BAB 21 || Memutar Ingatan

43 11 1
                                    

Halo apa kabar???

Lagi cobain fitur baru nich, jadi bisa publish sesuai jadwal🤩

2k+

⚪  E v l a n k a ⚪


Fendy tersadar dari lamunan ketika ingatannya memutar kejadian di mana dia menghubungi Bagas. Di mana dia menarik sebuah kesimpulan, yang sekarang hilang entah ke mana dari benaknya. Dia tahu kesimpulan itu, tapi entah kenapa pada akhirnya dia merasa satu-satunya jalan keluar untuk melindungi Lanka adalah dengan membuka identitas mereka.

Fendy tahu jelas, tapi pikirannya dibutakan. Jika Lanka tidak marah dengan kesimpulan asalnya kemarin, mungkin Fendy tidak sadar tentang ini.

Rupanya Bagas sudah bertindak duluan. Jauh lebih berani dari Fendy yang seharusnya bisa segera mengatakan apa yang dia dengar.

“Lho, Fen? Gue pikir gue yang lupa kunci.”

Fendy menatap Bagas. Sebagai kakak sekalipun, Fendy tak bisa asal menginterogasi Bagas mengenai hubungannya dengan Lanka. Itu artinya, satu-satunya cara untuk mencari tahu adalah dengan sudut pandang korban.

“Jam kosong.”

“Oh. Pada ngelayat, ya?”

“Hem. Hubungan lo sama Hesa gimana? Sejauh apa dia berani nekan lo?”

Bagas mengerjap, mendengkus geli lantas sibuk dengan beberapa hiasan yang ada di sana. Mengulur waktu untuk menjawab. Mencari jawaban paling aman. Pertanyaan Fendy begitu tiba-tiba.

“Ya ... katanya gue bakal ditendang dan di-black list universitas.”

“Lo gak berubah, kan, Gas?”

“Berubah? Gimana?” tanya Bagas kebingungan.

“Kayak diskusi kita waktu itu. Alasan Hesa macarin lo. Lanka, kan?”

Bagas diam sejenak lalu menghela napas.

“Ya. Tapi itu bukan urusan lo. Gue udah coba lebih percaya sama lo, tapi makin hari ucapan Hesa mulai kedengaran masuk akal.”

Fendy mengernyit tak mengerti.

“Lo juga ngincar Lanka, kan? Setelah Lanka nyerah dan mau dekat sama gue, lo baru sadar dan mau jadi pahlawan kesiangan?” Bagas mendengkus geli.

“Gue gak ngerti maksud lo.” Fendy ikutan mendengkus karena merasa lucu. “Lo tahu Pian dekat sama Lanka. Lo juga tahu Pian sepupu gue. Lo sendiri yang bilang wajar kalau Lanka kelihatan dekat sama gue, dan akhirnya gue peduli. Bukan lo yang paling khawatir tentang Lanka, tapi Pian.”

“Ya ya ya.” Bagas memutar bola matanya. “Rada gerah ya di sini. Gue balik ke kelas, deh. Baru ingat ada tugas yang belum gue salin.”

Bagas keluar dari ruangan selesai bicara. Dia memakai sepatu asal-asalan. Menginjak bagian belakangnya kemudian berjalan ke suatu tempat. Hesa sedang tidak sekolah hari ini karena omnya baru saja meninggal kemarin. Kepala sekolah pun tidak ada di tempat untuk melayat ditemani guru-guru bergantian.

Saatnya bertemu dengan Lanka.

Senyuman Bagas merekah sempurna ketika dia sampai di kelas Lanka. Membayangkan akan melihat wajah cantik gadis pujaannya sudah membuat perut Bagas serasa dipenuhi bunga-bunga.

“Lanka!”

Semua pasang mata di kelas sontak menoleh. Suara Bagas yang sangat familier dan menggelegar itu tidak bisa diabaikan begitu saja. Paling tidak, menoleh dan melihat batang hidungnya saja sudah cukup.

“Sudah makan?” Bagas memutar kursi, duduk tepat menghadap Lanka. Gadis itu meletakkan pena, menutup bukunya lantas meletakkan wajahnya di lipatan tangan di atas meja.

Bagas menghela napas, ikut melakukan hal yang serupa. Menatap hitam pekat helaian rambut Lanka.

“Lan.” Bagas kembali berusaha. Namun, jemarinya tak berani menyentuh Lanka. Dia tak lupa dengan apa yang tak Lanka sukai.

“Lanka ...” panggil Bagas mulai merengek.

“Lan. Kenapa, sih? Kejadian waktu itu? Sorry. Sampai rumah langsung gue suciin, kok. Suer.”

Lanka menghela napas, memutar kepalanya menghadap Bagas. Menyaksikan dengan jelas bagaimana pupil mata Bagas melebar, napasnya yang tertahan karena jarak mereka begitu dekat.

“Disuciin gimana?”

Bagas mengernyit, kemudian tersenyum cukup lebar.

“Gue kumur-kumur terus semalam suntuk. Gue scrub pakai punyaan kakak gue.”

“Oh, ya? Makanya kering.”

Tubuh Bagas mendadak tegang. Napasnya kembali tercekat di ujung paru. Jari Lanka yang menyentuh bibirnya walau sebentar menghilangkan sebagian besar akal sehat Bagas. Rasanya dia mau tenggelam di laut saja, detik ini juga.

“Kak Bagas habis ini kosong?”

“Hah?” Bagas mengembalikan akalnya. Berpikir cukup lama untuk mencari jawaban. “Oh, kosong, sih. Kalau guru-guru ngelayatnya lama.”

“Gue juga kosong. Pak Dian sakit.”

Bagas terdiam cukup lama. Awalnya pikirannya kosong karena menunggu Lanka bicara lagi, tapi beberapa saat kemudian dia menyadari sesuatu.

“Nongkrong di kantin mau?”

“Boleh.”

“Yes. Sekarang?”

“Maunya kapan?”

Bagas bangkit, beralih menumpu kepalanya dengan tangan kanan. Menatap Lanka yang ikutan bangkit bersandar di bangkunya. Raut wajah Lanka yang tak berekspresi sejak tadi menjadi resah paling janggal di dada Bagas.

“Ya udah. Sekarang aja.”

Lanka berdehem. Kemudian berdiri disusul Bagas di belakang. Dalam diam Lanka memperhatikan sekitar. Membaca satu persatu sorot mata orang-orang tentangnya. Bagaimana bisa Lanka yang disakiti tetap ada di dekat Bagas? Kira-kira simpelnya seperti itu. Atau sebentar lagi simpati orang-orang akan berkurang karena sudah jelas Lanka bersikap bodoh.

“Lanka bego, Bagas playboy."

Ya, baru saja dipikirkan.

“Gue tim nunggu surat pindah mereka aja, sih.”

“Gue bertaruh surat pengunduran diri.”

“Hesa bisa lebih dari itu. Mereka gak bakal keluar sebelum dua-duanya habis di tangannya.”

“Kok, jalannya di belakang, sih?” Lanka menggerutu. Mengalihkan seluruh atensi orang-orang yang barusan bergosip tentang nasibnya dan Bagas. Meski berbisik sekalipun, telinga Lanka sudah terbiasa peka dengan suara. Satu tahun bukan waktu yang sebentar.

Gadis itu menggandeng lengan Bagas, bersikap manja. Sukses membuat Bagas kelabakan dengan jantungnya.

“HUT tanggal lima, HUT tanggal lima. Sponsor siap. Berkas udah TTD. Banner jadi hari ini. Latihan upacara guru-guru pulang sekolah. Pak Dian pemimpin upcara. Bu Henny pembina upacara. Pak Raden pembawa Pancasila. Pak ... pak—ugh.”

“Kak Bagas mikir apa?”

“LHO! Pak Dian sakit?!”

Lanka tersentak kaget. Matanya membulat, menatap Bagas sambil menetralkan detak jantungnya.

“I-iya, Pak Dian sakit.”

“Bentar-bentar.”

Lanka melepas gandengannya. Memperhatikan Bagas yang sibuk meraba saku celana mencari ponsel. Buru-buru dia meneliti benda pipih itu, wajahnya seketika berubah panik.

“Gawat! Gue dicari Pak Imam!”

“Ya udah sana.”

“Ya-ya udah. Makannya istirahat kedua aja gimana? Gue ke ruangan Bapak dulu.”

Lanka mengangguk saja mengiyakan.

“Oke. Lo balik ke kelas aja. Lebih aman.”

Lanka mengangguk lagi sebagai jawaban. Dia menatap punggung Bagas yang semakin jauh. Hilang dari sorot matanya. Sialnya, Bagas meninggalkannya di tempat yang sangat strategis. Di mana antek-antek Hesa berkumpul.

Merepotkan.

Byur!

Ups, gue gak sengaja. Tangan gue licin.”

Gaby tersenyum penuh arti. Dia menatap kecewa gelas plastik yang tadinya berisi es jeruk kesukaannya kini ludes, dan masih belum cukup untuk menyiram kotoran di depannya.

“Kita emang gak tau masalah lo sama Hesa apa. Tapi, musuh Hesa musuh kita juga.”

Gaby mendekat, memasukkan sampah gelas plastik tadi di saku seragam Lanka.  Tatapan diikuti jari telunjuknya mendorong-dorong kening Lanka. Menikmati tatapan kaku yang cewek itu lontarkan padanya. Kaku ketakutan.

“Gak ada Hesa, buka berarti lo bisa bebas gatel ke Kak Bagas. Ngerti?”

“Gue punya gunting, nih. Dan ... gue butuh kain buat prakarya.”

“Lo—“

“Diam kalau lo gak mau gue tusuk!”

Lanka mendengkus geli berharap mendapat sedikit rasa tenang. Jantungnya berdetak tak karuan, ingatannya berputar. Jemarinya yang waktu itu menemukan seragam milik Lim digunting tak berbentuk di belakang pintu kamarnya. Pola permainan Hesa tidak berubah, kini dilanjutkan oleh sekumpulan orang yang mengaku temannya.

Uuuh. Seksi banget. Kalau gini, kan, gatel maksimal.”

Mereka semua tertawa puas.

“Kainnya jelek. Gak jadi, deh.”

Lanka terpejam. Kain rok seragamnya yang digunting nyaris ke pangkal paha dilemparkan kembali padanya begitu saja. Lanka menghela napas pelan, melepas sekalian roknya. Menyisakan celana pendek yang dia gunakan. Tak lupa memungut potongannya lantas pergi menuju koperasi.

Astagfirullah. Kamu kenapa, Dek?”

“Lanka mau beli rok sama seragam batiknya, Bu. Ukuran M.”

“Iya sebentar Ibu carikan. Kamu ... punya masalah sama dia?”

“Dia? Hesa?”

Ibu Koperasi menatap Lanka ragu-ragu. Dia mengangguk samar, kemudian kembali sibuk mencarikan seragam untuk Lanka.

“Ini, Dek.”

“Makasih, Bu.”

“Tutup aja pintunya, ganti di sini.”

Lanka tersenyum manis. Berterima kasih.

EvlankaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang