada salah paham kecil. Tapi, Mama tenang aja. Fendy mau bujuk Lanka setelah bicara sama Om Angga.”

Lesa menghela napas lembut. Dia sempat resah hubungan keduanya akan bagaimana saat mereka tinggalkan. Syukurlah, Fendy sudah jauh lebih lunak sekarang.

“Ya udah. Jangan didiemin lama-lama adiknya. Nanti makin ngambek. Miss you, Sayang.”

Miss you, too, Ma.”

“Mama kasih HP-nya ke Papa, ya? Semoga dapat jalan keluar untuk masalah kalian—Mas, Fendy mau bicara.”

“Wah, mana? Sini-sini. Ada apa, Bro?”

Fendy menghela napas, diakhiri dengan dengkusan geli. Dia tahu apa maksud Lesa menghela napas tadi. “Ada yang mau Fendy bicarain, Pa.”

“P-pa?” Bunyi gaduh terdengar dari seberang disusul suara tawa mamanya. Fendy tak habis pikir jika dia akan mendapatkan respons seperti ini dari Angga. Bahkan dia memamerkannya pada Lesa. Kekanakan, tapi Fendy ikut merasa senang. “Oke, maaf. Papa di sini siap mendengarkan.”

“Mama di mana sekarang?”

“Di dalam. Papa udah di teras.”

“Gak nyangka peka.”

Angga tertawa cukup nyaring, renyah dan terdengar sangat percaya diri. “Oh, jelas. Kenapa? Lanka nakal? Ngambekan? Atau dia agresif?”

“Ya ... selayaknya cewek.”

“Rada darah tinggi memang, apalagi kalau sudah debat. Biasanya kalau ngambek kakaknya dulu suka kasih kejutan kecil. Tiba-tiba bawa boneka lucu, buku bacaan, kue, minuman manis gitu-gitu. Paling sederhana biasanya kalau udah dipeluk anaknya bakal baikkan sendiri.”

Angga jauh lebih peka dari perkiraan Fendy. Tak perlu Fendy tanyakan secara langsung, dia bisa menjawabnya dengan tepat. Antara dia sudah paham dengan percakapan dia dan mamanya tadi, atau memang sosok yang seperti ini yang membuat Lanka membanggakan Angga.

“Oke, nanti Fendy coba.”

“Jangan!”

Dahi Fendy mengernyit seketika. Kenapa jangan?

“Kamu mau jadi Lim atau jadi kakaknya? Kalau mau jadi Lim, siap-siap patah hati. Karena sampai kapan pun Lanka akan lihat kamu sebagai Lim, bukan sebagai Fendy.”

Fendy tertegun. Ingatannya melompat ke saat itu, di mana mamanya memberikan nasihat yang sama.

“Papa kasih tahu apa yang Lim lakukan, bukan itu tujuannya. Tapi kamu cari cara lain, cara seorang Fendy, yang beda. Yang buat Lanka sadar kalau kamu bukan Lim, dan dia gak boleh memperlakukan kamu seperti Lim. Paham?”

Fendy meneguk ludahnya, mengangguk kecil walau Angga tak bisa melihatnya. “Paham, Pa.”

“Mama cerita kamu suka mawar, kamu juga jago di bidang musik dan seni lainnya. Manfaatkan itu, Fen.”

“Lanka bakal suka?”

“Pasti. Kalau kamu bisa ngasih semua ketulusan kamu.”

“Tapi, maksud aku. Basic-nya? Lanka suka musik? Lanka suka mawar?”

“Lanka benci gelap. Sangat benci, bahkan bisa dibilang trauma. Kamu cuma perlu tahu apa yang dia benci. Selebihnya suka tidak suka, selama Lanka gak benci dia akan terima.”

“Aku gak yakin.”

“Wah, gawat. Kamu ngeraguin Papa?”

“Gak gitu ...” Fendy menggaruk tengkuk. Dia yakin perasaan Lanka tidak sesederhana itu, karena waktu itu Lanka sendiri yang mengakuinya. Di lain sisi Lanka pernah mengaku sangat emosional. Mungkin nanti Lanka akan bilang kalau menyukainya. Namun, Fendy yakin kesan yang terekam lewat visual bisa saja berbanding terbalik dengan kesan yang terekam lewat desiran di dada.

“Perasaan cewek kompleks, Pa. Mana mungkin segampang itu.”

Angga tertawa, lagi-lagi meledek Fendy. “Pemikiran kamu yang buat jadi kompleks. Sudah pernah lihat Lanka secara sederhana?”

Fendy terdiam.

“Papa yakin belum. Kalau kamu lihat Lanka secara sederhana tanpa bayang-bayang kesalahan orang lain, kamu gak bakal takut jalin hubungan yang baik sama dia. Kalau ke orang lain ya jangan coba-coba, banyak jebakan Batman. Jalani aja kayak kamu latihan main gitar. Pasti pernah kesulitan, pasti pernah sakit jarinya, tapi kamu optimis dan akhirnya bisa.”

Angga mengembuskan napas panjang, menyisakan senyuman lembut di parasnya. Matanya melirik ke atas, memperhatikan bintang-bintang yang bertebaran di sana.

“Kak ... Lanka butuh kamu. Itu fakta yang mau kamu tahu, kan? Itu yang bisa obati ego kamu, kan? Iya ... Lanka butuh kamu. Sangat butuh. Ingat, kan, bagaimana dia berusaha keras cari perhatian kamu? Dan ... bagaimana cara dia melindungi kamu.”

Irama jantung Fendy mulai tak karuan setelah satu sentakan tepat mengguncang pusat tubuhnya. Dia tersinggung, tapi juga merasa lega. Benar yang dikatakan Angga tentang semua ketakutannya. Tentang egonya yang mendamba jadi sosok kakak yang sempurna.

Setelah pamit dan terputus, Fendy meletakkan ponselnya. Dia melirik kertas origami di sudut meja, mengusap wajahnya gusar.

Semua ketakutannya selama ini bukan ketulusan, melainkan makanan untuk egonya.

Tangannya terulur, menyentuh origami berwarna merah. Diam sejenak, seakan ada sesuatu di kepalanya yang sedang bekerja. Perlahan jemarinya mencari origami berwarna ungu. Ya, warna kesukaan Lanka.

Dengan telaten jemarinya meninggalkan jejak di sana, membentuknya menjadi sebuah mawar.

EvlankaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang