BAB 3 || Pelaku atau Korban?

61 12 12
                                    

Halooo!

Aaaa siapa excited buat comeback UN1TY?!

SAYA SAYA SAYA!

Ya Udah, baca ini dulu sekalian nunggu premier. Agak pendek, tapi gak papa.

Selamat membaca!

1,4k+

⚪  E v l a n k a ⚪


Lanka menatap ke luar jendela sambil menopang dagu dengan tangan kiri. Kelasnya ada di lantai dua, dari sini bisa melihat ke lapangan. Matanya bergerak mengikuti bola basket yang dimainkan. Suara teriakan penuh semangat dari luar melebur bersama suara bising dalam kelas.

Telinga Lanka sudah berdenyut nyeri sejak tadi, tapi dia bisa apa?

“Hebat juga Kak Bagas main basket,” gumam Lanka, pada akhirnya hanya memperhatikan kapten voli itu. Ternyata dia biang kerok dari teriakan cewek-cewek di sana.

“RAKA!”

Lanka menghela napas, menyandarkan tubuhnya di kursi sambil menutupi kuping. Suara teriakan Hesa melengking menusuk gendang telinganya yang sensitif.

“Duh! Maaf, Sa! Sumpah dah gue kagak sengaja! Tuh si Robi yang ngelemparnya gak ngira-ngira!”

“Salah lo ngapain berdiri di dekat Hesa!”

“Salah lo, goblok! Orang lo yang lempar.”

“Lo yang mancing bego!”

Hesa makin menggeram, menggebrak meja menimbulkan suara nyaring menggema. Ada kalanya jam kosong akan menjadi saat yang paling menyebalkan seperti sekarang.

“GUE SUDAH BILANG JANGAN MAIN BOLA KERTAS DI KELAS! BUDEK LO?!”

“Bosen, Sa. Masa diam-diam, bae,” cicit Rido takut-takut

“Diem lu buntal!”

Rido membungkam. Dia menarik-narik seragam Raka. Sepertinya lebih baik mereka segera keluar dari kelas yang mulai mendidih ini. Bisa-bisa Hesa membuat mereka semua mendapat hukuman hanya karena dia merasa terganggu.

“Keluar lo semua!”

Bahkan, anak-anak yang tak suka menerima perintah pun mendengarkan Hesa. Satu persatu dari mereka mulai keluar. Yang jelas, mereka bisa menjual nama Hesa ketika guru-guru menegur dan bertanya.

Ada yang menuju kantin untuk mengisi perut lebih awal atau sekadar memesan makanan agar tidak kehabisan. Ada juga yang ke UKS untuk tidur dengan alasan tidak enak badan. Tak sedikit yang memilih ke perpustakaan untuk mencari ketenangan dengan belajar, membaca novel, atau bisik-bisik gibah. Dan makhluk yang tidak boleh terlewat adalah mereka yang mengambil bagian berkeliling sekolah untuk tebar pesona.

Begitulah kehidupan sekolah. Siklusnya yang digunakan hanya untuk bersenang-senang tanpa peduli kesenangannya memberi dampak apa pada orang lain. Tidak semua, tapi banyak.

Lanka masih di kelas, enggan menjadi bagian dari empat kelompok tadi. Walaupun ingin, si pemberi perintah juga tidak akan membiarkannya pergi.

“Lanka.”

Lanka berkedip, akhirnya dipanggil juga, kemudian menoleh. Menatap Hesa yang masih anteng duduk di bangkunya sendiri. Hanya tinggal mereka berdua ternyata.

“Gue masih gak yakin lo Lanka yang sama. Seharusnya Lanka buta.” Hesa menunggu reaksi Lanka, tapi nampaknya gadis itu lebih tertarik menatap ke luar. “Seharusnya Lanka gak berdaya. Gak bakal dengan sengaja buat gue marah.”

Lanka tersenyum tipis, nyaris tak terdeteksi oleh mata Hesa. Senyuman itu cukup mempermainkan emosinya. Sifatnya ini yang membuat Hesa makin penasaran. Dua tahun terakhir ... apa saja yang sudah terjadi pada gadis itu?

Apa insiden waktu itu tidak membuatnya ketakutan? Atau justru itulah alasan dia berusaha jadi kuat?

