BAB 12 || Percaya yang mana?

47 10 0
                                    

Halo apa kabar?

Met baca😘

⚪  E v l a n k a ⚪


Lanka sedang asyik menggulirkan layar ponselnya. Bolak-balik dari aplikasi satu ke aplikasi lainnya. Banyak hal baru, tapi rasanya sangat membosankan. Dia menghela napas panjang, kemudian memilih membuka grup angkatan yang sedang ramai mendiskusikan penampilan spesial untuk HUT mendatang. Di samping itu, ada kabar burung yang menutupi diskusi panjang mereka.

Hesa sama Kak Bagas jadian!

Serius? Gila, sih! Bukannya waktu itu ditolak?

Akhirnya ada sesuatu yang menarik. Lanka menarik sudut bibir, tersenyum puas ketika dia berhasil menaruh ekspektasi rendah, tapi mendapatkan hasil yang memuaskan. Hesa bertindak lebih cepat dibanding perkiraan awal. Namun, bukan hal yang mengejutkan.

Lanka meletakkan ponselnya, mengambil kompres es di sebelahnya lalu menempelkan di lengan. Dia memejamkan mata sejenak sampai suara motor Fendy terdengar dari luar. Gadis itu terbangun, melirik jam yang menunjukkan pukul sebelas malam.

Sudahlah. Sudah terlanjur.

Fendy turun dari motor. Berlari kecil menuju pintu lalu menghela napas pelan. Perlahan tangannya terulur membuka kunci pintu, berharap Lanka tidak menyadari kedatangannya.

“Lampunya belum dimatikan.” Fendy bergumam, baru sadar ada cahaya dari dalam rumah. Perlahan pintunya dia buka, sedikit terkejut melihat Lanka tidur di sofa dengan kompres di lengan. Hampir seluruh lampu ruangan masih menyala, TV di ruang tengah pun demikian.

Fendy mendekat, sedikit panik. Namun, dia malah bimbang antara membangunkan Lanka atau tidak.

Dengan perlahan jemarinya menyentuh dahi Lanka, berganti dengan punggung tangan. Rasanya hangat. Tidak mungkin dia demam sehabis disiram Hesa tadi, kan? Matanya dengan cepat beralih, mengambil kompres yang Lanka pegangi di lengan kanan. Ada memar di sana.

Fendy menghela napas gusar. Dia berdiri, berjalan masuk ke dalam untuk membuka pintu kamar Lanka. Lantas dia kembali, dengan sangat hati-hati menggendong Lanka menuju kamarnya. Jangan sampai Lanka terbangun. Jangan sampai.

“Kenapa malah di sofa, sih?” Fendy berdecak kesal. Dia beranjak, membereskan kompres lantas mengganti es yang sudah mencair.

“Dia gak mungkin nungguin gue pulang, kan?”

Fendy memulai kembali spekulasinya. Dia tak habis pikir jika Lanka benar-benar melakukannya. Kalau saja Fendy tidak pulang malam ini, yang rugi ya dia sendiri. Tidur di sofa sama sekali bukan cara yang baik untuk istirahat. Yang ada tubuhnya semakin merasa tidak enak.

Kalau Lanka tidak istirahat dengan benar, kemudian sakitnya semakin parah. Bagaimana Fendy harus menjelaskan pada orang tuanya?

Di balik gusarnya Fendy. Dengan matanya yang terpejam, Lanka sibuk menimbang-nimbang. Haruskah dia bangun atau malah benar-benar tertidur saja? Kalau saja memilih bangun, dia harus membuat alibi dan setidaknya berbohong pada Fendy. Jika benar-benar tertidur, dia akan membuat Fendy bertanya-tanya hingga besok.

“Gue denger dari Bagas lo habis disiram sama Hesa.”

Kening Lanka mengernyit karena kaget. Barusan Fendy sengaja mengajaknya bicara atau sekadar ngedumel sendiri? Sepertinya Lanka sudah ketahuan.

“Lo tadi pulang ke mana? Bagas gak nyinggung tinggal serumah atau apa-apa yang bersangkutan. Itu artinya lo gak pulang ke rumah, kan? Tetangga yang mana?”

Fendy melirik wajah Lanka ketika gadis itu melenguh dan mengernyitkan dahi. Fendy menghela napas, mengusap puncak kepala Lanka pelan.

“Terus, ini memar apa, Lan? Gara-gara Hesa?”

Lanka membuka matanya perlahan. Mengintip takut-takut lalu menyengir.

“Kak Fendy kapan pulang?” tanya Lanka sambil beranjak duduk perlahan. Dia menatap Fendy dengan tatapan bingung. Kemudian memberikan ekspresi kenapa dia bisa sampai di sini.

Fendy menghela napas. Dia meletakkan kompres kembali ke tempatnya. Menatap adiknya lekat-lekat.

“Lo gak papa ditinggal sendirian di rumah karena lo emang berani, atau lo takut gue tahu apa yang lo alami?”

Lanka menelan ludah. Menundukkan kepalanya dalam-dalam. Merasakan sensasi panas menjalar ke seluruh wajah. Mencairkan air mata hingga luruh tanpa bisa dicegah.

Sosok Lanka yang Fendy kenal akan selalu menangis ketika kelemahannya diketahui. Seakan selotip yang merekatkannya kehilangan fungsi.

“Cerita, Lan. Sekarang lo punya gue. Kakak lo.” Fendy berujar sungguh-sungguh. Dia berusaha menatap mata Lanka, tapi gadis itu terus menghindarinya.

Lanka percaya Fendy berkata jujur, tapi sudah berulang kali pula Fendy gagal memenuhi ucapannya. Sikap dan perasaan Fendy mudah goyah, terombang-ambing membuat Lanka agak kewalahan.

“Kak Fendy gak benci aku?”

Sebelah alis Fendy terangkat, tidak mengerti. “Kenapa gue benci lo?”

“Hesa ...” cicit Lanka ragu. Suaranya bergetar. “Dia sudah cerita sama Kak Fendy. Berita di internet ...”

Fendy menatap remasan tangan Lanka pedih. Ada sesuatu yang terasa nyeri di dalam lubuk hatinya. Mengenai hal tersebut, Fendy belum bisa memutuskan. Tangannya bergerak ragu, dia teringat cerita Bagas. Lanka tidak suka sentuhan fisik yang berlebihan.

Fendy menggenggam tangan Lanka, tak membiarkan gadis itu melukai tangannya. Remasannya sudah kelewat kuat, bisa-bisa membuat kulitnya mengelupas dan perih.

“Gue gak dengar apa pun dari Hesa. Gue gak percaya sekalipun dia banyak bicara.”

Mata coklat milik Lanka bergerak lirih, memberanikan diri memusatkan atensinya kembali pada Fendy. Memperhatikan setiap inci wajahnya, menganalisis ekspresi yang dia perlihatkan.

“Masalah berita itu. Benar atau salah?”

Lanka tak berani menjawab. Diam saja seperti orang bisu.

“Mau dengar apa yang gue pikirin tentang berita itu?”

Lanka kembali menatap kakaknya.

“Semua hal di media sosial bisa direkayasa. Berita itu kembali dipublikasikan dengan isi yang berbeda, kan? Jadi gue belum bisa memutuskan untuk percaya yang mana. Karena gue belum dengar langsung dari lo. Belum dengar dari kedua sisi.”

Sebelum pulang, Fendy sempat berpikir untuk bertanya pada Lesa maupun Angga. Namun, niat itu dia urungkan. Pasalnya, keduanya baru saja berlibur dan Fendy hendak menanyakan hal sensitif, tentu akan mengganggu. Fendy tak ingin pula menyita waktu berharga mamanya dengan memberi pikiran buruk karena pertanyaannya.

Lanka mengangguk kaku, jawaban yang di luar perkiraan Fendy. Dia sudah mulai percaya jika berita terbaru itu bohong. Tapi apa yang dia dapat? Lanka mengangguk.

“Lo diancam Hesa?” Fendy mendadak sangat tidak percaya. Dia mulai menaruh curiga seutuhnya pada Hesa. Dilihat dari gerak-geriknya, Lanka tak akan menjawab.

“Jadi, tadi turun di mana waktu Bagas antar pulang?”

“Di seberang.”

“Terus?”

“Lanka suruh pulang duluan. Waktu Kak Bagas gak kelihatan baru Lanka nyeberang.”

“Lo ngaku jadi tetangga gue?”

Lanka menggeleng. “Kak Bagas yang nebak sendiri. Lanka cuma senyum. Lanka gak niat bohong.” Diakhiri dengan cicitan takut.

Fendy menghela napas. Menarik lepas genggamannya, memilih menyandarkan punggungnya di kursi sembari memijit ringan keningnya.

“Lo suka Bagas?”

Lanka mengangguk.

“Suka dalam artian mau jadi pacarnya?”

“Gak boleh, ya? Lanka pernah dengar kalau Kak Bagas itu buaya. Sering ganti-ganti cewek.”

“Bu-bukan gitu—“

“Kak Fendy gak mau Lanka disakiti sama Kak Bagas? Kalau Kak Fendy gak setuju, gak papa. Lanka gak suka lagi sama Kak Bagas.”

Fendy membuang napas berat.

“Boleh. Tapi, lo harus pastiin gak ada yang salah dari Bagas.”

Kedua sudut bibir Lanka terangkat perlahan, dia mulai tersenyum lantas mengangguk antusias. Bisa Fendy simpulkan gadis ini benar-benar menyukai Bagas. Namun, beberapa detik kemudian dia kembali merengut sedih.

“Tapi ...”

“Tapi apa?”

“Kak Bagas jadian sama Hesa.”

“Hah?” Fendy kehilangan kerja otaknya sesaat. Mencerna informasi itu lebih lambat dari yang seharusnya. Baru saja tadi laki-laki itu menggebu-gebu ingin menaklukkan Lanka, kenapa tiba-tiba jadian dengan Hesa?

“Itu alasannya.”

“Alasan?” Fendy semakin bingung dibuatnya.

Lanka mengangguk kecil. “Kalau Hesa tahu Lanka adik angkat Kak Fen, Hesa bakal gangguin Kak Fendy. Lanka ... Lanka gak mau kehilangan kakak lagi. Gara-gara Lanka.”

Fendy tertegun. Tidak tahu kalau pikiran Lanka sudah sampai sejauh itu.

“Lanka gak mau Kak Fendy mati gara-gara ngelindungi Lanka.”

Fendy beranjak, dia merengkuh tubuh yang sudah sesenggukan itu dalam dekapannya. Menepuk-nepuk pelan punggung Lanka, berharap perasaannya segera membaik. Ini sudah larut, dia tidak ingin Lanka terbangun dengan keadaan mata sembab.

“Gue gak akan mati di tangan Hesa ...”

Fendy menghela napas pelan, tersenyum tipis menatap Lanka.

“Makasih sudah sangat peduli ...

“Maaf ... gue malah jadi salah satu ketakutan di dalam hidup lo.”

EvlankaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang