Satu Rahasia Kayu

24 3 0
                                    

Langit senja begitu indah dengan cahaya yang menyorot pada seorang perempuan dengan ransel biru mudanya itu. Dirinya tengah berjalan santai menuju ke sebuah halte bus dekat sekolah dengan membawa beberapa amplop dan juga sepaket spidol warna-warni dalam keresek putih. Tak lupa juga dirinya membeli sebuah cat untuk melukis.

Kaca tengah melamun menatap jalanan yang ramai dengan pengendara yang lalu lalang sambil menunggu sebuah bus datang menghampiri. Dia duduk seorang diri menikmati pemandangan yang tak pernah membosankan mata.

"Ngapain duduk sendirian di sini?" celetuk seseorang yang datang tiba-tiba menghampiri Kaca.

Perempuan itu menoleh ke arah sumber suara, mendapati seorang laki-laki yang tengah berdiri tepat di antara sorotan cahaya senja, hingga membuat wajahnya tak tampak dengan jelas dan gelap. Kaca sedikit mengenal suara siapa yang datang menghampiri, seperti suara Kayu yang begitu candu didengarnya. Dan benar saja, saat laki-laki itu duduk di sebelahnya, dirinya dapat melihat dengan jelas seorang Kayu dengan pesonanya.

"Menurut Kayu, kalau aku duduk di sini ngapain?" tanya Kaca pada laki-laki yang tengah menatap jalanan, dan tak sedikit pun menggubris ucapan Kaca. Perempuan itu mendengus sedikit kesal, padahal tadi dirinya bertanya pada Kaca.

Mengapa kali ini bus-nya datang lebih lambat dari biasanya? Kaca senang duduk berdua dengan seorang kayu, tapi duduk dengan dia itu, serasa duduk di samping patung. Di ajak bicara tak menyahut, di buat lelucon juga tidak tertawa, hingga Kaca lebih memilih diam tak bersua lagi. Dirinya juga sudah cukup lelah hari ini, karena kena hukum pak Udin menyalin 20 halaman pelajaran bahasa Indonesia di buku catatan. Akibat dirinya lagi-lagi ketiduran di jam pelajaran pak Udin.

"Mengapa baru pulang?" celetuknya lagi setelah beberapa menit diam  tak bersua.

Kaca menoleh pada laki-laki yang bercelatuk barusan, dirinya tersenyum sembari menunjukkan isi dari sebuah kantong keresek putih di tangannya. "Habis dari toko alat tulis, beli ini,” sahut Kaca menunjukkan beberapa amplop warna-warni dan satu pak spidol warna serta beberapa cat.

"Untuk?"

"Untuk tulis surat buat Kayu, hehe. Soalnya amplop sama spidol warnanya sudah habis." Kaca tertawa sembari menampakkan deretan giginya.

"Tidak bisakah kamu berhenti? percuma," sahutnya datar dan itu cukup membuat hati Kaca terasa sedikit sesak setelah mendengar ucapan Kayu.

"Tidak, meskipun aku tahu kalau itu percuma. Aku gak bakalan berhenti sampai Kayu baca surat yang Kaca kasih!" Perempuan itu begitu keras kepala, dia akan tetap memberi Kayu surat sampai laki-laki itu membaca isi suratnya, dan mengerti dengan perasaannya.

"Kalau begitu, kertas putih sama tinta hitam saja," jawab kayu cepat, tapi itu sedikit membuat Kaca bingung.

"Ish gak mau. Enggak kece Kayu, karena gak berwarna. Kayu tahu bukan, kalau Kaca suka yang berwarna, hehe."

"Tapi itu benar-benar percuma Kaca, karena aku_" belum selesai Kayu berbicara, tiba-tiba saja Kaca menyela dengan pertanyaan barunya.

Dia begitu menyukai momen di mana dirinya dan Kayu bisa mengobrol bersama, apalagi seperti sekarang saat Kayu yang lebih dulu menghampirinya.

"Aku bisa menebak kalau cita-cita Kayu adalah menjadi seorang produser film kan?" Tebak Kaca tepat sasaran, tapi itu adalah cita-cita Kayu yang mungkin tak pernah kesampaian.

Lelaki itu sejak kecil selalu ikut Bundanya untuk syuting, dirinya selalu terpesona dengan seorang produser di sana, bahkan dia diam-diam suka mengamati dari kejauhan.

Tapi sayang kenyataan tak bisa membawanya pada dunia perfilman, dunia dirinya dan orang-orang jauh berbeda. Saat dunia orang lain penuh dengan warna, dunianya begitu gelap dan tak berwarna, yang ada hanya kelabu dan hitam putih.

"Andai Kaca bisa jadi penulis, biar nanti bisa kerja sama buat film, hehe. Kan kece tuh Kaca yang tulis cerita, Kayu yang jadi produser buat filmnya," ucap Kaca sambil tersenyum menatap pada Kayu. Dirinya benar-benar berharap bisa menjadi seorang penulis, Tapi bakatnya adalah menggambar. Dia begitu menyukai setiap warna yang diberikannya pada sebuah kertas ataupun kanvas.

"Kaca," panggil kayu yang kali ini sedikit terdengar ramah di telinga Kaca.

"Hemm?"

"Andai itu semua bisa terjadi, haha. Tolong dengar ini dengan seksama, karena aku tidak akan mengulang untuk kedua kalinya," ucap Kayu tampak serius, hingga membuat Kaca menatap pada laki-laki itu dengan tatapan yang juga serius ingin mendengarkan.

Perempuan itu memasang telinganya dengan benar, agar ucapan Kayu dapat di dengarnya dengan jelas. Karena ini adalah momen langka yang baru pertama kali kayu ingin beritahu padanya.

"Achromatopsia, dan itu bus datang. Ayo cepat pulang!" suruhnya pada seseorang yang kini diam dengan otaknya yang masih memproses ucapan Kayu di awal. Lelaki itu berucap begitu cepat, sedang otak kaca perlu waktu lama untuk memahami.

Kaca tak sempat lagi untuk bertanya ulang pada kayu, karena bus sudah sampai. Dirinya harus cepat menaiki bus itu, jika terlambat maka dia akan menunggu bus selanjutnya.

Kaca melambaikan tangan pada Kayu dengan senyumnya yang mengembang sembari menaiki bus dan duduk di kursi terakhir. Dia melihat laki-laki itu tak beranjak sedikit pun dari tempat tadi dan tetap melihat pada bus yang di naikinya sampai bayang itu pun menghilang.

Otaknya masih berputar mengingat ucapan Kayu sambil menatap jalanan yang dilaluinya. Kata yang lumayan sulit di ingat dan begitu susah untuk disebut. "Kayu kenapa kamu suka sekali membuat otakku berpikir keras? Kau tahu bukan jika otakku itu begitu pas-pasan, lalu kamu memberitahuku sesuatu yang begitu rumit? Ahh, kau begitu membuatku kesal." Kaca mengacak frustasi kepalanya sembari mengingat apa yang di ucapkan Kayu tadi.

🤍🤍🤍

Kini malam sudah menyapa, sedang Kaca tengah asyik duduk di sebuah kursi sembari menonton televisi,  dirinya sesekali tertawa karena tingkah konyol Spongebob, dan begitu juga dengan Langit yang duduk di sampingnya.

Otaknya seketika mengingat ucapan Kayu yang berulang kali berusaha di ingatnya, hingga dirinya pun bertanya pada sang kakak, karena tidak tahu maksud dari kata itu.

"Bang," panggil Kaca pada sang kakak yang tengah sibuk menertawakan Patrick.

"Iya Dek?" sahutnya dengan mata yang tak teralih dari televisi.

"Achromatopsia, apa artinya dah Bang? Bahasa ilmiah kan itu? Apa artinya padi?" ucap Kaca asal hingga sontak Langit menyentil dahi sang Adik.

"Bukan itu artinya Kaca, ya kali padi. Makanya kalau guru menjelaskan itu jangan tidur melulu ...," ucap Langit seakan tahu jika sang Adik sering tertidur saat jam pelajaran.

"Ih, apa sih kak Langit. Ingat adek itu anak IPS, bukan anak IPA! Jadi mana adek tahu arti yang begituan, huh!" kesal Kaca pada sang kakak, sedang Langit hanya terkekeh geli saat mengingat sang adik adalah anak IPS.

"Ah iya, maafkan Abang dek. Lupa kalau kamu anak IPS, haha."

"Jadi apa artinya Abangnya Kaca yang paling ganteng sejagat raya ...."

"Buta warna," sahut Langit singkat, dan itu membuat kaca tambah bingung.

"Buta warna? Apa itu Bang?"

"Kamu punya handphone? Ini sinyal WIFI lagi bagus dek, google deh," sahut Langit pada sang Adik sambil sesekali tertawa karena kali ini plankton yang terlihat begitu bodoh.

"Cih, si Abang! Nanggung banget penjelasannya," ucapnya sebelum beranjak pergi meninggalkan sang kakak menuju kamarnya. Dia berlari menuju kamarnya untuk mengambil handphone, dan mencari tahu arti dari kata Achromatopsia.

Achromatopsia, Kayu dan Kaca \\ LEE JENO \\ END✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang