"Ah, panas," keluh perempuan yang sedang berdiri di tengah lapangan sembari menatap ke arah tiang bendera. Tangannya menyapu bulir keringat yang mengalir di pelipis menuju dagunya, lalu mengibaskan beberapa kali jemari rapatnya, berharap sebuah angin berembus kecil mengurangi rasa panas.
Mulutnya beberapa kali menggerutu mengutuk sang kakak. Lelaki yang bernama Langit itu memaksanya untuk mengantarkan sang Adik pergi ke sekolah menggunakan Vespa tua milik sang kakek, katanya biar mengulang masa lalu saat sang ayah dan bundanya masih muda dulu. Ada-ada saja lelaki satu itu, padahal Kaca sudah menolak, takut jika akan terlambat jikalau menaiki Vespa ke sekolah, sedang hari ini adalah hari Senin, di mana dirinya harus berangkat awal untuk melaksanakan apel pagi Senin.
Firasatnya mengatakan bahwa seorang kayu sedang berjalan tak jauh darinya, hingga dengan cepat matanya melirik ke arah samping. Benar saja pupil matanya itu mendapati seorang kayu yang tengah berjalan dengan buku tebal ditangannya. Seketika sudut bibirnya terangkat membentuk lengkungan dengan tangannya yang kini menggenggam gemas. "Mengapa Kayu semakin tampan setiap harinya," ujarnya terpesona.
Kaca ingin beranjak menghampiri kayu, tapi mengingat dirinya masih kena hukum karena terlambat, dan pak Udin yang masih saja meliriknya dari kejauhan membuat Kaca mengurungkan niatnya. Pada akhirnya perempuan itu hanya menghela nafas gusar, sambil menatap bayang Kayu yang mulai menghilang dari pandangannya.
Dirinya mengingat malam tadi menulis sebuah surat untuk Kayu dengan menggunakan kertas putih dan tinta hitam. Pada akhirnya dia menuruti apa yang diucapkan oleh laki-laki itu setelah mengetahui kebenarannya. Tapi ada satu yang tidak Kaca ubah dari suratnya, Kaca masih saja menggunakan amplop yang berwarna-warni, karena dirinya menyukai itu, meski tahu betul jika Kayu tidak peduli akan hal itu.
Matanya melirik pada sebuah benda berdetak yang melingkar di pergelangan tangannya. Kata pak Udin, dirinya harus berdiri selama satu jam di lapangan sekolah sehabis apel pagi dan sekarang akhirnya dirinya bisa beranjak dari lapangan.
"Anggi!" Panggilannya nyaring pada seorang perempuan yang tengah menyantap sebuah sate ayam di dalam kelas.
Anggi sedikit terkejut dengan setusuk sate yang masih ada di mulutnya, dia menatap sang sahabat yang datang dengan wajah kusutnya.
"Cup, cup, cup, sini makan dulu sayangnya aku," ujar perempuan yang bernama Anggi sambil meletakkan sate yang setengah tergigit, lalu berjalan untuk merangkul sang sahabat yang begitu terlihat lesu.
"Aku lelah Anggi ...," keluh Kaca sambil duduk di kursi Anggi dan menyantap sate yang terletak di atas meja itu.
"Makanya lain kali jangan iyain aja permintaan bang Langit. Mentang-mentang hari libur, malah pengen nganterin pakai Vespa."
"Huh, sebenarnya asik kok Nggi ... Cuman tuh Vespa jangan mogok, kan jadi terlambat. Tapi aku gak kesal karena itu aja sih." Kaca menyeruput jus jeruk milik Anggi, karena tenggorokannya yang terasa kering, sampai tersisa setengah.
"Emang ada masalah apa lagi Kaca ...."
"Masa tadi Kayu ada lewat aku gak bisa ngejar!" ucapnya sambil memanyunkan bibirnya. Lihatlah perempuan satu ini, dia lebih kesal jika tidak bisa mengejar kayu, daripada terlambat dan dihukum selama satu jam di lapangan.
"Kaca! Kamu itu bodoh atau bagaimana sih, mengapa di otakmu hanya Kayu, Kayu, dan Kayu? Iya aku tahu jika dia lelaki yang pintar dan tampan. Tapi mengingat sifat dia yang seperti itu, tidak pantas orang baik seperti kamu memperjuangkan dia Kaca! Apa kamu tidak cape? Aku yang lihat saja lelah Kaca ...," ucap Anggi sedikit tinggi. Dia bukan marah jika kaca menyukai Kayu, tetapi saat melihat sikap Kayu yang seperti itu pada sahabatnya, dia muak. Bagaimana bisa sahabatnya itu begitu bodoh dalam mencintai seseorang.
Kaca tersenyum menatap pada Anggi yang sedang sedikit emosi, dia mengembalikan sate dan jus milik perempuan yang sebenarnya Anggi tak menginginkan makanan itu kembali, ataupun marah karena seorang Kaca memakan makanannya.
"Cih! Lihat senyum itu. Berhenti tersenyum seperti itu Kaca, kamu membuatku semakin kasihan," ujar Anggi yang kini memeluk sang sahabat.
Kaca menepuk-nepuk pelan punggung tangan Anggi yang memeluk dirinya. Dia benar-benar beruntung mempunyai sahabat seperti Anggi.
"Anggi sayang ... Kayu itu istimewa, makanya aku menyukainya. Aku tidak jatuh cinta pada ketampanan ataupun kepintarannya."
"Bulshit," sela Anggi cepat.
"Yaa, aku belum selesai bicara Anggi. Kau juga tahu bukan? Bagaimana bisa aku mencintai karena kepintarannya, sedang aku saja seorang perempuan yang mempunyai otak yang pas-pasan. Jika masalah ketampanan .... Hemm, sedikit aku akui akan hal itu, tapi aku benar-benar tidak jatuh cinta karena hal itu saja Anggi ... Dia itu baik, hanya saja belum luluh padaku." ucap Kaca panjang kali lebar pada sang sahabat.
Anggi yang mendengar itu pun tersenyum lalu menyentil dahi Kaca. "Dasar bodoh! Tapi ingat jangan sampai kau sakit hati Kaca."
"Hemm, semoga tidak ...." Kaca tersenyum tulus, berharap itu tidak akan pernah terjadi padanya. Meskipun dia tahu jika setiap orang yang jatuh cinta pasti akan merasakan patah hati ataupun terluka nantinya.
Perempuan dengan rambut pendek itu, kini tengah melamun di kursinya sembari menatap luar kelas yang ramai dengan orang yang berlalu lalang, karena sudah waktunya jam istirahat. Lagi-lagi otaknya dipenuhi dengan seorang Kayu yang selalu saja bergentayangan dalam pikirannya.
Dia tidak peduli dengan kondisi Kayu yang mempunyai kekurangan itu, bagi Kaca, Kayu itu lelaki sempurna yang pantas untuk di kejarnya. Namun dirinya juga bingung, ini sudah satu setengah tahun dia mengejar laki-laki itu, tapi mengapa Kayu tak kunjung luluh juga padanya. Apakah dirinya harus menggunakan ramuan cinta, atau sebaiknya racun untuk membunuh perasaan itu?
Kaca menggelengkan kepalanya kuat, bagaimana bisa dirinya berpikiran harus membunuh perasaan itu. Bagaimana bisa dirinya menyerah sebelum berhasil mendapatkan seorang Kayu.
"Ingat moto hidup, jangan pernah menyerah sebelum berhasil mendapatkan!" ujar perempuan itu dengan wajah yakinnya.
"Tapi kalau tidak kunjung peka, ingat kata tukang parkir. Bahasa Inggrisnya bulan dan pintu," celetuk Anggi yang datang tiba-tiba.
"Moon and door, kan?"
"Kenapa kata “dan” nya juga ngikut Kaca ...," ucap Anggi sedikit jengah.
"Kan katanya bahasa Inggrisnya bulan dan pintu Anggi ...," sahut perempuan itu polos, hingga Anggi menepuk dahinya sedikit kasar.
"Dah lah, bicara sama kamu mah percuma Ca. Emosi mulu yang ada." Anggi beranjak pergi meninggalkan Kaca yang kini menatap punggung sang sahabat dengan tatapan heran.
"Anggi kenapa sih, padahal aku benar kan? Gak ada yang salah," gumamnya dengan tangan yang mengambil sebuah kertas HVS dan juga pensil.
Dirinya kali ini ingin menggambar sebuah batu yang berada di atas meja Farhan, sebenarnya tidak ada unsur estetik jika dilihatnya sekilas. Tapi dirinya begitu gabut dan malas beranjak dari kursi, hingga lebih memilih duduk tenang dan menggambar di dalam kelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Achromatopsia, Kayu dan Kaca \\ LEE JENO \\ END✓
Teen FictionKayu, kamu adalah kesederhanaan semesta yang sulit di jelaskan dengan logika ~Kaca Kayu dan Kaca, dua insan yang dipertemukan semesta dengan sifat yang jauh berbeda. Kaca jatuh cinta pada lelaki buta warna yang selalu dituntut sempurna oleh keadaan...