Lanka menghela napas. “Gue sudah bilang. Gue pindah karena Papa Lim menikah lagi.” Lanka mengangkat bahu santai, tak peduli dengan aura intimidasi yang keluar dari tubuh Hesa.

Lantas gadis dengan kalung emas di lehernya mendengkus geli. Akhirnya berdiri dan menghampiri Lanka. Begitu dekat, tangan kirinya langsung meraih rambut Lanka, menarik kasar agar gadis itu mendongak balas menatapnya.

Tiba-tiba saja tatapan mata itu kosong, mengingatkan Hesa akan Lanka yang dia kenal. Persis seperti waktu itu. Ketakutanlah agar Hesa tak berbuat lebih dari ini.

“Harusnya begini.” Hesa makin menarik rambut Lanka. Ingin melihatnya lebih ketakutan.

Mata Lanka pun mulai bergetar, berusaha untuk tak menatap Hesa. Seharusnya seperti ini. Seharusnya Lanka tidak nekat pindah kemari. Seharusnya Lanka tidak muncul lagi di hadapan Hesa karena dengan begini terpaksa Hesa habisi.

“Walaupun udah bisa lihat, sepertinya lo tetap butuh tongkat. Supaya lo lebih berhati-hati. Tapi sayang ... lo sendiri yang patahin tongkat itu.” Hesa mendekat. “Apa pun rencana lo untuk balas dendam, tetap lo pembunuh Lim.”

Lanka mengeraskan rahang. Sangat benci ketika mendengar seseorang menuduhnya padahal pengadilan pun kesulitan melakukannya.

“Lo bahkan gak bisa pakai mata ini dengan benar. Gak guna lo bisa lihat lagi.”

Hesa menghempaskan kepala Lanka. Helaian rambut yang menempel di jemarinya membuat Hesa jijik.

“Saat lihat gue, seharusnya lo kabur.”

Lanka memegangi lehernya yang terasa sakit. Matanya melirik ke luar jendela, di mana beberapa orang mulai mencari tahu tentang mereka. Suara Hesa yang lantang, di depan jendela-jendela yang terbuka tentu menarik perhatian. Lirikan matanya beralih menatap kaki Hesa, dengan cepat memberi sedikit bayaran.

“Bangsat!”

Plak!

“Hesa! Kamu nampar Lanka?!”

Tepat waktu.

Mata Hesa membulat, menatap horor Dian yang tiba-tiba muncul malah melemparkan tuduhan. Guru honor yang tidak mengerti batasan, tidak tahu diri.

“Dia yang injak kaki saya! Wajar dong saya marah!” Hesa segera membela diri.

Dian menggeram, antara kesal dan percaya tak percaya. Dia melebarkan langkah, berputar untuk segera ke lantai dua.

“Lo ngapain nginjak sepatu mahal gue, brengsek?!”

Lanka diam dua detik, menatap sepatu Hesa. “Yah, wajar, sih, mahal.” Kemudian menatap wajah Hesa. “Karena lo butuh, kan, untuk naikin harga diri lo?”

“Lo—“

Dian menahan tangan Hesa di saat yang tepat. Sambil mengatur napas sehabis berlari menaiki anak tangga. Setelah dua bulan tanpa kasus kekerasan fisik, apa Hesa akan memulainya lagi?

Tangan berhiaskan sebuah gelang emas itu berusaha lepas dari cekalan Dian dalam sekali hempas. Matanya menatap tajam, siap meledak.

“Jangan sentuh saya sembarangan!” peringat Hesa penuh penekanan. “Saya bisa melaporkan Bapak atas tuduhan pelecehan.”

Dian menghela napas gusar, meminta dua orang itu menjaga jarak. Matanya bergulir, menatap Lanka yang memegangi pipi kanannya. Kepalanya menunduk dalam, terlihat ketakutan.

“Lan—“

“Dia yang duluan!” Hesa menginterupsi sebelum Lanka melaporkan yang macam-macam tentangnya. Sampai Lanka memutar balikkan fakta, gadis itu akan habis sekarang juga.

“Maaf, Sa ... gue gak sengaja.”

Hesa menggertak. “Dih! Najis lo! Sengaja ya sengaja aja!”

Dian menghela napas. Aura intimidasi Hesa mendominasi. Hanya karena dia keponakan kepala sekolah, tidak seharusnya dia selalu bebas dari hukuman yang seharusnya. SOP itu dijalankan hanya sebagai formalitas.

Dian tidak percaya pada Hesa, tetap ingin mendengarkan pembelaan dari Lanka.

“Lanka ... benar kamu nginjak kaki Hesa?”

Lanka mengangguk takut. Namun, Dian masih tidak percaya.

“Jujur sama saya Lanka.”

Bisa saja tekanan dan ancaman dari Hesa yang membuat Lanka tak berani berkata yang sebenarnya.

“Dia udah ngaku. Bapak ngapain lagi, sih?!” Amarah Hesa kembali naik ke ubun-ubun. Jengkelnya bukan main melihat Dian terang-terangan membela Lanka di hadapannya. Gadis itu memang pantas dikasihani, tapi tidak pantas dibela. Tidak pantas diperjuangkan.

Dian menghela napas, menegakkan tubuhnya untuk kembali memberi atensi pada Hesa. Gadis ini ... semakin lama semakin dibutakan kekuasaan.

“Kamu bukan sekali ini main fisik sama teman kamu. Kamu pikir saya bisa percaya gitu aja?”

“Iya, tapi Lanka sendiri udah ngaku, kan?!”

“Gimana kalau Lanka merasa terintimidasi sampai rela berbohong? Kamu sadar benar dengan posisi kamu, kan, Hesa?”

Lanka tersenyum tipis. Kepalanya perlahan mendongak, melirik Hesa sekilas. Gadis itu juga tengah menatapnya, kemudian Lanka mengubah total ekspresi wajahnya. Melenyapkan senyuman yang sempat tercipta untuk mengejeknya.

“Lo—“

“Bapak boleh liat CCTV, itu bukti valid.”

Sempurna. Akting Lanka sempurna. Suara lirih yang disertai getaran. Siapa pun akan percaya jika dia sedang tertekan lantas berbohong supaya tetap aman.

Di luar itu Hesa kelabakan. Matanya sibuk bergerilya ke setiap sudut ruangan. Buru-buru mencari CCTV yang bahkan dia sendiri tidak tahu sejak kapan ada. Sialan. Tantenya tidak memberi Hesa aba-aba. Setelah membiarkan Lanka sekelas dengannya, sekarang CCTV?

“Oke. Kalian berdua ikut saya ke ruang BK.”

Lanka mengangguk kecil. Berdiri lebih dahulu lantas berlalu pergi. Meninggalkan Hesa yang masih kebingungan mencari letak CCTV. Dia harus melenyapkannya terlebih dahulu sebelum Lanka menjadikannya senjata untuk melawan.

Melihat itu membuat Dian sangat yakin, Hesa yang bersalah di sini. Dia merasa paling berkuasa, tapi tetap saja ketakutan.

“Ayo ke ruang BK.”

“Apaan, sih, Pak? Lanka udah ngaku! Gak usah diperpanjang! Bapak tahu saya keponakan Bu Henny.”

“Justru karena kamu keponakan Bu Henny, seharusnya kamu yang menjaga nama baik beliau, bukan sebaliknya.” Dian berkata tegas disertai sorot mata yang tak ingin Hesa terus menciptakan alasan.

Hesa mendengkus geli ditatap sehoror itu. Seulas senyuman miring dia hadiahkan, tak lupa melipat tangan di dada membuat kesan bossy yang kental.

“Bapak suka, ya, sama Lanka?” Hesa melempar satu bom pada Dian. “Guru muda kayak Bapak tuh emang seleranya aneh, kan? Suka sama anak-anak yang mukanya polos biar gampang diajak tidur, diimingi nilai bagus. Cih, murahan. Paedofil.”

Hesa lantas berlalu pergi. Meninggalkan Dian yang berupaya menahan luapan emosi. Mau bagaimana pun dia adalah seorang guru, Hesa dan Lanka adalah muridnya, dan dia berposisi sebagai saksi mata untuk menghentikan Hesa.

Kepalan tangannya perlahan terurai seiring keberhasilannya meregulasi emosi. Dian membuang napas pelan, kemudian berjalan keluar kelas menyusul dua muridnya.

“Lihat aja sampai kapan kamu bisa memanfaatkan posisi Bu Henny sebagai tameng?”

⚪  E v l a n k a ⚪

Terima kasih sudah membaca!

see u tomorrow!

9 Juni 23

EvlankaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang