BAB 26 || Rumah

33 9 2
                                    

Halo!

Kemarin bener-bene hectic banget😭 jadi mumpung ada waktu aku update dua bab sekaligus.

Cekidot👇🏻

Selamat membaca💜

2,2k+

⚪  E v l a n k a ⚪


“Mama Papa sudah kasih kabar bakal ke Inggris, kan?”

Fendy mengangguk kaku, kepalanya menunduk, matanya hanya berani menatap sepatu Lanka.

“Syukurlah.”

Fendy mengangkat pandangan. “Gue mau ngomong.”

Lanka mengangguk, mempersilakan. Toh, sejak tadi Fendy sudah bicara. Lanka juga punya banyak waktu luang malam ini. Lanka sengaja datang untuk menemui Pian, ingin memastikan laki-laki itu aman. Lanka hanya khawatir kalau Hesa menyakiti Pian selama dia mengurus Bagas.

“Maaf.” Fendy menjeda cukup panjang. Menarik napas dalam, membuangnya perlahan. “Maaf gue gak bisa tahan emosi gue. Gue cuma ngerasa gak becus jadi kakak. Gue kecewa sama diri gue sendiri, tapi gue kelepasan lampiaskan itu ke lo.”

“Hem, ya.”

Deg.

“Pulang, Lan. Gue mohon.” Fendy memohon dengan suara nyaris tak terdengar.

“Menurut lo gimana, Yan?” Lanka mengabaikan Fendy, menolehkan kepalanya menatap Pian yang berdiri di samping.

“Hah, gue?” Pian menunjuk dirinya sendiri syok. Apa-apaan Lanka malah menjerumuskannya seperti ini? “Ya—ya, lebih baik lo pulang.”

Lanka menatap Pian, tak sedikit pun beralih pada Fendy. Jelas itu melukai, Fendy hanya bisa menahan rasa itu sendirian. Ini kesalahannya, malu jika dia merasa disakiti.

“Pulang ke rumah lama gue? Boleh juga, mumpung belum dijual sama Papa.”

“Bukan gitu, njir. Pulang ke rumah Fendy, ru-mah, Fendy.”

Lanka tersenyum merasa bangga pada Pian. “Nah, itu dia. Lo sendiri tahu, kan, itu rumah Fendy bukan rumah gue.”

Pian dan Fendy tertegun. Sama-sama terdiam dan merasakan rasa bersalah yang besar.

“Lan.”

“Ya?”

Baru ini Lanka kembali menatap Fendy. Buku-buku jemari lelaki itu mulai memutih karena dikepal terlalu erat. Rasanya sesakit ini. Padahal Lanka hanya mengembalikan kata-kata Fendy waktu itu, tapi rasanya bisa begitu menohok. Fendy sekarang mengerti rasanya jadi Lanka saat berhadapan dengannya.

“Kalau lo memang gak mau ketemu gue. Gue bakal tinggal di rumah Pian. Yang penting lo pulang.”

“Makasih tawarannya. Tapi gue jadi jahat banget bikin tuan rumah gak bisa tinggal di rumahnya sendiri.”

“Lan, stop! Rumah gue, rumah lo juga!”

“Fen, Fen.” Pian langsung menengahi. Fendy terkadang suka meninggikan suara tanpa aba-aba, jelas membuat keadaan menjadi tidak kondusif. Sepintar-pintarnya Fendy, seharusnya cowok itu tidak lupa jika Lanka tidak bisa dibentak.

“Maaf, Lan ...”

Lagi-lagi Fendy hanya menjadi sosok yang menyesal lantas mengulangi. Begitu terus sampai Lanka lelah sendiri, bahkan menganggap Fendy yang bisa membantu jadi batu sandung untuknya.

“Papa cerita tentang bakery, ya? For you information, mereka gak bakal bilang kenal Evlanka Lenggara.” Lanka menghela napas. “Lo bener-bener nyia-nyiain semua informasi tentang gue yang ada di buku Kak Lim.”

Lanka menghela napas tak habis pikir. Dia tidak bisa membaca pikiran Fendy. Bahkan ini lebih rumit ketimbang membaca pikiran Hesa maupun Bagas. Padahal Lanka sudah memberi banyak petunjuk. Padahal Lanka sudah membiarkan Fendy curiga padanya. Padahal Lanka sudah berulang kali menunjukkan sisinya yang lain.

“Lo punya kuncinya, tapi lebih milih jepitan?”

Fendy menelan ludah. Dia berjalan mendekati Lanka perlahan. “Gue mau dengar langsung, Lan.”

“Sudah gue bilang bakal sama aja.”

Semakin didengar, semakin konyol pula alasan Fendy.

“Beda. Apa lo gak paham itu cara pendekatan gue?”

Keduanya bertukar tatap dalam jarak dekat. Jantung Fendy berdebar tak karuan dengan perasaan yang kelimpungan. Kesal yang entah kesal pada siapa. Kecewa, marah, sedih pun demikian. Fendy tidak bisa mengerti akan perasaannya saat ini.

“Gue suka setiap lo panggil kak. Gue suka setiap kali bicara, lo tatap mata gue sambil senyum. Gue suka dengar suara lo. Dibanding baca apa yang orang lain tulis, tahu langsung dari lo bikin gue ngerasa makin dekat sama lo.

“Lo gak paham itu?”

Lanka mengedipkan mata, membuang arah pandangnya. Mata Fendy selalu berhasil menghipnotis, itu yang Lanka tidak suka. Dia tidak bisa fokus menempatkan diri sebagai karakter yang seharusnya dia perankan di depan Fendy.

“Lo yang gak paham gue.”

Bagaimana? Lagi-lagi Lanka harus jadi manusia cengeng. Membiarkan air mata tanpa tujuan itu jatuh dari pelupuk mata? Rasa sayang Fendy yang dia dapatkan sejauh ini memang sudah sesuai dengan rencana, tapi Lanka masih tidak bisa menguasai emosi Fendy agar mudah diatur.

“Lan, pulang, ya?”

Sentuhan lembut jemari Fendy terasa di pipi Lanka. Laki-laki itu menatapnya lekat, perlahan mengikis jarak sampai Lanka masuk ke dalam pelukannya.

Pian membalikkan tubuhnya, tidak bisa memperhatikan keduanya lebih lama lagi. Dia tersenyum getir. Mungkin, dulu Pian menganggap hal ini akan sangat wajar bila terjadi. Namun, sekarang dia rasa salah. Konyol. Dia tidak suka. Dia keberatan.

Fendy menghela napas sedikit lebih lega. Tangan Lanka yang melingkar di pinggangnya menjalarkan perasaan itu. Merasa diterima. Merasa Lanka sudah memaafkannya. Merasa Lanka akan kembali pulang.

“I love you, too,” bisik Fendy lirih. Pelukannya semakin mengerat seiring tangis Lanka yang semakin terdengar.

“Udah belom dramanya? Gak jadi balik?” Pian bertanya dengan perasaan dongkol. Pasalnya, dari gerbang sekolah Bagas memperhatikan mereka secara terang-terangan. Hal itu sangat tidak bagus untuk hubungan Fendy dengan Bagas ke depannya.

Tanpa menggubris Pian, Fendy mengurai pelukan mereka. Dia menunduk, meneliti wajah Lanka untuk menghapus air mata dari wajah cantik adiknya.

“Hati-hati di jalan.”

Lanka mengangguk. Setelah itu Fendy pergi begitu saja dari sana. Menyisakan suasana canggung antara Pian dan Lanka.

“Tuh, sepuluh langkah lagi sampai rumah gue.”

Pian mengambil inisiatif terlebih dahulu. Dia meninggalkan Lanka. Tanpa tahu apa yang sedang gadis itu lakukan.

EvlankaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang