If Only

11 3 0
                                    

Lelaki dengan perawakan tinggi itu memasuki rumah dengan langkah santainya, menjinjing ransel abu-abu di tangan kiri dan beberapa buku di tangan kanan.

Matanya mendapati sosok bi Marni yang menjadi asisten rumah tangga keluarganya sejak ia kecil. Dia tersenyum sembari memeluk erat tubuh perempuan tua yang sedang memasak itu.

"Wahh, wanginya enak. Kayu jadi lapar," celetuknya sambil menghirup aroma sup ayam dengan banyak wortel kesukaannya.

"Den Kayu kebiasaan deh meluk Bibi. Bibi ini bau asem Den, belum mandi," ujar perempuan yang menyendokkan sesendok sup dan meniupnya perlahan.

Setelah terasa dingin, sup itu di suapkannya  pada laki-laki yang sudah di anggapnya seperti anak sendiri. Yahh seorang laki-laki yang di jaganya sedari kecil, semenjak sang bunda meninggal. Indera perasaannya mulai mengecap menikmati, hingga matanya melotot dengan bibirnya yang tertarik menatap pada bi Marni.

"Asin ya Den?" Perempuan tua itu memasang raut khawatir jika masakannya terasa asin.

"Enggak kok Bi, enak. Kayu mau makan deh, lapar ...."

"Ganti baju dulu Den ... Nanti di marahi sama Tuan loh."

"Iya iya Bi ... Kayu ganti baju deh," sahut laki-laki itu beranjak ingin pergi.

Namun, baru beberapa langkah kakinya berjalan, tiba-tiba saja bi Marni memanggil namanya karena teringat akan satu hal.

"Den Kayu," panggil perempuan tua itu pada laki-laki yang kini membalikkan badannya.

Dia tersenyum dengan matanya yang menyipit membentuk bulan sabit. Lihatlah lelaki satu ini sangat menggemaskan jika sedang tersenyum, tapi senyumnya itu hanya melengkung pada orang yang disayanginya.

"Tadi Tuan bilang, kalau Den Kayu pulang, di suruh menemui Tuan dulu di ruang kerja."

"Eh Ayah dah pulang Bi? tumben mau menemui Kayu lebih dulu," sahutnya ceria, lelaki itu sangat senang jika sang Ayah mau menemuinya.

Dengan cepat kaki jenjang itu berjalan menuju ruang kerja yang terletak di lantai atas. Tas dan buku-buku itu masih dibawanya sembari memasang senyum semanis mungkin.

Tangan itu meraih ganggang pintu ruang kerja perlahan. Sebelumnya pintu diketuk dengan pelan sembari mulutnya memanggil sang Ayah. "Yah ... Ini Kayu."

Kayu menunggu dengan sabar, sampai suara balik pintu dalam ruangan menyahut. "Masuk saja," yang terdengar di telinganya sedikit dingin.

Pintu terbuka, menampakkan sosok laki-laki paruh baya yang sedang berkutat dengan laptop di depannya. Kayu mendekat perlahan pada sang Ayah yang tak memandang padanya sedikit pun.

"Tumben Ayah pulang awal, hehe. Tadi kata bi Marni, Ayah ada manggil Kayu, ada apa ya, Yah?" tanyanya dengan lembut.

Pandangan Areza yang mulanya fokus menatap pada laptop, kini beralih menatap pada Kayu dengan tatapan datarnya. Dia berdiri lalu berjalan menuju ke arah sebuah kursi yang terletak di pojok ruangan, mengambil satu paper bag besar yang entah berisi apa.

Areza memberikan tote bag itu pada Kayu, yang disambutnya dengan cepat karena Areza memberikannya sedikit kasar. "Pakai ini, pastikan jika kau berdandan rapi dan siap dengan segala pertanyaan yang diberikan oleh kakekmu. Ingat, kau tidak boleh terlihat lemah sedikit pun!"

Paper bag itu, berisi satu setel jas mewah dan juga sepatu yang tampak mahal. Senyumnya yang mulanya mengembang itu kini sirna perlahan setelah mendengar ucapan dari mulut seorang laki-laki yang disebutnya dengan kata ayah.

Kayu mengangguk dan pamit pergi dari ruangan itu menuju kamarnya dengan hati yang merasa tertekan.

Paper bag itu ditaruhnya gusar di atas kasur, beriring dengan ransel abu-abu dan juga buku-buku yang tadi di bawahnya. Kayu dengan cepat berganti pakaian dan pergi menuju dapur kembali, menemui perempuan tua yang kini tengah menyiapkan sepiring makanan untuk dirinya.

"Bibi sayang ... Malam ini Kayu ketemu sama kakek," ujar lelaki itu sedikit senang.

"Benarkah? Wahh Den Kayu pasti senang banget bisa ketemu Kakek lagi kan?"

"Hemm, tentu saja. Terakhir kali aku ketemu sama Kakek saat di kuburan Bunda, hehe. Tapi saat itu matanya menatap nyalang padaku Bi, aku sedikit takut jadinya."

"Mungkin dulu Kakeknya Kayu lagi marah sama orang di samping Aden, makanya natapnya begitu."

"Ahh, Bibi bisa saja. Padahal Kayu tahu betul jika semua orang di keluarga benci banget sama Kayu, hehe."

"Ish enggak Den, Bibi sayang kok sama Kayu ...," ucap perempuan itu sambil mengelus rambut Kayu yang kini sedang menyantap makanan yang disajikannya.

Perempuan satu ini adalah satu-satunya orang yang memeluk Kayu dengan tulus saat seseorang yang di sayanginya pergi meninggalkannya untuk selamanya. Dia perempuan tua yang rela hujan-hujanan datang menemui anak kecil yang tak mau beranjak dari tumpukan tanah yang basah. Dia perempuan tua yang menyayangi Kayu saat semua orang membencinya dan menatapnya dengan tatapan tajam.

"Bi, jika saat itu Kayu tidak pergi ke tengah jalan. Apa mereka semua tidak menatap Kayu dengan tatapan seperti itu? Jika saja, Kayu sempurna apa Ayah bisa sayang sama Kayu Bi?" ucap laki-laki itu dengan nada sedihnya.

Perempuan tua itu merangkulnya sembari menepuk pelan bahunya menenangkan. "Den Kayu ... Meskipun satu dunia benci sama Aden, Bibi akan selalu ada buat memberi kasih sayang sama Den Kayu."

Kayu mengangguk mengerti dan menarik sudut bibirnya pada perempuan tua yang sangat menyayanginya. "Masakan bibi tidak ada yang bisa menandingi, bahkan restoran bintang lima sekalipun. Nanti kita buka restoran aja ya Bi."

"Haha, den Kayu ada-ada saja. Bibi sudah tua, tidak sanggup jika menjadi koki yang menyiapkan banyak makanan untuk orang-orang."

"Bi Marni tidak perlu memasak seperti itu. Bibi cukup diam dan memantau, serta mengicip rasa."

"Haha, sudah cepat habiskan makanan kamu sayang ...." Kayu mengangguk dan melahap habis makanannya.

Setelah perutnya kenyang, Kayu kembali ke kamarnya dan membuka handphone-nya. Dia mengetik di sebuah pencarian tentang bagaimana cara bermain kecapi dan juga hal apa pun yang berkaitan dengan benda itu. Dia mengingat jika dulu bundanya pernah bercerita bahwa sang kakek sangat menyukai mendengar alunan musik yang keluar dari benda itu.

Dia membaca perlahan setiap kalimat yang tertera di layar sana, hingga tiba-tiba notifikasi pesan masuk dengan nama Agatha Keyra Kaca Anindita. Ya, itu adalah sebuah pesan yang dikirimkan oleh seorang perempuan yang bernama Kaca, perempuan yang selalu saja mengejarnya. Kayu bukan sengaja menyimpan nomor itu, tetapi Kaca sendirilah yang menyimpan nomornya di handphone Kayu dan memberi nama kontaknya dengan nama lengkap. Katanya agar Kayu bisa hafal dengan nama panjangnya itu.

[Kayu-kayu, aku punya tebak-tebakan loh] yang hanya di baca oleh laki-laki itu.

Namun, tiba-tiba saja pesan dari perempuan itu masuk lagi.

[Dih, di read doang.]

[Btw, Kayu tahu tidak apa persamaannya kamu sama Honda?]

[Hayoloh apa ...]

[Ish, gak tahu kan. Baiklah karena Kaca baik hati nan tidak sombong, maka akan aku beritahu.]

[Kalian berdua itu sama-sama semakin di depan, jiakhh, garing banget ya. Haha.]

[Aku tahu kamu pasti baca pesan ini, tapi gak mau bales kan? Jadi ....]

[Selamat malam Kayu, semoga hari-harimu menyenangkan. Jangan begadang, berat. Biar Dilan saja.]

[Bye, Kayu ... Ily 5000 rupiah di bayar ngutang :v]

Kayu terkekeh kecil melihat pesan yang dikirimkan oleh perempuan yang akhir-akhir ini tak lagi menghampirinya sesering dulu. Dia berpikir, bagaimana bisa perempuan yang di tolaknya itu masih saja menyukainya dengan sangat. Bahkan tak menyerah sedikit pun.

Achromatopsia, Kayu dan Kaca \\ LEE JENO \\ END✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang