Halo apa kabar?
Siapa yang bakal beli cheers stick?
Hihi, semoga banyak duit supaya bisa beli.
Selamat baca 💜
2k+
⚪ E v l a n k a ⚪
Seperti peraturan tak tertulis yang sangat populer. Siapa pun yang menyakiti Hesa akan diberi surat peringatan. Bahkan teruntuk Pian, Fendy hingga Pak Dian yang tidak tahu apa-apa perihal apa yang Bagas lakukan. Puncak komedinya adalah ketika Lanka ikutan diskors menyusul Bagas. Bagas yang diancam tidak akan lulus tahun ini dan seketika turun jabatan dari ketua OSIS serta keluar dari keanggotaan.
Tak perlu menunggu lama, hari itu juga Bu Henny selesai membereskannya.
Hari ini Lanka berdiam diri di panti asuhan untuk meninjau perkembangan rencananya. Yang jelas, Aira sedang melancarkan aksinya. Lanka harap dia pulang dengan membawa kabar duka dari lawan.
Gadis itu juga sedang menunggu kedatangan Bagas. Dia memaksa untuk bertemu, jadi biarkan saja Bagas kemari dengan membawa makanan untuk anak-anak. Keterlaluan jika Bagas datang dengan tangan kosong.
“Lanka.”
Lanka menoleh. Dia hendak berdiri untuk membuka gerbang, tapi Bunda terlebih dahulu bergerak.
“Bagas, ya?”
“Iya, Tan.”
“Tan?” ulang Bunda kebingungan.
“Tante.”
Bunda mendengkus. “Panggil Bunda. Gak ada tante-tantean.” Disertai gelengen.
Kini Bagas yang kebingungan, dia menatap Lanka. Hanya senyuman yang dia dapatkan, mau tidak mau Bagas kembali menatap Bunda dan memenuhi keinginannya.
“Anak pintar. Makasih, ya, buah tangannya.” Bunda memuji sambil merebut keresek di tangan Bagas. Dia melihat ada empat kotak donat di sana.
“Silakan duduk.”
Lanka mendengkus geli. Memang Bunda selalu seperti itu. Tangannya melambai kecil, meminta Bagas duduk di sebelahnya.
Bagas bersikeras bertemu Lanka karena ingin meminta pembelaan di hadapan keluarga besar. Karena masalah diskors, Bagas harus berhadapan dengan cercaan keluarganya seharian. Namun, tidak ada yang percaya padanya meski tak ada kesaksiannya yang berubah.
“Lan, gue mau minta tolong.”
“Dengan senang hati. Apa?”
“Jadi saksi.”
Lanka mengerjap.
“Di rumah gak ada yang percaya cerita gue. Gue hampir diusir.”
Lanka terkekeh geli. “Untung gak diusir.”
Bagas bingung kenapa Lanka tertawa, tapi dia sama sekali tak berniat untuk protes. Melihat Lanka baik-baik saja sudah membuat Bagas merasa lebih tenang. Walau bukan salahnya, tapi namanya terlanjur terseret di masalah itu dan meninggalkan rasa bersalah di hatinya.
“Gue siap-siap dulu kalau gitu. Tunggu sebentar.”
Mata Bagas tak bisa lepas dari Lanka. Gerak-geriknya terlihat sangat memilukan. Memar-memar ditubuhnya dia sembunyikan dengan baik. Namun, Bagas tidak bisa menyembunyikan bayangan perih tentang hari itu dari kepalanya.
Ketika menemukan Lanka dalam kondisi yang mengenaskan. Dia terlambat. Untungnya Bagas sendiri yang mengecek meteran listrik di sekitar gudang dan melihat Pian panik membuka gudang.
“Yuk!”
“Lo gak papa naik motor?” tanya Bagas ragu. Pasalnya dia takut Lanka merasa tidak nyaman karena tak bisa bersandar seperti duduk di kursi mobil.
“Gak papa. Memangnya kenapa?” tanya Lanka bingung. Dia melihat motor Bagas, dia juga membawa motor matic, bukan motor gede yang saat duduk saja tidak nyaman.
“Badan lo ... bukannya sakit semua?”
Lanka menaikkan alis lalu tersenyum. Dia mendekat, meraih tangan Bagas untuk mengajaknya segera pergi.
Entah kenapa, Lanka juga tidak mengerti. Rasa sakit, ketika ditekan akan jadi lebih sakit. Namun, perasaannya jadi terasa mendingan ketimbang dia biarkan saja.
Tak butuh waktu lama Lanka dibawa ke sebuah rumah di dalam kompleks sederhana. Tidak terlalu kecil, juga tidak terlalu besar. Ada halaman yang cukup luas, dihiasi dengan bunga-bunga yang terawat.
“Pelan-pelan turunnya.” Bagas memberikan tangannya sebagai pegangan. Sangat takut Lanka terjatuh ketika turun.
“Makasih.”
Bagas mengangguk kecil. Dia melepas helm sambil berjalan memasuki rumah. Di ruang tamu ada keponakannya yang sedang berkeliling menggunakan alat bantu jalannya.
Pria kecil itu langsung tertawa dan mengangkat tangannya minta digendong Bagas. Tak lupa dengan kedua mata bulatnya menatap Lanka intens karena baru pertama kali bertemu.
“Assalamualaikum. Ma, Bagas pulang.”
“Kamu itu ya Mama cariin, enak aja main kabur-kabur—“
“Halo, Tante.”
“Eh—Lanka, bukan? Iih, gadis cantik. Silakan masuk, duduk.”
Lanka tersenyum lebar. Padahal kelihatannya Bagas akan langsung dimarahi, tapi tidak jadi. Lanka duduk di sofa seperti permintaan Erna. Disusul Bagas di sebelahnya sedang Erna duduk di seberang. Wanita itu menatap Lanka seolah sudah akrab.
“Apa kabar, Tante?” tanya Lanka memulai basa-basi. Dia pikir Erna adalah tipe ibu-ibu seperti Bunda. Kenyataannya memang seperti itu di depan Bagas, tapi di depannya beliau jauh lebih baik dari perkiraan.
“Alhamdulillah. Baik. Kamu gimana?”
“Lumayan.”
“Lho, kenapa lumayan?”
“Itu—eh?” Lanka menoleh ketika bajunya ditarik dari samping. Ternyata keponakan Bagas sedang menarik perhatiannya, mengulurkan tangan minta digendong sambil mencoba bicara dengan bahasanya sendiri. Memelas dengan sangat curang, memanfaatkan wajah menggemaskannya.
“Gak usah, Lan. Berat.” Bagas mencoba melarang, menghalangi keponakannya agar berhenti meminta.
“Gak papa. Gue suka anak-anak, kok. Makanya gue sering ke panti.”
“Tapi—“ Bagas khawatir memar-memar di tubuh Lanka bereaksi karena menggendong keponakannya.
“I’m ok.”
Erna tersenyum kecil, berdehem untuk merelai keduanya. Dilihat-lihat bukan hanya Erna yang terpesona, cucunya juga.
“Maaf sebelumnya, Tan. Lanka mau bantu bicara tentang masalah skros Kak Bagas. Karena saya juga diberikan hukuman yang sama.”
“Lho? Bagas bilang kamu korbannya. Kok, ikut kena skros juga?” Erna kebingungan.
Sebenarnya hal ini yang membuat Erna tidak percaya pada Bagas. Mana mungkin ada kejadian sekonyol itu di mana keadilan sama sekali tidak turut andil dalam mengambil keputusan. Lebih tidak masuk akalnya lagi, ini terjadi pada remaja yang harusnya fokus menuntut ilmu saja. Dan di lingkungan sekolah yang katanya mau mencerdaskan kehidupan bangsa.
Lanka tersenyum maklum. Tentu saja, siapa yang akan percaya dengan omongan yang mudah dibumbui. Maka dari itu Lanka membawakan bukti. Bukti yang sengaja disiapkan untuk kejadian seperti ini.
“Tante boleh lihat ini. Semoga menjawab.”
Lanka menyodorkan ponselnya. Sebuah rekaman CCTV tentang kejadian kemarin siap diputar.
“Itu apa, Lan?” tanya Bagas berbisik.
“Rekaman CCTV.”
“Hah?”
“Di gudang ada CCTV, Kak Bagas ...”
Bagas gelagapan dengan jantungnya. Dipanggil dengan suara begitu lembut dan tatapan tulus buat Bagas serasa diserang brutal. Sepertinya dia harus terbiasa dengan serangan-serangan mendadak itu.
Tapi tunggu dulu ... dua tahun sekolah Bagas tidak pernah tahu ada CCTV di sekolah. Sekalipun ada rupanya, benda-benda itu tidak pernah berfungsi dan kadang tinggal kabelnya saja. Apa ini ... bagian dari rencana Lanka?
Lanka sudah memikirkannya dengan matang dan mempersiapkannya. Karena tahu, tanpa bukti rekaman dia tidak akan pernah menang.
“Astagfirullah.” Erna mengembalikan ponsel Lanka merasa ngilu. Tidak sanggup melihat kejamnya kelakuan cewek berambut pendek di dalam video terhadap Lanka. Bisa-bisanya ada seseorang sekejam itu. “Sekarang gimana keadaan kamu? Sini-sini, Rian berat.”
“Kan, sudah Bagas bilang.” Bagas menggerutu kesal. Namun, untunglah mamanya peka dan langsung mengambil alih Rian dari gendongan Lanka. Bagas jadi penasaran isi videonya.
“Gak papa, Tan. Bukan sekali dua kali Hesa bertindak begitu. Lanka udah terbiasa.”
“Lapor polisi! Jangan mau terbiasa! Udah ada, kan, buktinya. Tunggu apa lagi?.”
Lanka menggeleng kecil. “Selama omnya Hesa masih memegang jabatan tinggi di kepolisian. Kasus ini gak akan diproses dengan baik. Yang ada malah penghilangan bukti. Justru saya yang akan jadi tersangka. Seperti kasus kakak saya.”
Erna menganga, sungguh tercengang.
Bagas melirik ke bawah. Lanka meremas jari-jemarinya cukup kuat. Padahal luka-luka ditangannya belum sembuh dengan sempurna.
“Lan, tangan ...” Bagas menggenggam tangan Lanka. Berharap gadis itu lebih tenang, tapi sama saja. Kini malah tangannya yang diremas. Luka itu ... Bagas jadi tahu sebesar apa masalahnya sampai kondisi Lanka jadi seperti ini ketika mengingatnya.
Bagas dengar dari Rindi sedikit tentang kasus Lim yang belum selesai. Bagas bisa paham kenapa berbahaya bagi Lanka untuk melaporkan Hesa, sebab Lanka masih diisukan sebagai tersangka.
“Ya sudah. Kalau masalah jabatan Tante mau gak mau harus terima kenyataan. Tante ambilkan minum, ya. Tunggu sebentar.”
Bukan Erna tidak peduli. Melihat Bagas meraih tangan Lanka, dia tahu gadis itu bersusah payah menceritakannya. Erna percaya sekarang, dia tidak akan memaksa Lanka bercerita lebih lanjut, juga tidak akan memarahi Bagas lagi. Mungkin selanjutnya dia hanya akan merekomendasikan Lanka untuk pindah sekolah bersama putranya.
Bagas menoleh setelah memperhatikan kepergian mamanya ke dapur. Tangan kanannya, menyentuh pipi Lanka, mengusapnya lembut, berharap gadis itu segera tenang.
“Gak papa. Ada gue.”
Lanka mengatur napas susah payah. Dia tidak ingin menangis. Namun, pertahanannya runtuh juga, gagal karena Bagas. Sentuhan lembutnya mengisyaratkan pada Lanka untuk menumpahkan semuanya. Bagas memperlakukannya seperti Lim memperlakukannya.
Seakan semuanya benar-benar akan baik-baik saja selama ada Bagas.
Bagas menghela napas. Mengusap punggung Lanka di dalam pelukannya. Dia jago terlihat kuat, tapi terlalu berat untuk menyembunyikannya. Dia jago membuat rencana, tapi dia tetaplah seorang anak perempuan yang seharusnya bisa bahagia. Tanpa bayang-bayang balas dendam. Tanpa bayang-bayang masa lalu kelam.
Erna meletakkan nampan minuman di meja. Kemudian kembali masuk ke dalam membiarkan Bagas menenangkan Lanka.
“Kak ...”
“Hem?”
“Maaf.”
“Kenapa minta maaf?”
“Gara-gara Lanka.”
Bagas menghela napas. Mengusap kepala Lanka lebih lembut sambil menggeleng di bahu gadis itu. Dia menenggelamkan kepalanya di sana.
“Bukan salah lo. Salah Hesa.”
“Tapi, kalau Lanka gak ada—“
“Ssst. Kalau lo gak ada, gue gak bisa ngerti arti jatuh cinta itu gimana.”
Lanka terdiam kali ini. Tubuhnya dipeluk semakin erat, seakan Bagas takut Lanka kembali pergi dan terluka.
“Gue mau lo minta maaf tentang satu hal.”
“Apa?”
“Fendy. Gue cemburu.”
“Maaf ...”
“Makasih.”
“Assalam—eh astagfirullah BAGAS MESUM!?”⚪ E v l a n k a ⚪
Lanka kembali ke panti asuhan setelah makan siang di rumah Bagas. Kakak perempuan Bagas membuat satu pengalaman heboh dan lucu di sana. Wanita itu langsung memarahi Bagas karena memeluk Lanka. Saat itu juga Lanka melihat Bagas menciut di depan kakaknya dan akhirnya bisa tertawa.
Erna juga menawarkan sekolah baru untuk mereka berdua. Dia tidak masalah jika Bagas tidak bisa lulus tahun ini. Dia hanya ingin putranya sekolah dengan perasaan tenang dan baik-baik saja. Begitu pula dengan Lanka.
Karena mau bagaimana pun, Erna paham bahwa keselamatan mental mereka lebih berharga dari apa pun di dunia ini.
Ada satu hal menarik, pemikiran Bagas dan Lanka yang nyaris serupa. Serempak menolak dengan alasan akan ada korban lainnya. Melarikan diri sama saja melemparkan masalahnya pada orang lain. Karena yang seharusnya pergi dan introspeksi diri adalah pelaku.
Perdebatan itu tentu sulit diterima oleh Erna dengan segala macam pemikiran yang seharusnya ampuh jika dilakukan. Namun, pada akhirnya mengerti. Erna juga akan berusaha mencari koneksi yang lebih kuat di kepolisian agar kasus mereka bisa ditangani dengan profesional tidak peduli siapa pelakunya.
Oknum sampah seperti itu selalu sukses mencemarkan nama baik suatu instansi yang seharusnya terpercaya.
“Masuk rumah sakit. Meninggal.”
Lanka mendongak, diam sebentar.
“Rest in peace.”
“Semoga. Dengar kabar begitu langsung serangan jantung, berarti dia orang baik gak, sih?” Aira merebahkan tubuhnya di kasur. Kelelahan karena sepanjang jalan malah merasa bersalah sudah menyakiti orang baik.
Lanka mengangguk. Keluarga Hesa yang keterlaluan. “Padahal rencana kita gak sampai sesadis itu, Ai. Gue jadi ngerasa bersalah.”
“Ya gimana? Gue juga gak maksud buat dia serangan jantung.”
“Ya, seenggaknya kita bisa masukkan laporan dengan sedikit aman kali ini.”
“Kalau dia menghantui gue. Fix. Dia bukan orang baik.”
Baiklah. Lanka sudah mendapatkan kabar duka, tinggal melangsungkan rencana selanjutnya. Merasa bersalah karena ucapan belasungkawa yang dia ucapkan kepada Hesa dikabulkan dengan cara ini.
“Kalau kata orang sih beliau udah diguna-guna sampai nurut dan percaya gitu aja ke Bu Henny. Padahal banyak banget cela buat dia tahu faktanya. Gue aja sampai heran pas tau-tau dibawa ke rumah sakit.”
Ya, masuk akal dari sisi mistis. Namun, jika memang Bu Henny bisa melakukannya, seharusnya langsung saja ke target utamanya. Kenapa repot-repot membuat tameng lebih dulu.
“Apa penjaga gue lebih kuat sampai beliau akhirnya percaya—“
“Gue balik ke rumah Fendy.”
Aira menatap Lanka. “Gue antar?”
Lanka menggeleng. “Gue pesan taksi.”
“Oke. Hati-hati.”
Lanka memperhatikan ponselnya selama perjalanan. Ada sebuah akun anonim mengirimkan pesan. Dia menyapa tanpa memperkenalkan diri. Lalu mengatakan kalau Lanka akan segera mengenalinya. Dia mengirimkan beberapa foto dan rekaman saat Lanka memancing Hesa ke gudang.
Lanka tidak punya petunjuk untuk coba menebak. Kemungkinan besar dia adalah orang yang sama yang menyebarkan rekaman Lanka saat diganggu teman Hesa tempo hari. Lanka masih belum bisa menebak orang ini ada di pihak siapa.
Selain itu hanya ada rentetan pesan masuk dari Fendy yang mengkhawatirkannya. Lanka menjawab seadanya. Begitu sampai di rumah, Lanka langsung merebahkan tubuhnya.
Kejadian demi kejadian berputar ulang di dalam kepala. Rasanya seperti lelucon yang bahkan anak kecil sendiri tidak akan percaya.
Hesa dan segala kemustahilan yang dia buat. Lanka dengan segala kepalsuan sandiwaranya.
Sebentar lagi Fendy akan pulang. Lanka juga akan membicarakan beberapa hal dengannya. Kemarin Fendy memintanya untuk istirahat total, jadi mereka tak bicara yang aneh-aneh selain basa-basi yang membosankan.⚪ E v l a n k a ⚪
Terima kasih sudah membaca 💜
See u!
9 Agust 23
- Princboo -
KAMU SEDANG MEMBACA
Evlanka
Teen Fiction| Fenly UN1TY | ⚪ E v l a n k a ⚪ "Lan, lo mau pakai mata gue?" "Lo cuman anak buangan yang beruntung ketemu Lim!" "Gue sayang lo, Lan. Kita semua sayang lo." "GUE BENCI LO, LAN!" "Lan ... maaf ... gue telat." "Sampai mati gue benci sama lo!" "Samp...