BAB 2 || Mimpi Itu

63 11 14
                                    

Hai-hai!

Selamat membaca🔥

2k+

⚪  E v l a n k a ⚪


Sambil mengunyah Fendy menatap layar laptopnya. Beberapa saat meneliti proposal HUT sekolah yang akan diajukan. Dia memberi tanda pada beberapa hal yang harus diperbaiki, kemudian mengirimkannya ke sekretaris acara.

Baru selesai, ponselnya berdering. Fendy mengurungkan niat menyuapkan nasi goreng yang sudah siap di sendok. Memilih mengambil benda pipih itu, mengecek siapa yang meneleponnya, terdiam, baru mengangkatnya.

“Halo? Fen? Lo di mana, sih? Gue udah nunggu hampir setengah—“

“Gue gak ngerasa punya janji hari ini selain sama anak OSIS. Gue gak butuh ditunggu sama lo.” Fendy menyela dingin. Entah sudah berapa kali Fendy memberi si penelepon peringatan untuk menjaga jarak. Urusan mereka sudah selesai, maka sudah tak ada alasan lagi untuk berhubungan.

“Fendy! Gue udah bilang sama lo. Kita ketemuan hari ini, bahas sponsor.”

“Bilang doang, kan? Gue ngiyain apa enggak?”

Di seberang, si penelepon menggeram kesal mencak-mencak di depan kafe sendirian. Butuh waktu beberapa detik baginya untuk menetralkan perasaan. “Oke ... sorry. Gue yang salah. Tapi lo lagi senggang, kan? Kita ketemuan sekarang aja gimana?”

Fendy menghela napas. “Lo punya jaminan kalau gue datang gak bakal ngelebarin topik ke mana-mana?”

“Ya gak bisa, dong—“

“Ya udah, gak usah. Gue tutup.”

Fendy menatap layar ponselnya malas. Bukan kali pertama Hesa berusaha mencari celah untuk mendekatinya. Dengan semangat membantu pekerjaan OSIS yang ujung-ujungnya hanya untuk mendekati Fendy. Kalau bukan karena maksud tertentu, seharusnya mendaftar jadi OSIS saja sejak awal.

Tak terasa jarum jam telah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. Sibuk dengan pekerjaannya membuat Fendy melupakan makanannya. Alhasil, nasi goreng itu baru habis tadi setelah pekerjaannya benar-benar selesai.

Laptopnya sudah mati. Fendy pun beranjak keluar kamar untuk mencuci piring. Udara dingin menyelinap masuk, semakin dekat dengan dapur semakin jelas rasa dingin itu menyentuh. Fendy menoleh, melihat Lanka duduk di kursi halaman belakang.

Seperti angin lalu. Sekadar tahu saja, Fendy kembali fokus pada tujuan awalnya. Berjalan menuju wastafel, segera menuntaskan niatnya.

“Lanka di-bully.”

Fendy berdecak, menutup keran wastafel sambil menghela napas. Pikirannya melayang lagi ke arah sana. Antara percaya dan tidak. Perasaannya kalut, padahal tidak pernah begini sebelumnya.

Memiliki seorang adik memang keinginan Fendy. Karena itu dia begitu akrab dengan Pian. Meski hanya berbeda dua hari saja, Pian tetap adiknya. Perasaan peduli yang tidak pernah Fendy perlihatkan, sungguh ingin dia habiskan ketika memiliki seorang adik kelak. Terlebih lagi adik perempuan.

Keinginannya memang dikabulkan, tapi Fendy tak kepikiran punya adik ketemu gede begini. Lagian, impian itu sudah terkubur sejak kematian papanya beberapa tahun lalu.

Di mata Fendy, Lanka terlihat seperti perempuan yang tak memerlukan orang lain. Buktinya gadis itu gampang berbaur dengan keluarga besarnya. Dia langsung akrab dengan Pian. Dia juga mandiri dan berkeinginan kuat. Tanpa dirinya pun Lanka tidak akan kesusahan.

Perasaan itu sudah melekat, tapi kenapa bisa langsung patah ketika Pian menyampaikan hal yang tak terduga? Luput dari pengetahuannya padahal mereka sekolah di tempat yang sama.

“Kak Fendy belum tidur?”

Bahu Fendy tersentak kecil. Dia menoleh, menatap wajah Lanka yang menatapnya bingung. Tanpa diminta matanya mulai menganalisis wajah itu. Bulu mata yang basah dilengkapi hidungnya yang memerah. Pemandangan yang sangat tepat menampar perasaannya yang kalut.

“Kak Fendy tidur yang cukup, ya ... kan, lagi ngurus HUT. Jangan sampai sakit.” Lanka tersenyum tulus.

Bagaimana bisa dia memberi nasihat dan tersenyum dengan wajah menyedihkan itu?

“Lo habis nangis?”

Lanka mengerjap. Jantungnya seakan sempat berhenti setengah detik. Pertanyaan Fendy mungkin terdengar sangat sederhana dan agak menghakimi dengan nada bicaranya, tapi dia benar, Lanka tak bisa mengelak.

Tahu Fendy peduli padanya saja sudah membuat bendungan di matanya kembali pecah. Lanka menelan ludah, buru-buru mengusap air matanya. Diam sejenak, kemudian menggelengkan kepala.

“Aku kan tadi habis bersih-bersih, masih bersin juga. Jadi ... ya gitu, deh.” Lanka mengalihkan tatap, tidak bisa bicara dengan benar karena ditatap serius oleh Fendy.

Fendy tak langsung percaya, dia tidak bodoh karena sudah tahu alasan yang sebenarnya. Namun, Lanka yang memilihnya sendiri. Kebohongan Lanka tidak butuh rasa peduli.

Lanka nyengir, tersenyum makin lebar. “Makasih sudah nanya. Lanka senang. Kalau gitu Kak Fen langsung tidur aja, biar aku yang nunggu mama papa pulang.”

Seperti apa yang Lanka inginkan, Fendy kembali ke kamarnya tanpa basa-basi dan menawarkan alternatif lain. Membiarkan gadis itu tersiksa dengan kebohongannya sendiri. Apa susahnya jujur pada Fendy?

Lanka menghela napas. Tersenyum kecil melihat punggung itu menjauh. Pertanyaan Fendy masih terdengar hangat di telinganya. Laki-laki itu peka, hanya tidak peduli saja.

EvlankaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang