Halo! Apa kabar? Sehat-sehat ya kalian❤️
Rencananya mau update kemarin, tapi karena lagi sakit jadinya ketunda, deh.
Selamat membaca❤️
2,1k+
⚪ E v l a n k a ⚪
“Fen, lo tahu, gak?”
“Apa?” tanya Fendy berusaha antusias. Walau sebenarnya dia lebih peduli dengan apa yang sedang dia kerjakan ketimbang apa yang akan Pian sampaikan.
Palingan hanya gosip murahan yang dia dapat ketika pulang pergi dari toilet—
“Lanka masuk BK.”
Fendy terdiam lantas mendongak, menatap Pian yang menampilkan ekspresi meyakinkan. Beberapa detik kemudian sepupunya itu mati-matian menahan tawanya. Tahan dulu. Bukan saatnya Pian mengundang guru Bahasa Indonesia di depan untuk memberinya hukuman. Namun, wajah Fendy lebih lucu dari lelucon apa pun sekarang.
“Sama Hesa?”
“Dih, peduli?” Pian mulai memancing. Dia yakin Fendy peduli pada Lanka, hanya terhalang gengsi saja. Sampai cowok itu mengaku, barulah Pian akan dengan sukarela menjadi mata-mata untuk Fendy.
“Gak usah ngomong kalau cuma setengah.”
“Lo harus ngaku dulu kalau lo tuh sebenernya care sama Lanka.” Pian masih bersikukuh, tak mau kalah.
“Ekhem.”
Badan Fendy menegang sesaat setelah telinganya menangkap sinyal. Sebuah kode darurat dari seorang wanita paruh baya bersanggul besar yang sedang mengajar. Matanya melirik ke depan sekilas, kemudian tangannya kembali sibuk mengayunkan pulpen membuat jejak di atas kertas putih bergaris.
“Ngaku gak lo? Bilang iya aja susah banget.” Pian masih belum sadar.
“Ekhem.”
Pian terkesiap karena ketukan di dekatnya. Mengerjap beberapa kali sebelum menelusuri jari siapa yang mengetuk tidak sopan permukaan mejanya. Sorot matanya mulai berjalan naik dengan perlahan, mampir sebentar ke name tag di dada kiri seragam batik yang tersangka kenakan. Pian menelan ludah susah payah, kembali naik dan berakhir di wajah Bu Ana yang mulai keriput karena usia.
Cengiran khas muncul di paras cowok itu. Keadaan mulai menertawakannya, terutama teman-temannya.
“Fendy ...” panggil Bu Ana menusuk lembut. Senyumannya tak kalah mengerikan dari Hesa. “Bicara apa, ya? Sepertinya seru sekali.”
“Maaf, Bu. Cuma gosip gak penting.” Fendy berdiri sambil membawa bukunya. Tahu jelas apa yang harus dia lakukan selanjutnya. Tangan kirinya menarik kerah baju Pian, menyeret cowok itu keluar dari kelas.
Pian kehabisan harga diri. Tidak, dia memang tidak punya harga diri. Mau sampai kapan pun dia tidak bisa menandingi harga diri Fendy yang setinggi langit ke delapan. Bahkan dia menambahkan sendiri tingkatan langitnya.
Pian mendengkus pasrah. Berdiri di samping Fendy yang berusaha menulis dalam keadaan berdiri. Sial. Hari ini Fendy benar-benar tidak sefrekuensi dengannya. Tidak kooperatif.
“Mau lihat ke BK, gak? Ayo!”
“Jangan ke mana-mana, Pian!”
Pian mendelik, celingukan mengintip ke dalam kelas. Padahal Bu Ana duduk di ujung ruangan, kenapa masih bisa dengar suara super lirih dari Pian? Wah, indra ketujuh.
Satu nomor terakhir. Setelah itu Fendy akan memastikan sendiri keadaan Lanka. Bagaimana pun caranya.
Tak lama tugasnya selesai juga. Fendy berjalan masuk ke dalam kelas, kemudian keluar lagi dengan tangan kosong yang masuk ke dalam dua saku celana. Dengan santainya melewati Pian, seolah cowok itu hanyalah cicak yang menempel di dinding.
“Woi, Fen!”
“Kamu tetap di situ, Pian! Tugas kamu belum selesai!”
“Iya, Bu, iya!” Pian mendengkus pasrah. Tubuhnya merosot, duduk di lantai yang entah kapan terakhir dipel tanpa sabun itu. “Bawel bener.” Dia mulai menggerutu, kemudian menyalin jawaban yang sudah Fendy beri tanda di bukunya. Lumayan.⚪ E v l a n k a ⚪
“Sudah saya duga. Kamu yang memulai.” Dian menatap lurus Hesa yang tampak tak peduli. Toh, Dian tetap tak bisa melakukan apa-apa padanya.
Sekeras apa pun Dian coba menyingkirkan Hesa, hanya akan sampai di kesimpulan bahwa dia gagal. Dia hanya guru honor yang sudah dua kali gagal tes CPNS. Dengan otak seperti itu, dia pikir dia mampu mengalahkan Hesa? Jawabannya sudah jelas. Bahkan sekadar melemparkan sanggahan dan protes saja dia tidak pantas.
“Saya mau Lanka minta maaf, udah beres. Posisi Bapak juga bakal aman.” Hesa kembali memberi penawaran. Dia sudah berbaik hati memberi kesempatan. Digunakan atau tidak, itu tergantung seberapa dangkal pikiran mereka.
Secara sadar, Hesa yakin Lanka melakukannya dengan sengaja. Hanya saja berbeda dengan Lanka, dia tidak punya bukti yang dia harapkan terekam di CCTV. Bahkan, manusia iblis itu memperhitungkan dengan tepat bagaimana caranya bergerak tanpa terbaca di CCTV.
Benar-benar psikopat.
Lanka benar-benar sudah banyak berubah.
“Maaf, Sa. Gue gak sengaja.”
Hesa memutar bola mata malas. Kemudian beranjak pergi dari ruang BK setelah syaratnya dipenuhi. Di dalam sana hanya menyisakan murid dan guru itu, Hesa jadi ingin tahu apa bayaran yang Dian terima setelah membela Lanka.
“Fen?” Langkah Hesa tercekat. Tubuh dengan aroma khas milik cowok itu lewat begitu saja, tidak berhenti barang sedetik pun untuk memberi respons terhadap panggilan Hesa.
Padahal, Fendy bukan orang yang pelit bersikap ramah. Apa kehadiran Hesa segitu mengganggunya?
Matanya mengikuti, kemudian alisnya menukik. “Dia ngapain ke BK?”
Fendy mengetuk pintu, lantas membukanya dan melihat Dian sedang duduk di sebelah Lanka. Hal kedua yang jadi pusat perhatian Fendy adalah tangan Lanka yang berada di pipi. Tak kalah janggal, guru muda itu menatap lekat adiknya. Jelas pemandangan aneh itu membuat rasa tak suka tiba-tiba bertamu di dada Fendy.
“Permisi, Pak.”
“Ah, iya?” Sontak, Dian menoleh. Cukup terkejut dengan kehadiran Fendy yang tiba-tiba. Atau dia saja yang tidak sadar. “Ada perlu apa, ya?”
“Saya ada keperluan dengan Lanka.”
“Oh, ya sudah.” Dian mengangguk mengerti, dia menatap Lanka. “Kamu boleh kembali ke kelas. Atau sebaiknya istirahat dulu di UKS.”
Lanka tersenyum manis, mengangguk menurut kemudian menyusul langkah Fendy yang terlebih dahulu pergi. Matanya mengerjap beberapa kali, masih tak percaya Fendy tiba-tiba datang menjemputnya begini.
Senyuman senang tidak mau Lanka sembunyikan, dia ingin Fendy tahu bahwa begini saja Lanka sudah sangat bersyukur. Bahkan perih di pipinya sepenuhnya hilang.
Walau tak tahu apa tujuan Fendy, meski hanya sebuah kebetulan, Lanka tetap berdebar melihatnya.
“Kak Fen?”
“Kenapa?” Fendy tak menoleh. Matanya sibuk memperhatikan jalan.
Lanka tersenyum semakin lebar, dia melebarkan langkah untuk menyejajarkannya dengan Fendy.
“Kak Fendy tahu Lan di BK dari siapa?”
“Pian. Dia lihat lo ke ruang BK tadi.”
“Terus?”
“Ingat kata Pak Dian, istirahat.”
Meski bukan jawaban yang Lanka inginkan, dia tetap senang.
Mereka sudah sampai di UKS. Saat itu pula akhirnya atensi Fendy beralih pada Lanka. Cowok itu meminta Lanka untuk masuk, istirahat di dalam.
Lanka mengintip sebentar kemudian menggeleng, menolak. “Lanka gak sakit.” Sungguh dia baik-baik saja.
“Lo jam kosong, kan? Mending di UKS, tidur. Lo semalam tidur larut nungguin mama papa pulang.”
Lanka mengerjap, kemudian tersenyum begitu lebar. Seperti apa yang dia yakini, akan tiba saatnya Fendy dengan gamblang memperlihatkan kepeduliannya. Jemari cantiknya menyentuh wajah, mengusap pipinya yang sedikit kemerahan.
“Sebenarnya ... aku suka bintang. Dan emang sering tidur larut buat lihat mereka bersinar.”
Fendy tak memberi respons apa-apa. Dia berjalan memasuki UKS agar si tukang menolak ini mengikuti langkahnya. Di dalam, Fendy segera menghampiri penjaga UKS untuk memberitahukan keadaan Lanka. Meminta izin agar Lanka bisa istirahat minimal satu jam pelajaran.
“Udah, tidur aja sana. Ibu jagain.”
Lanka tersenyum, mengucapkan terima kasih lantas kembali menyusul Fendy yang sedang memeriksa bilik kosong untuknya. Melihat punggung itu berjalan di depannya saja Lanka sudah senang sekali. Rasanya dilindungi seorang kakak laki-laki memang sekeren ini. Lanka merindukannya. Merindukan perasaan semacam ini.
“Cepat. Gue harus balik ke kelas.”
Lanka berjalan sedikit pelan, dia duduk di pinggiran ranjang. Mulai memperhatikan Fendy dengan tanya yang masih berkeliaran di kepala. Alasan yang lebih spesifik ketimbang dia tahu Lanka ada di ruang BK dari Pian.
“Makasih, Kak.”
Fendy menghela napas, tersenyum tipis sambil mengangguk. Bagaimana pun, ada tidak adanya perasaan pedulinya untuk Lanka, gadis ini tetap adiknya. Sejak dua minggu yang lalu, resmi tertulis di kartu keluarganya.
Ujung jemari Fendy menyentuh pipi Lanka, bagian wajah yang gadis itu pegangi sejak Fendy menemukannya. Rasanya ditampar ... Fendy tidak tahu. Yang jelas, itu pasti menyakitkan dan menyisakan rasa perih.
“Sakit?”
Masih dia tanyakan. Khawatir memang terlihat sebodoh ini. Fendy malah tersenyum getir dengan sikap berlebihannya.
Seolah udara habis di sekitar mereka. Lanka tanpa sadar tidak bisa memberi komando pada paru-parunya. Mata cantiknya mengerjap, mengontrol diri dengan susah payah. Dengan berat hati menarik sudut bibirnya membentuk lengkungan manis.
Fendy tahu jelas jawaban dan maksud dari senyumannya. Setelah itu dia bergegas pamit, kembali ke kelasnya. Meninggalkan adiknya di UKS yang setidaknya dia harap sedikit lebih aman ketimbang ruangan mana pun yang ada di sekolah.
Lanka mengembuskan napas pelan penuh kelegaan. Tersenyum kecil. Dua minggu bukan waktu yang buruk untuk menarik atensi Fendy setelah resmi jadi adik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Evlanka
Teen Fiction| Fenly UN1TY | ⚪ E v l a n k a ⚪ "Lan, lo mau pakai mata gue?" "Lo cuman anak buangan yang beruntung ketemu Lim!" "Gue sayang lo, Lan. Kita semua sayang lo." "GUE BENCI LO, LAN!" "Lan ... maaf ... gue telat." "Sampai mati gue benci sama lo!" "Samp...