Halo apa kabar?
Happy UN1TY Day!
Selamat baca💜
1,7k+
⚪ E v l a n k a ⚪
Fendy merebahkan tubuhnya di kasur, menarik pelan rambut hitamnya seakan hendak menarik lepas nyeri di kepala. Setelah mengantar Lanka pulang dan memastikan gadis itu beristirahat dengan baik, Fendy kembali ke rumah Pian.
Terkadang terasa sangat lucu. Terkadang juga terasa sangat menjengkelkan. Namun, berada di rumah Pian membuatnya lupa akan jarak. Mau ke mana pun terasa sangat dekat. Sebagian besar tenaganya yang habis karena jarak bisa teratasi dengan baik. Itu ... sebelum ada Lanka.
Menjadi kakak bukan hal yang mudah. Apalagi untuk seseorang yang baru dia temui. Bukan lahir dari rahim yang sama. Hanya berbeda satu tahun. Tidak tumbuh dewasa di lingkungan dan atap yang sama. Ditambah ayah baru. Fendy terpaksa beradaptasi dengan dua hal asing sekaligus dalam waktu yang sangat singkat.
Lanka dengan segala masalahnya, mau tak mau ikut Fendy bantu pikul sebagian.
“Fen.”
“Apa?”
Pian datang dengan sepiring mangga. Dia sedikit menjelaskan jika ini adalah dua buah mangga terakhir dari pohonnya. Dia terlihat sedih, tapi juga ingin melahap habis detik itu juga.
“Gimana Lanka?” tanya Pian setelah piring mereka bersih tak bersisa. Tinggal dua buah garpu di sana.
“Gimana apanya?”
“Bakal jauhin Bagas, kan?”
“Oh. Iya.”
“Syukurlah. Gue gak tahu juga kalau tuh anak bakal nekat. Kek, njir, nih anak! Padahal dia sendiri aja udah punya masalah sama Hesa. Malah nambah masalah. Gila gak tuh?”
“Sebenarnya lo tahu, kan, Yan?”
“Hah? Tahu apaan?”
“Yang gue gak tahu tentang Lanka.”
Pian diam sebentar sambil menatap Fendy. Berharap cowok itu akan percaya apa pun yang dia katakan selanjutnya.
“Apaan, njir?” Pian terkikik geli, menepuk pelan bahu Fendy yang tak memberi ekspresi. “Lo, kan, kakaknya. Harusnya lu lah yang paling banyak tahu. Ya kali gue.”
“Tapi lo yang duluan dekat sama Lanka. Lo juga yang paling banyak habisin waktu bareng dia. Kalau ada masalah sesimpel hilang kunci aja dia nyari lo, kan?”
Pian masih berusaha menahan tawanya, tapi akhirnya pecah juga. Bukan di luar ekspektasi, tapi jika dilihat secara nyata seperti ini rasanya lucu sekali. Pian tahu masalahnya ada di Fendy. Dia kurang terbuka, tapi kesannya malah Pian yang bersalah karena dipilih oleh Lanka.
“Gak lucu! Gak usah ketawa!”
“Ya, gimana ya, Fen?” Pian mengusap sudut matanya yang hampir berair karena tertawa. “Lanka takut sama lo.”
Kening Fendy mengerut. “Takut sama gue? Kenapa?”
“Bukan takut yang kek lihat hantu, bwa! Trus teriak, aaaaaa! Bukan.” Pian kembali tertawa sambil memegangi perutnya yang mulai keram. Setelah beberapa hari stres, akhirnya tawa yang terkurung di dalam dirinya bebas juga.
Fendy menatap Pian dengan tampang datar. Semakin lama semakin kesal. “Lo bisa diam gak? Berhenti dulu ketawanya. Gue serius!”
Tawa Pian semakin meledak ketika tahu Fendy kesal karena ulahnya. Wajah stresnya itu penuh lawak.
