BAB 8 || Tinggal Berdua

55 11 13
                                    

Halo apa kabar?

Sebenarnya alarm up Wattpad udah sejam yang lalu, tapi baru aku edit dan upload sekarang, hehe. Soalnya lagi asyik nge-fanart, tapi udah pegel jadi pindah nge-wattpad.

Selamat membaca💜

⚪  E v l a n k a ⚪


Pesawat tujuan Lombok yang ditumpangi Lesa dan Angga akhirnya lepas landas. Dua pasang mata tengah memperhatikannya hingga sorot mata mereka tak lagi menangkap bentuknya. Masih pukul enam pagi lewat lima menit. Mereka belum sarapan karena harus berangkat sejak dini hari.

Perjalanan dari rumah ke Bandara saja membutuhkan waktu hampir setengah jam. Mereka tiba satu jam sebelum jadwal keberangkatan. Tidak sempat sarapan bersama untuk terakhir kalinya selama lebih dari seminggu ke depan.

“Mau makan apa, Lan?”

Lanka menoleh, dia mengeratkan jaket Angga yang disampirkan di bahu. Pipi kanannya mengembung, tampak memikirkan jawabannya.

“Bubur ayam gimana? Tapi, please ... jangan debat masalah diaduk apa enggak.”

Fendy mengangguk mengiyakan, lantas berdiri dan terlebih dahulu berjalan ke arah lahan parkir. Fendy mendengkus geli mengingat perkataan Lanka barusan. Sepertinya perdebatan itu memang sudah sangat lawas dan menjengkelkan sebab terus diulang.

Lanka segera menyusul. Tangannya terulur menggapai ujung hoodie merah yang Fendy kenakan. Dia sedikit kewalahan karena harus berlari kecil menyusul kakaknya. Belum dapat dan ... yap, akhirnya.

Sontak Fendy menolehkan kepalanya, bertanya ada apa sampai Lanka menarik hoodienya. Mungkinkah Fendy berjalan terlalu cepat?

Lanka mengawali jawabannya dengan gelengan. “Gak takut Lanka hilang?” tanya gadis itu sedikit cemberut. Dia semakin mendekat di sisi tubuh Fendy, tidak mau jauh-jauh dari cowok itu karena terlalu banyak orang asing yang menakutkan di sini.

Fendy dengan cepat peka, segera menyesuaikan langkah dengan Lanka.

“Kalau lo hilang, gue cari.”

“Ih! Pengen aku beneran hilang?” Alis Lanka menikuk tajam. Melayangkan tatapan protes tak terima dengan jawaban kelewat santai dari Fendy.

Fendy terkekeh geli dilengkapi gelengan kecil. “Lepas.”

“Apanya?” tanya Lanka kebingungan.

Fendy menghentikan langkahnya sambil menghela napas pelan. Senyuman masih melekat manis di paras tampannya. Rasanya punya adik manja memang seunik ini, ya? Tak berbeda jauh dari yang Fendy bayangkan selama ini.

Lanka menatap bingung raut wajah Fendy yang tidak bisa dia artikan. Cowok itu tersenyum, tapi kesannya seperti sedang meledek. Dia tidak mau Lanka pegang, kah? Oke. Lanka lepas.

Fendy menoleh, mengangkat tangan kirinya. Dengan gerakan manik mata dia meminta Lanka berpegangan di sana.

Lanka bengong. Dia menatap Fendy dengan kepala yang berpikir keras. Fendy tidak sedang menawarkan untuk menggenggam tangannya, kan? Dulu ... kakaknya selalu menggandeng Lanka. Hanya saja lain cerita kalau bersama Fendy. Bukankah akan terasa canggung? Apakah mereka sudah sedekat itu?

Ragu-ragu akhirnya Lanka meraih tangan Fendy, menjatuhkannya ke bawah dalam keadaan menggenggam tangan cowok itu. Bukannya melanjutkan langkah mereka, Fendy malah mengejeknya dengan tawa renyah.

“Pegang bagian hoodie yang ini, Lan. Gak enak kalau tarik-tarik di belakang.” Fendy menunjukkan di mana seharusnya Lanka berpegangan padanya.

Seketika wajah Lanka memerah, malu dengan kelakuannya sendiri. Dia menunduk dalam, melepas genggamannya lantas naik memegangi lengan hoodie Fendy yang over size. Mungkin saja wajahnya sudah semerah hoodie Fendy.

Senyuman Fendy tidak bisa tidak mengembang. Lanka salah tingkah begini malah semakin ingin dia goda.

“Mau genggam tangan gue aja?”

Lanka menggeleng cepat dan tegas.

“Ya udah. Makan bubur, right?”

Lanka mengangguk-angguk sebagai jawaban. Sudah seperti hiasan patung hewan yang biasa ada di dashboard mobil beberapa orang.

⚪  E v l a n k a ⚪


Mood Lanka sudah kembali membaik seperti semula. Terlihat tidak tertekan lagi karena masalah tadi. Sebenarnya Fendy tidak masalah jika Lanka ingin menggenggam tangannya. Karena, ke depannya tangan Fendy-lah yang akan terus terulur untuk Lanka. Fendy juga tak bermaksud membuat Lanka malu. Hanya saja Fendy ingin memberi tahu apa yang sebenarnya dia maksud.

Kejujuran sangat diperlukan dalam membangun hubungan yang baik.

Masalah bubur diaduk atau enggak. Setelah diperhatikan, ternyata Lanka tim bubur diaduk sedikit demi sedikit. Mengaduk bagian yang akan dia makan saja.

“Jam sepuluh nanti gue ke sekolah. Lo gak papa sendirian di rumah?”

Lanka mendongak dengan wajah polos. “Gak papa. Aku sering sendirian di rumah, kenapa baru tanya sekarang?”

Fendy terdiam. Jawaban Lanka sukses menohok hatinya. Haha. Rasanya lucu saja dan Lanka benar.

“Maaf.”

“Eh? Gak gak gak, kenapa jadi minta maaf?” Lanka panik sendiri, dia tidak bermaksud menyalahkan Fendy.

“Oh, gimana biar gak sendirian, lo ke rumah Pian aja?” Fendy berusaha memberikan solusi sebagai penembus rasa bersalahnya. Lagi pula di antara keluarga besar yang lain, Lanka paling dekat dengan Pian.

“Terus ... kalau Lanka udah di rumah Pian, Lanka ngapain? Pian, kan, bukan cewek, mana mau main sama aku.”

“Main PS mungkin?” Fendy meragukan jawabannya sendiri. Tidak semua orang suka bermain PS, kadang ada juga yang sukanya hanya menonton, tapi tidak berani memainkannya sendiri.

“Lanka gak bisa main PS. Yang ada Pian marah-marah karena kalah mulu.”

“Nemenin Tante Nana gitu, masak?”

Lanka menggeleng sambil tersenyum. “Lanka di rumah aja. Babang, Cacang, Dadang, Fafang, sama Gagang harus Lanka kasih makan.”

Fendy bengong sebentar. “Gue baru tahu nama mereka.”

“Lucu, kan? Atau aneh?” Lanka mendengkus geli sambil geleng-geleng. Toh, yang penting Angga senang ketika memelihara ikan koi jumbo itu.

“Karena aneh jadi agak lucu?”

Tawa Lanka semakin jelas terdengar. Dia setuju dengan pernyataan Fendy barusan.

“Papa tuh emang aneh. Ada-ada aja.”

Berbicara tentang Angga, membuat Fendy kepikiran tentang sikap pria itu, khususnya yang kemarin. Pun ketika Angga menggerutu marah hanya karena Lanka tidak membawa jaket. Sekarang yang menjadi pertimbangan, sopan atau tidak dia menanyakannya?

“Lo sama Om Angga cara komunikasinya memang kayak gitu?” Akhirnya ditanyakan juga.

Sebelah alis Lanka terangkat. Tawanya lenyap diraup kebingungan. “Kayak gitu gimana?”

“Ya ... kayak teman? Bukan kayak anak sama papa.”

“Oh, bentar.” Lanka mengambil air putihnya, menegak hampir setengah dari isinya untuk melancarkan kerja kerongkongannya. Dahinya mengernyit, berpikir.

“Dari dulu emang gitu, sih. Papa nempatin diri sebagai teman untuk Lanka. Jadi aku bisa lebih bebas berekspresi. Papa gak pernah pakai ancaman statusnya sebagai papa kalau lagi marah. Dia berusaha netral, dan bener-bener menyelesaikan masalah, bukan membungkam masalah. Emangnya aneh, ya? Atau Kak Fen ngerasa gak seharusnya cara komunikasi antara anak dan ayah kayak gitu?”

“Cuma gak familier di sekitar gue. Jadi aneh,” jawab Fendy jujur.

Lanka mengangguk mengerti. Dia menatap Fendy sambil mengaduk sisa bubur di mangkuknya. Ada yang ingin dia tanyakan, bagaimana dengan pola asuh yang Fendy terima dari ayahnya? Hanya saja, pasti tidak enak harus membuka kenangan lama yang manis, tapi juga pahit menyayat.

Lanka pun jadi penasaran cara komunikasi seperti apa yang sebenarnya paling Fendy sukai. Mungkin bisa membantu mempererat hubungan mereka.

“Kak Fendy sendiri, gimana? Sukanya komunikasi yang gimana?”

“Gue?” Fendy bergumam sambil berpikir. “Santai, gak kasar, gampang gue ngerti, menyesuaikan aja.”

“Tapi Lan kalau ngomong suka belibet, lho. Ganggu, ya?”

Fendy diam tak memberi tanggapan. Mengundang gemuruh rasa bersalah di dada Lanka. Raut wajahnya berubah memancarkan penyesalan. Apa dia harus les public speaking agar tidak kesulitan lagi dalam menyampaikan perasaannya? Ugh.

“Sudah selesai makannya? Gue bayar dulu.”

Lanka mendongak mengikuti arah perginya Fendy. Mereka baru saja sedikit jadi lebih dekat, tapi sepertinya Lanka memang membuat banyak kesalahan sampai-sampai Fendy merasa tidak nyaman dengannya.

Apa Lanka terlalu manja dan memaksa, ya?

“Ayo pulang.”

Lanka mengangguk kecil. Segera mengekor di belakang Fendy, bersyukur karena laki-laki itu tak berjalan secepat tadi. Lanka sempat heran kenapa Fendy tidak pernah santai kalau berjalan. Selalu terburu-buru dan seperti dikejar sesuatu.

Mobil mereka melaju dengan kecepatan sedang. Alam di sekitar bandara yang masih terjaga juga pemandangan pinggir sungai yang indah, dilengkapi udara segar di pagi hari mengurangi kegelisahan Lanka. Ketika mereka masuk ke kota nanti, jalanan pasti mulai penuh walau tak sepenuh hari kerja biasanya.

“Lo suka pantai?”

Lanka menoleh, sedikit terkejut ketika Fendy melayangkan pertanyaan itu. Masih dengan gelisah karena hal tadi, Lanka memilih gelengan sebagai jawaban.

Fendy melirik sekilas, kemudian kembali menjatuhkan pandangan pada jalan di depan.

“Kenapa?”

Lanka berdecak. Kenapa Fendy justru menanyakan sesuatu yang apabila Lanka jawab akan membuatnya bicara berputar-putar?

“Gak suka aja,” jawab Lanka singkat. Tidak mau menjelaskan.

“Setiap pilihan pasti punya alasan, biar ada tujuannya.”

“Iya, Lanka milih jawab singkat supaya ngomongnya gak belibet. Muter-muter kayak puting beliung. Trus bikin Kak Fen bete.” Lanka mulai kesal. Wajahnya tertekuk, melempar tatapannya keluar.

“Kecuali lo.”

“Hah?”

“Gimana pun cara komunikasi lo. Gak masalah. Dibanding ngomong kayak puting beliung, dicuekin lebih nyebelin, kan?”

Lanka menoleh, menatap Fendy cukup terharu. Kemudian Lanka mendengkus geli, dua sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman manis.

“Senangnya punya kakak.”

Giliran Fendy yang mendengkus geli. “Makasih sudah mau jadi adik gue.”

Lanka menoleh, tersenyum semakin lebar. “Sama-sama!”

⚪  E v l a n k a ⚪


Dan terjadi lagi ...

Fendy baru saja menginjakkan kakinya di lorong, ini bahkan masih sepuluh menit sebelum waktu janjian dimulai. Rena sendiri sudah berdiri dengan wajah dongkol di depan ruang OSIS, siap melayangkan silet dari matanya.

“Pagi, Ren.”

Rena membuang muka. Ya sudah. Yang paling penting Fendy sudah menyapanya. Lirikan Fendy beralih ke pintu ruang OSIS, tangannya bergerak untuk membuka, tapi ternyata masih terkunci. Pantas.

Fendy berlari kecil. Duduk di salah satu kursi taman untuk menghubungi Bagas. Pasti telah terjadi sesuatu.

“Halo, Fen? Kenapa?”

“Kuncinya sudah ketemu belum?”

Terdengar suara rusuh barang berjatuhan dari seberang. Fendy mengerutkan kening, sepertinya insiden kali ini cukup serius. Fendy jadi teringat Lanka waktu itu.

“Fen, ke rumah gue, dong. Gue udah parno banget diomelin sama Rena. Gue, kan, manusia. Wajar dong ngilangin kunci?”

“Gak wajar kalau hampir setiap hari.”

Sayangnya Bagas bukan Lanka yang mampu membuat Fendy bersimpati dan membantunya.

Ck! Lo tahu gue pelupa!”

“Mantan ketujuh lo siapa?”

“Meira. Kenapa? Lo naksir dia?”

Fendy mendengus malas. Sudahlah asal ceplos, salah lagi. “Lo gak pelupa. Cuman apes aja. Mantan aja lo ingat, gak pake mikir.”

“Dih, beda server dong, Fen. Udah buruan sini!”

“Gue pinjam sama satpam. Good luck, Gas.”

“Wei—“

Fendy berdiri setelah mematikan ponselnya. Dia berlari kecil ke gerbang belakang di mana biasanya para staf sekolah berkumpul. Di sana ada satpam dan tukang kebun, sedang asyik berbincang seru.

“Pak, boleh pinjam kunci ruang OSIS?”

“Lho, kunci sama Ketos mana?”

“Lagi Bagas cari. Dari pada kelamaan, saya minta tolong Bapak aja.”

Satpam itu geleng-geleng kepala. Kebiasaan si Bagas, menghilangkan kunci setiap kali ada kegiatan di luar jam sekolah. Giliran dipakai bolos, kunci itu selalu siap sedia di tangannya.

Pintu ruang OSIS akhirnya terbuka setelah Rena menunggu nyaris setengah jam. Gadis itu benar-benar dongkolnya bukan main. Dia sudah tak peduli lagi dengan satpam dan Fendy. Lihat saja nanti, hidup Bagas tidak akan aman di tangan Rena.

Fendy bisa merasakan hawa tak nyaman terpancar dari tubuh Rena. Namun, sayang sekali Fendy tak punya pikiran untuk membantu Bagas menyelamatkan diri. Good luck, Gas.

“Gue bawa kerjaan gue ke depan ya, Ren?”

“Kenapa?”

“Lebih nyaman aja di luar.”

“Oh ya udah. Jangan lupa anak-anak yang datang telat suruh bawa gorengan.”

“Oke.”

Fendy membawa pekerjaannya ke meja taman. Bukan hal yang baik jika mereka hanya berduaan di dalam ruangan meski tidak melakukan apa-apa. Fitnah lebih kejam dibanding tidak memfitnah.

“Hai, Fen.”

Fendy mendongak sekilas, dengan cepat mengembalikan atensinya pada rangkaian bunga di hadapannya.

Hesa sudah mulai terbiasa diabaikan Fendy. “Gue bawain camilan. Mau gue bantu gak?”

“Dengan senang hati gue tolak.”

Senyuman Hesa yang sempat mengembang langsung lenyap. Dia mendengkus geli, sudah biasa dengan sikap dingin dan tarik ulur Fendy.

“Fen ... lo gentle, kan?”

“Gue tegasin sekali lagi. TOD waktu itu sudah selesai.”

“Tetap aja gara-gara itu gue baper. Bukankah wajar gue tagih tanggung jawab?”

Fendy menghela napas, semakin muak di setiap tarikannya.

“Kita sudah sepakat kalau itu cuma TOD.”

“Tapi, apa lo yakin lo gak pernah sekalipun punya perasaan buat gue? Sebelum ada Lanka, kita baik-baik aja, lho, Fen.”

Huh, baik-baik apanya?

“Gak ada hubungannya sama Lanka,” jawab Fendy tegas. Tatapannya menajam, melengkapi intonasi suaranya.

Bukannya percaya, Hesa malah tertawa sinis.

“Lanka itu tunanetra. Lo tahu?” Sebuah informasi yang Hesa yakin Fendy sendiri tidak tahu. “Mau gue ceritain siapa Lanka sebenarnya?”

⚪  E v l a n k a ⚪

Terima kasih sudah membaca💜

Siap-siap dengan keplinplanan Fendy ke depannya👀

See u hari Jumat!

~ 21 Jun 23 ~

Princboo

EvlankaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang