Kenyataan yang diketahui oleh Kayu benar-benar menoreh luka dalam di hatinya, dunia kini benar-benar menghilang dari pandangannya. Di mana dulu yang ia lihat hannyalah monokrom, kini semua menjadi gelap tak ada warna sedikit pun. Jika harus memilih, Kayu rasanya lebih ingin pergi daripada kembali dengan kondisi yang lebih memilukan. Sang Ayah—Areza pun menghilang bagai ditelan bumi setelah mengetahui kenyataan.
"Kayu ...," panggil Kaca dengan tatapan sedihnya pada laki-laki yang hanya menatap lurus ke depan.
Kayu hanya diam dan tak menyahut, lalu beberapa detik kemudian ia seakan mencari sosok Kaca dan menatapnya saat lengan Kaca di dapatinya. "Apa setelah pulang sekolah kau langsung datang ke sini?"
"Hemm," sahut kaca sambil tersenyum. Dirinya begitu mengagumi wajah Kayu yang bersinar di bawah cerahnya cahaya senja.
"Apa teman sekolah tahu tentang kondisiku?" tanya Kayu sedikit khawatir. Ia takut jika semuanya tahu soal keadaannya.
"Sepertinya tidak, para guru seperti merahasiakannya Kayu." Kaca sedikit tercengang saat tangan Kayu mencari sosoknya. "Memangnya kenapa jika mereka tahu?"
"Aku tidak ingin mereka ataupun keluargaku tahu perihal mataku Kaca." Kayu mengatakan itu seakan semuanya benar-benar ingin ia rahasiakan dari orang lain.
"Bukankah orang yang seharusnya tahu adalah keluarga? Lalu di mana Ayahmu?" tanya Kaca sambil menatap lekat wajah Kayu. Ia hanya bingung, mengapa laki-laki di depannya ini sangat tidak ingin orang lain tahu.
"Ayah? Ntahlah, sepertinya dia sedang bekerja. Lalu, perihal keluarga? Aku tidak ingin menjadi aib bagi keluarga Mbayang," sahut Kayu dengan nada datarnya.
Pada akhirnya Kaca hanya mengangguk mengerti menanggapi ucapan lelaki di depannya itu. Perihal keluarga Kayu masih begitu asing di telinganya, bahkan Kaca baru tahu sekarang jika Kayu anak dari seorang pengusaha sukses.
"Kaca ...," panggil lelaki itu lagi pada perempuan yang masih saja tak mengalihkan pandangannya dari Kayu.
"Iya Kayu ...."
"Jika aku pergi, apa akan ada orang yang bersedih dan merindukanku?"
"Hey, Kayu ngomong apaan sih!"
"Aku tanya padamu, jika aku pergi apa akan ada orang yang merindukanku? Apa ada orang yang menangis karena kehilanganku?" ujar Kayu dengan nada yang mulai terisak.
Hatinya pilu, bahkan seorang perempuan yang selalu membuat harinya berwarna, tidak lagi bisa dilihatnya.
"Ada," sahut Kaca cepat.
"Siapa Kaca? Aku anak yang tak di inginkan. Apa ada yang akan bersedih jika aku menghilang? Bahkan Ayah, satu-satunya keluarga yang aku punya, ia membenciku Kaca ... Lalu dengan kondisiku yang sekarang, apa mungkin dia menginginkanku? Sedang aku yang kemarin saja sudah di bencinya." Kali ini suaranya memberat dengan napasnya yang mulai menyempit. Kali ini Kayu sudah penat menyimpan semuanya, ia ingin membagi sedikit ceritanya pada perempuan yang mungkin sudah bisa ia percaya. Kayu yakin bercerita pada Kaca setidaknya dapat membuat dadanya sedikit ringan, meski otaknya selalu berkecamuk memikirkan bagaimana sang Ayah.
Sedang Kaca? Dia merasa sakit mendengar setiap kata yang terucap dari mulut Kayu. Apa menjadi Kayu adalah suatu hal yang menyakitkan? Apa dia sebegitu tak di inginkan di keluarganya? Kaca benar-benar baru tahu sosok Kayu yang selama ini dikenalnya dingin itu, ternyata menyimpan luka begitu dalam.
"Hey ... Apa kau lupa jika ada aku? Apa kau lupa siapa yang akan terluka parah jika kau menghilang dari dunia?" ucap Kaca pilu, ia menyeka air mata yang menetes begitu saja dari pelupuk matanya. Bagaimana bisa lelaki di depannya itu melupakan sosok dirinya.
"Tidak, kau tidak boleh berada di list yang terluka itu Kaca. Kamu itu perempuan baik, tidak boleh bersedih untuk seseorang yang tak sempurna ini," ucapnya sembari tangannya meraba mencari kepala Kaca.
Dia tersenyum saat tangannya berhasil mendapati kepala sang perempuan. Ia mengelusnya pelan seakan tahu bahwa perempuan di depannya ini pasti sedang tidak baik-baik saja. "Kayu, mengapa menyukaimu begitu menyakitkan? Mengapa di saat seperti ini pun kamu malah menolakku lagi dan lagi?" Kaca menangis tak bersuara di depan laki-laki yang mungkin tidak akan bisa melihat air matanya jatuh.
"Aku hanya ingin kau tak merasa sakit Kaca ... Aku ingin kamu tetap menjadi sosok ceria bagi orang-orang."
Tangannya masih mengelus rambut Kaca pelan, dia tersenyum pada perempuan yang sedang menangis di depannya. Jauh di lubuk hatinya sudah ada seorang Kaca di sana, tapi untuk bilang bahwa Kayu jatuh cinta padanya? Entahlah, itu masih terlalu dini untuk seorang laki-laki yang terbiasa berhati dingin. Dia juga masih trauma dengan kenangan seorang perempuan yang amat di sayanginya, di mana perempuan itu pergi meninggalkan Kayu dan tak kembali lagi.
"Berhenti berbicara menyedihkan seperti ini, jika kau ingin melihatku selalu ceria!" sahut Kaca dengan sedikit ketus. Ia sudah tidak sanggup dengan situasi ini, air matanya seakan ingin membuncah terus menerus.
"Ayo tersenyum lagi Kaca, kau tahu? Aku menyukai wajahmu yang selalu tersenyum itu," senyumnya mengembang dengan matanya yang mulai menyipit.
"Cih, bulshit! Mengapa seseorang yang biasanya berucap datar, kini tiba-tiba berucap manis?" ucap Kaca sambil menyeka air matanya, ia tersenyum saat mendapati seorang laki-laki di depannya ini menjadi hangat.
"Kayu ... Aku mohon kau tetap menguat ya ...." Kaca ingin mengelus kepala Kayu, namun keinginannya di urungkan karena kepala itu terbungkus setengah oleh perban.
"Apa hari ini pelajarannya sulit?" celetuk Kayu tiba-tiba bertanya perihal pelajaran yang di pelajari oleh Kaca hari ini.
"He'em, untuk matematika wajib. Tapi pelajaran PKN cukup membuat mata mengantuk. Kau tahu Kayu? Masa tadi pak Udin suruh aku nyanyi depan kelas dulu, katanya biar aku gak ketiduran saat dia mengajar." Protes Kaca dengan nada kesalnya. Ia benar-benar merasa malu jika harus bernyanyi lagu potong bebek angsa dengan huruf vokal yang diganti dengan huruf O semua.
Kayu sedikit terkekeh mendengar cerita Kaca, dia sudah bisa menebak pasti ada-ada saja kelakuan perempuan satu ini tiap hari di sekolah.
"Jangan senyum Kayu ... Nanti aku meleleh," bercandanya yang membuat Kayu seketika menggelengkan kepalanya heran.
"Hahaa, kau pikir kau sebuah cokelat atau es batu yang bisa meleleh?"
"Yaa, aku sebuah cokelat, karena aku manis. Lalu Kayu sebuah es batu yang kini mulai mencair."
Kaca bisa bilang seperti itu karena banyak perubahan yang didapatinya dari sosok Kayu. Lelaki yang biasanya tak banyak bicara itu, kini malah selalu merespons pembicaraan Kaca. Bahkan dirinya sudah terasa hangat tanpa atmosfer kutub Utara.
"Kayu ... Aku yakin kau akan segera mendapatkan donor mata. Aku yakin Ayahmu tidak akan tinggal diam Kayu ... Sekilas saat aku mendapati Ayahmu kemarin, dirinya tampak begitu sedih dengan air mata yang tak henti. Dia menyayangimu, tapi cara penyampaiannya yang salah, hingga kau dibuat terluka olehnya. Aku yakin, Ayahmu pasti kembali, dan berubah menjadi sosok yang hangat untukmu," ucap Kaca meyakinkan. Dilihat saat dirinya bertemu dengan Areza kemarin malam, membuat Kaca yakin jika lelaki satu itu sangat menyayangi sang anak dan begitu menyesali semua yang telah terjadi.
"Aku juga berharap begitu Kaca ... Untuk donor mata ... Apa ada seseorang yang berbaik hati mendonorkan matanya untuk lelaki sepertiku?"
"Ada, dan kamu harus yakin serta sabar menunggu ... Nanti jika kamu sudah bisa melihat semuanya dengan jelas, mari kita melihat senja, melihat pemandangan dari pohon besar di taman sekolah, pemandangan saat hujan ataupun setelah reda, pelangi, langit biru, bahkan surat-suratku yang berwarna," ujar Kaca dengan senyumnya yang mengembang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Achromatopsia, Kayu dan Kaca \\ LEE JENO \\ END✓
Teen FictionKayu, kamu adalah kesederhanaan semesta yang sulit di jelaskan dengan logika ~Kaca Kayu dan Kaca, dua insan yang dipertemukan semesta dengan sifat yang jauh berbeda. Kaca jatuh cinta pada lelaki buta warna yang selalu dituntut sempurna oleh keadaan...