“Gak gue contekin tugas tau rasa lo.”
Pian mengatupkan mulutnya. Kalimat dari Fendy barusan adalah tanda darurat. Pian tidak bisa mengabaikannya begitu saja walau menahan tawa adalah hal paling sulit di dunia.
“Oke, sorry.” Masih dengan sisa-sisa tawanya. “Tadi sampai mana?”
“Lanka takut sama gue.”
Pian mengangguk-angguk, berdehem untuk menetralkan pita suara. “Dia takut ganggu waktu lo. Dia takut ngerepotin lo. Dia takut lo benci dia. Dia takut lo gak mau jadi kakaknya, karena dia tahu dengan bersikap manja, lo semakin menjauh dari dia. Apalagi sampai hari ini lo masih bersikap labil.”
Pantas saja sikap manja Lanka begitu banyak berkurang. Dia yang sebelumnya bercerita tanpa diminta, sedikit demi sedikit menyembunyikannya. Yang tertinggal hanya senyuman di wajahnya setiap kali mereka bertemu.
“Padahal dia manjanya paket komplit. Lengkap sama polos, ngeselin, cerewet, keras kepala, dahlah. Meledak nih kepala lama-lama. Tapi dia berusaha gak gitu di depan lo.”
“Oh.”
Pian melirik sebentar, tercengang dengan respons singkat, padat, dan gak jelas dari Fendy.
“Kemarin juga dia belajar masak, sampai gue pegal-pegal bantu dia beresin dapur. Dia bilang, lo jago masak. Jadi dia mau lebih jago dari lo supaya lo mau makan sarapan dan bekal yang dia buat.”
Fendy terdiam. Ingatannya bermunculan. Ketika pertama kalinya Lanka membuatkan sarapan dan bekal untuknya. Fendy bersikap tidak peduli dan memilih untuk tidak sarapan, enggan duduk satu meja dengan dua orang asing itu. Setiap Lanka menyimpan kotak bekal di dalam tasnya pun, Fendy mengembalikannya ke dapur, enggan membawanya.
Pian sadar jika Fendy mulai sibuk dengan pikirannya. Dia pun beranjak membawa piring bekas mangga tadi ke dapur, meletakkannya di wastafel.
“Dicuci, Dek!”
Pian menoleh horor, ada suaranya, tapi tidak ada wujudnya. Kalau panggilannya sudah Dek, berarti ada di tingkatan kewaspadaan tertinggi.
Buru-buru Pian mencuci piringnya, kemudian kembali ke kamar. Menemui Fendy yang ternyata masih sibuk berpikir.
“Fen, kalau gue suka sama Lanka gimana?”
Sontak, Fendy langsung menoleh. Pian mengatakannya dengan enteng sambil menyalakan PS.
“Lo suka dia?”
“Kalau, njir, kalau! Gak usah nyeremin gitu.”
“Gak papa. Gak ada hubungan darah sama lo.”
“Kirain lo bakal jawab. Gila ya lo, Yan! Dia sepupu lu, njir. Adik gue. Lo mau jadi ipar gue? Ngelawak.”
“Mustahil.”
Pian terkekeh geli. Dia melempar satu stik PS pada Fendy.
“Lagian dia juga gak ada hubungan darah sama lo.” Pian melirik sekilas, menyenggol lengan Fendy yang malah terdiam. “Gak usah stres, kalau dia ngerasa aman ada di dekat lo. Dia bakal balik jadi dirinya sendiri. Jadi lo tau, kan, lo harus apa?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Evlanka
Teen Fiction| Fenly UN1TY | ⚪ E v l a n k a ⚪ "Lan, lo mau pakai mata gue?" "Lo cuman anak buangan yang beruntung ketemu Lim!" "Gue sayang lo, Lan. Kita semua sayang lo." "GUE BENCI LO, LAN!" "Lan ... maaf ... gue telat." "Sampai mati gue benci sama lo!" "Samp...