Ini sudah seminggu setelah menghilangnya seorang Kaca dari pandangan Kayu. Hari-hari yang biasanya selalu begitu berisik, kini terasa sunyi tanpa kehadirannya. Dia bukannya merindukan sosok Kaca, tapi dia sudah terbiasa dengan kehadiran perempuan itu yang mengganggunya.
Di luar, wajah Kayu terlihat biasa saja, meski terkadang melirik, mencari bayang perempuan itu di kelas sebelah.
Rasa penasaran Kayu itu sebenarnya ada, dia bingung ke mana perginya perempuan yang selalu saja mengganggunya setiap hari. Tapi dia tidak ingin bertanya pada yang lain perihal Kaca yang tak terlihat.
"Kayu." Seorang Nazca datang menghampiri dengan keresek hitam yang entah berisi apa di tangannya.
Dia datang dan langsung membalikkan kursi di depan Kayu, dan duduk menghadap pada laki-laki yang tengah menatapnya dengan tatapan datar.
"Tebak, aku bawa apa?" Tangannya menaruh keresek hitam itu di atas meja milik Kayu, hingga menindih buku-bukunya yang masih berhamburan di atas meja.
Kayu hanya mengangkat kedua bahunya pertanda tidak tahu. Mengambil buku-bukunya yang tertindih dan meletakkannya di dalam laci. Rasa hampa ditemuinya saat melihat sebuah ruang kecil yang kini terasa kurang. Biasanya saat menengok ke bawah laci, selalu saja ditemuinya sebuah amplop ataupun kotak makan yang diletakkan oleh Kaca pagi-pagi. Sekarang laci itu kosong melompong tak ada yang didapatinya.
"Aku bawa wafer dan cokelat, kamu mau?" Nazca tersenyum dengan beberapa wafer dan cokelat yang di sodorkannya pada Kayu.
"Tidak." Dengan cepat Kayu menolaknya, sambil mengambil sesuatu dari dalam ranselnya. Sebuah benda berbentuk kubus yang bisa di utak-atik menyesuaikan warna yang pada dasarnya begitu tipis Kayu lihat perbedaannya. Dan untuk mempermudahnya, saat baru pertama kali benda itu dibuka dari bungkusnya, Kayu langsung memberi nomor sama yang berurutan.
Nazca yang merasa hanya di abaikan oleh Kayu pun beranjak pergi menghampiri teman yang lain dengan penuh keceriaannya. Kayu menatap Nazca dengan tatapan sedikit iri. "Bagaimana bisa seorang laki-laki seperti Nazca sangatlah ceria dan suka keramaian? Mengapa laki-laki seperti Nazca bisa tertawa begitu lepas seakan tak ada beban di hidupnya. Bagaimana bisa dia sebahagia itu?" Kata bagaimana selalu terlontar dari mulutnya saat melihat seorang Nazca. Lelaki satu itu sangat berbanding terbalik dengan dirinya.
Bel masuk berbunyi, menandakan bahwa jam pelajaran akan di mulai kembali. Kali ini pelajaran fisika yang akan di pelajari mereka.
"Assalamualaikum," ucap perempuan paruh baya yang tengah berjalan menuju meja guru. Meletakkan tas dan beberapa bukunya di atas meja panjang itu. Semuanya menyahut, termasuk juga Kayu dengan suara malasnya.
"Hari ini kita akan mengadakan ulangan harian," ucap Bu Sari sambil mengeluarkan sebuah spidol dari dalam kotak pensilnya.
"Yahh kok ulangan sih Bu ...," sahut semuanya dengan nada sedih, mereka benar-benar tak siap jika hari ini ulangan harian. Mereka belum siap menjawab sebuah soal yang bahkan mereka tak mengerti.
Namun ulangan tetaplah ulangan, semua harus mengikutinya, atau mereka tidak akan mendapatkan nilai.
Kayu hanya mengangguk mengerti, lelaki itu mengeluarkan sebuah pulpen dan kertas dua lembar di tengah buku yang di robeknya untuk menulis pertanyaan dan jawabannya. Dia begitu tenang, tidak seperti yang lain, riuh membuka buku menghafal sekilas rumus sebelum buku itu di kumpulkan ke depan.
"Cih, muka orang pintar mah santai ya," celetuk Nazca menyindir pada Kayu.
Lelaki satu itu adalah murid pindahan yang sebenarnya salah masuk jurusan dan kelas. Bagaimana bisa, lelaki dengan otaknya yang pas-pasan itu di masukkan ke dalam ruang kelas yang penuh dengan orang-orang pintar?
Kayu yang mendengar itu pun mendelik tajam pada Nazca. Dia benar-benar berani menyeletuk pada laki-laki yang sudah terkenal dengan hawa dingin di kelasnya.
"Makanya kalau punya otak itu, otak gajah Na, jangan otak udang. Kan jadinya gak bisa masang wajah santuy juga," ucap seorang laki-laki yang duduk di samping Nazca. Lelaki itu menepuk-nepuk pelan pundak Nazca agar berhenti melihat ke arah Kayu yang sepertinya semakin emosi dibuatnya.
"Yang bener itu, otak manusia Dery ... Punya otak gajah juga gak bakalan bikin pintar. Lihat noh gajah di kebun binatang, ada sekolah dia?" sahut Nazca yang membuat lelaki di sampingnya itu menggelengkan kepalanya.
"Enggak."
"Nah kan ... Kalau begitu_"
"Sudah selesai bicaranya Nazca dan Dery?" celetuk Bu Sari pada dua murid laki-laki yang terlihat sibuk berbincang saat dirinya menuliskan soal di papan tulis.
"Belum Bu, masa kata Dery biar pintar harus punya otak gajah, menurut ibu bagaimana?" tanya Nazca tidak jelas.
Seisi kelas menahan tawa atas kelakuan Nazca yang ada saja. Ah, tidak-tidak, ada pengecualian untuk seorang Kayu, dirinya tampak biasa saja tak ada ekspresi.
"Dan kamu percaya Na?" tanya Bu Sari kembali pada seorang Nazca.
"Tentu tidak, Nazca kan pintar Bu ...." Lelaki itu menampakkan senyum sombongnya sembari menatap pada Dery.
"Kalau begitu, kamu harus benar semua jawab soalnya ya, Na ...."
"Siap, Bu," jawab Nazca santai, namun tiba-tiba matanya melotot tidak percaya karena baru menyadari ucapan Bu Sari. " Eh? Benar semua Bu?"
Perempuan paruh baya itu mengangguk menanggapi ucapan Nazca. Hingga yang lainnya pun tertawa puas saat melihat ekspresi Nazca yang tiba-tiba berubah.
Ulangan sudah di mulai 15 menit yang lalu, tentang bagian implus dan momentum yang telah mereka pelajari selama beberapa waktu.
Kayu membaca soal itu dengan cermat, mengamati dengan benar apa saja bagian penting dalam soal tersebut. Setelah menemukannya, Kayu memutar ingatannya tentang rumus yang harus di gunakan, serta cara jalan kerjanya.
Empat soal dikerjakannya dengan mudah, hingga tersisa satu soal lagi yang harus diselesaikannya agar ia bisa mengumpulkan kertas ulangan itu. Kayu mengangkat 5 jemarinya untuk menghitung dengan cepat, hingga tiba-tiba telinganya mendapati suara seorang perempuan di luar kelasnya berteriak nyaring.
"Aaa tolong, ada bangkai tikus ngambang di ember ...," teriak seorang perempuan dari luar, yang sontak membuat Kayu menghentikan hitungannya dan berdiri melihat ke arah luar. Suara perempuan itu benar-benar mirip dengan suara Kaca, hingga dirinya pun dengan cepat memastikan.
"Ada apa Kayu?" tanya Bu Sari bingung karena dirinya yang tiba-tiba berdiri.
"Ah tidak apa Bu, saya cuman merenggangkan otot-otot saya yang pegal," bohongnya pada Bu Sari, sambil merentangkan tangannya dan memutar kepalanya.
Dia kembali duduk dengan perasaannya yang aneh saat tahu jika yang berteriak tadi bukanlah seorang Kaca. "Bodoh Kayu, apa-apaan kau langsung berdiri saat mendengar suara itu," umpatnya pada diri sendiri.
Kayu kembali melanjutkan menjawab soal ulangan itu lagi, mengabaikan perasaannya yang terasa bodoh karena berharap jika perempuan yang berteriak itu adalah sosok Kaca.
Sedang Nazca? Lelaki yang tengah mengacak rambutnya frustasi itu, tiba-tiba terkekeh geli saat melihat tingkah Kayu yang tiba-tiba. Dia tersenyum mengetahui jawaban Kayu yang hanya alibi itu, karena dirinya tahu jika seorang Kayu mengingat sosok perempuan yang sudah lama tak dilihatnya ketika mendengar suara seseorang yang mirip seperti suara Kaca.
KAMU SEDANG MEMBACA
Achromatopsia, Kayu dan Kaca \\ LEE JENO \\ END✓
Teen FictionKayu, kamu adalah kesederhanaan semesta yang sulit di jelaskan dengan logika ~Kaca Kayu dan Kaca, dua insan yang dipertemukan semesta dengan sifat yang jauh berbeda. Kaca jatuh cinta pada lelaki buta warna yang selalu dituntut sempurna oleh keadaan...