Dream or Real?

15 3 0
                                    

Suara gemuruh terdengar berisik di luar rumah, begitu juga gemercik air yang terdengar sangat deras di pagi hari. Kaca menatap langit yang berwarna abu-abu dari jendela ruang makan, tangannya melambai-lambai menyentuh air yang turun dengan derasnya dari genteng.

Pakaiannya sudah rapi, lengkap dengan sebuah ransel yang kini sudah terpasang di pundaknya. Sebenarnya tak banyak yang dibawa oleh seorang Kaca di dalam ranselnya, hanya beberapa buku pelajaran, sepaket pensil warna, beberapa kertas gambar, dan tak lupa sebuah surat untuk Kayu yang tak pernah ketinggalan.

"Hari ini Ayah bisa antar Kaca?"

Perempuan itu berbicara pada laki-laki yang sedang meminum kopinya sembari meniup pelan permukaan yang terasa panas.

"Bisa sayang, kamu mau Ayah antar ke mana? Jungle, Mars, Yupiter, Saturnus, Uranus, Neptunus?"

"Ayah mau antar, atau mau buang Kaca? Jauh banget, huh!"

"Sekalian sih sayang, biar di rumah gak ada yang berisik lagi."

"Ayah! Kaca ngambek nih." Perempuan itu menyilangkan kedua tangannya dengan memasang raut wajah cemberut, hingga lelaki paruh baya itu hanya tertawa menatap pada sang anak.

"Sudah-sudah, kebiasaan deh pagi-pagi bikin keributan sama anak sendiri. Ayo buruan berangkat nanti Kaca telat Yah," sahut Dini sembari membawakan tas kantor milik Bara.

"Berangkat Bunda ... Bilang sama bang Langit, jangan jemput Adek di sekolah dadakan ya Bun," pintanya pada sang bunda. Dirinya bukan tak ingin dijemput oleh sang kakak, hanya saja jika Langit dadakan menjemputnya, Kaca takut kakaknya itu bertemu dengan Kayu. Dia tak ingin lelaki satu itu membicarakan hal aneh tentang dirinya pada Kayu.

Kaca bersalaman pada Dini dan mengecup pipinya singkat, hingga sebuah senyum mengembang dari sudut bibir perempuan yang masih tampak begitu awet muda.

Matanya menatap sekeliling jalanan yang tidak terlalu jelas di pandang. Hujan lebat itu benar-benar menghalangi pandangan seorang perempuan yang selalu menikmati setiap hujan yang turun menyapa bumi. Kaca begitu menyukai hujan, bahkan setiap tetes air yang turun mengguyur dengan derasnya. Dia tidak suka sendirian namun meminta ketenangan, dia tidak suka kegelapan, tapi menyukai langit malam. Kaca itu perempuan unik dengan begitu banyak kejutan di hidupnya.

"Turunkan Adek depan gerbang sekolah aja Yah ...," ujar perempuan yang tengah siap dengan payung pelangi di tangannya.

"Yakin? Tidak mau Ayah antar sampai ke dalam?"

"Tidak perlu Yah, nanti Ayah malah tebar pesona sama temen-temen Kaca."

"Heh anak Ayah, ngomongnya suka sembarangan ya."

"Hehe, maafin Kaca." Deretan giginya tampak dengan sudut bibir yang ditarik membentuk lengkungan. "Kaca pamit ya, Ayah hati-hati di jalan. Jangan ngebut kek paman Rossi!"

"Iya sayang iya, hati-hati ntar payung kamu ke balik, haha." Tawa Bara pecah beriring tangannya yang mengacak gemas rambut sang anak.

Perempuan dengan rambutnya yang masih berantakan itu turun dari mobil sang ayah dengan telanjang kaki. Sepasang sepatu putih yang mulanya terpasang rapi, kini tergantung di leher dengan tangan kanannya yang memegang payung, serta tangan kirinya yang memegang roknya agar tak terbang.

Dia berjalan dengan pelan menuju kelasnya sembari sesekali memainkan air yang menggenang di halaman sekolah. Penampilan Kaca kali ini benar-benar berantakan, padahal tadinya dari rumah dia berangkat dengan begitu rapi.

Bukhhh!

Gemercik air berembus ke arah seorang perempuan yang kini tengah mengunyah permen karet. Dirinya terkaget karena hal itu sedikit membasahi seragam putih abu-abunya. Payung yang mulanya dipakainya seorang diri, kini harus berbagi dengan laki-laki yang tiba-tiba saja muncul di sampingnya.

Kaca terkaget pada sosok yang tanpa permisi datang dan berada di sampingnya. Dirinya mengamati dengan seksama seseorang dengan tatapan tajam, hidung mancung, alis hitam tebal, serta rambutnya yang sedikit basah.

"Ka-Kayu?" ucap Kaca sedikit gagap dengan langkah kakinya yang terhenti seketika.

"Hemm?"

Kayu hanya berdehem, tapi itu sontak membuat Kaca tambah bingung. Pakaian dan rambutnya yang sedikit basah itu membuat jantung Kaca ketar ketir tak karuan. Lalu bagaimana dengan posisi Kayu sekarang? Dirinya menatap dengan begitu dekat, bahkan hembusan nafas Kayu dapat dirasakannya meskipun pelan. Hati Kaca benar-benar tak karuan saat Kayu menatapnya dengan begitu dekat.

"Bisa lebih tinggi?" ucapnya singkat, tapi itu membuat otak lemot Kaca lebih dulu berfungsi daripada otak cepatnya.

"Hah?" Mulutnya menganga dengan matanya yang menatap bingung pada Kayu.

Kayu mengambil alih payung itu dari tangan Kaca dan merangkulnya dalam dekapan. "Tinggikan begini, kepalaku sangkut," sahutnya dengan wajah datarnya dan mengajak Kaca untuk melangkahkan kaki.

Jangan tanyakan bagaimana kondisi Kaca sekarang, dirinya sedang berkamuflase menjadi batu, karena saking terkejutnya dengan tingkah laku Kayu hari ini.

Dua orang manusia dengan sifat yang bertolak belakang itu tengah berjalan di bawah payung yang sama, tetapi dengan hati yang berbeda. Benar-benar terasa seperti mimpi bagi Kaca, tapi faktanya semua yang di alaminya itu adalah kenyataan, real bukan mimpi. Pada akhirnya seseorang yang selalu dikejarnya dan menjaga jarak itu, kini tengah berjalan   sembari merangkulnya. Katanya agar si Kaca tak kebasahan.

"Kayu," panggil Kaca pada laki-laki yang kini sudah terlepas dari payungnya dan ingin pergi menuju kelasnya. Kayu menoleh sebentar pada perempuan yang menatapnya dengan penuh senyuman.

"Terima kasih," ucapnya singkat dan melesat pergi menuju kelasnya. Meninggalkan Kayu yang terdiam di ambang pintu dengan wajah datarnya.

Kaca menahan senyumnya sembari berjalan mendekat pada Anggi. Sedang sang sahabat itu menatap bingung pada Kaca, bagaimana tidak? dari awal masuk kelas dirinya senyum-senyum tidak jelas seperti orang gila. Anggi sudah bisa menebak bahwa seorang Kaca terlihat senang, karena terjadi sesuatu terhadap dirinya dan Kayu.

Perempuan itu menaruh ranselnya perlahan di atas meja, senyumnya tak henti mengembang dengan tatapannya  yang tak teralih pada Anggi.

"Wahhh lihatlah wajahnya yang sedang berseri-seri ini. Aku yakin pasti ada sesuatu yang terjadi antara kamu dan kayu, iya kan?" Tebak Anggi tepat sasaran.

"Gila Nggi, gila! Kamu tahu apa yang terjadi antara aku dan Kayu?" ucapnya sedikit menggebu-gebu dan penuh semangat.

"Kalian jadian? Ahh aku yakin, jawabannya pasti tidak mungkin," ucap Anggi sedikit menohok pada Kaca.

"Hey omonganmu membuatku sakit hati Nggi." Bibirnya mengerucut dengan ekspresi wajah yang kesal pada sang sahabat.

"Lalu apa Kaca sayang? Aku bukan cenayang yang bisa menebak apa yang sedang terjadi pada seseorang. Aku juga bukan seseorang yang pandai membaca situasi dan ekspresi."

"Aku tahu Anggi. Tapi tidak bisakah kamu menebaknya sedikit? Aku yakin kau pasti tahu."

Perempuan itu benar-benar ingin sang sahabat menebaknya dengan benar. Dia ingin Anggi tahu tanpa harus dirinya bercerita lebih dulu.

"Tidak, aku tidak mau mempersulit diri. Jadi tolong ceritakan padaku," sahut Anya cepat, dengan kedua tangannya terangkat menyerah lebih dulu sebelum menebak.

"Ahh Anggi ... Tapi baiklah, aku akan menceritakannya istirahat nanti, hehe."

"Yaaa, Kaca!" Kesal Anggi pada seorang Kaca.

Kaca menampakkan deretan giginya pada perempuan yang kini mengela nafas kesal.  Bagaimana bisa perempuan satu itu membuat orang lain penasaran dan menggantungnya sampai waktu istirahat tiba.

Achromatopsia, Kayu dan Kaca \\ LEE JENO \\ END✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang