Monochrome Turns Black

12 3 0
                                    

Kakinya melangkah dengan cepat, bahkan seorang Langit tak hentinya mengucapkan kata hati-hati pada seorang perempuan yang terus-menerus memegang dadanya. Dia berlari seakan tuli, mengabaikan teriakkan sang kakak yang menyuruhnya untuk berhati-hati.

Otaknya berkecamuk dengan hati yang berulang kali ia teguhkan. Mulutnya pun tak henti meminta agar dirinya masih bisa melihat sang lelaki berdiri di hadapannya dengan raut wajah yang disukainya.

Langkah kaki itu terhenti pada sebuah ruang ICU yang di tunjukkan arahnya oleh suster di lobi tadi. Matanya menatap pada seorang laki-laki yang duduk tersungkur di lantai dengan isak tangisannya.

Perempuan dengan hoodie dan celana training itu berjalan mendekat ke arah pintu. Matanya menatap dari kaca kecil di pintu ruang ICU, yang menampakkan para dokter dan suster yang sedang menangani pasien. Kaca ingin tahu, apakah itu Kayunya atau bukan. Tapi wajah pasien itu tertutup dengan kain, hingga tak tampak sedikit pun wajahnya agar Kaca bisa mengenali.

"Kayu, maafkan Ayah," lirih lelaki paruh baya yang di dengar Kaca dengan jelas.

Kaca mendekat pada lelaki paruh baya itu. Ia berjongkok di samping Areza yang menenggelamkan wajahnya di sela lengan yang memegang lutut.

"Apakah di dalam itu seorang pasien Kayuandra Louis Zeimbayang yang bersekolah di Tunas Bangsa?" tanya Kaca pelan pada Areza. Dia hanya ingin memastikan sekali lagi berharap jika itu bukan sosok Kayu yang di kenalnya. Kaca sudah berulang kali menelepon ataupun mengirimkan pesan pada Kayu, tapi nihil, pesannya tak di balas dan Kayu tidak aktif saat dihubungi.

Lelaki paruh baya itu mendongak menatap pada Kaca, matanya sembab dengan hidung yang memerah. Ini sudah satu jam lebih ia menunggu, tapi masih tak ada kabar tentang kondisi Kayu.

Areza mengangguk dengan pelan, hingga Kaca sontak mundur dengan hati yang masih tak ingin percaya.

Langit memeluk erat tubuh mungil Kaca yang terduduk di lantai. Tangisan yang tadinya sekuat tenaga ia tahan, kini membeludak tumpah hingga air mengalir dari pelupuk matanya. Kenyataan bahwa seorang laki-laki yang di dalam ruangan itu adalah Kayu, sudah tidak dapat ia ungkiri lagi.

"Abang ... Itu Kayu ...," lirihnya dalam pelukan sang kakak. Hatinya benar-benar sakit tak sekira. "Lelaki yang terbaring di ranjang yang di kelilingi dokter itu Kayu, Abang ... Hiks."

"Abang tahu Adek kuat," ucapnya menenangkan sembari mengelus kepala sang adik pelan.

🤍🤍🤍

Pagi disapa dengan muru, meski cuaca di luar sedang cerah dan terasa hangat. Ia terbangun dari tidurnya dengan mata yang sembab dan perasaannya yang masih sama seperti malam tadi.

Kaca menatap sekeliling penjuru ruangan,  di mana begitu banyak warna dan barang-barang miliknya. Belum lagi nyawanya terkumpul sempurna, Kaca bergegas berlari menghampiri kamar sang kakak meminta penjelasan. Bagaimana bisa diri yang tadinya sedang berada di rumah sakit, tiba-tiba saat terbangun sudah berada di kamarnya.

Tangannya membuka kasar pintu kamar sang kakak, mencari sosok Langit yang kini tak di dapatinya. Kaca pun bergegas pergi ke dapur, menghampiri sang bunda yang tengah mencuci piring.

"Bunda, Abang mana?" tanya Kaca cepat, sembari mengambil segelas air putih lalu meminumnya.

"Abangmu ada kelas pagi sayang ...."

"Ahhh, mengapa Abang tidak memberitahu apa pun padaku perihal Kayu. Mengapa kamu bodoh sekali Kaca! mengapa sampai ketiduran sih!" gerutunya pada diri sendiri.

"Apa kamu tidak bersiap untuk sekolah?" tanya Dini yang membuat perempuan dengan rambut berantakan itu menggeleng dengan cepat.

"Hari ini Kaca libur ya Bunda ... Kaca mau ke rumah sakit."

"Heyy Kaca sayang ... Kamu harus sekolah! Apa kamu tidak malu saat menemui temanmu di rumah sakit dalam keadaan membolos sekolah? Apa Kayu akan menyukai itu?"

"Tapi Bunda_"

"Dia sudah sadar sayang ... Jadi ayo berangkat sekolah. Setelahnya kamu boleh pergi ke rumah sakit." Perintah Dini pada sang anak yang dilihatnya begitu mengkhawatirkan seorang Kayu.

Dini sebenarnya heran mengapa Kaca sebegitu khawatir pada sosok Kayu, sampai ia tahu sebuah kenyataan jika sang anak begitu bersemangat menjalani hidup karena ada seorang Kayu yang membuat hidupnya terasa lebih menggembirakan.

🤍🤍🤍

Kaca bergegas turun dari bis dan berlari menuju rumah sakit yang sudah ada di hadapan matanya. Ia berjalan cepat menuju ruangan di mana katanya seorang Kayu sudah sadarkan diri.

Tangannya meraih ganggang pintu itu dan mendapati punggung laki-laki yang tengah menatap ke arah luar jendela, di mana cahaya oranye mulai menyapa.

"Kayu," panggil Kaca lirih pada laki-laki yang duduk di ranjang pasien itu.

"Kaca?" ujarnya yang memanggil nama Kaca untuk memastikan lagi apakah itu seorang Kaca atau bukan. Kayu juga tak membalikkan badannya pada perempuan yang kini berdiam di belakangnya setelah menutup pintu.

"Kayu baik-baik saja bukan? Apa ada yang sakit?" tanyanya sambil mendekat pada laki-laki masih saja tak membalikkan badannya. "Hari ini Kaca memberi surat secara langsung, soalnya naruh dalam laci takut hilang," sambung Kaca lagi.

"Tak perlu memberiku surat lagi Kaca ..." sahut Kayu dengan nada pelannya. Ia membalikkan badannya menghadap ke arah Kaca dengan matanya yang tak menatap pada Kaca. "Aku tidak akan pernah bisa membaca surat-suratmu itu," sambungnya yang semakin membuat seorang Kaca menjadi tambah bingung.

"Kayu, aku di sini, tepat di depanmu. Tapi mengapa kau malah menatap ke arah pintu?" Di mana arahnya sedikit menyamping dari Kaca berdiri.

"Ahh maafkan aku ... Semuanya tak lagi monokrom. Semuanya sudah menjadi hitam legam tanpa warna," ucapnya dengan kedua sudut bibirnya yang tertarik membentuk lengkungan. Kali ini Kaca tidak merasa bahagia mendapati lengkungan itu, melainkan rasa sakit saat ia menyadari kenyataan bahwa seorang Kayu kini benar-benar tidak bisa melihat lagi.

Kayu tersadar tepat saat matahari menyapanya tadi pagi. Tangannya terasa di genggam erat oleh seseorang, hingga perlahan ia membuka matanya dan menggerakkan sedikit tubuhnya yang seakan remuk itu.

Areza yang merasa ada pergerakan itu pun, dengan cepat menatap pada sang anak dengan senyum leganya. "Kau sudah sadar Kayu?" tanya Areza sambil mengelus punggung tangan sang anak.

"Ayah mematikan lampu ruangan? Mengapa semuanya terasa gelap?"

"Tidak Kayu."

Areza seketika terkejut mendengar ucapan Kayu, bagaimana bisa ruangan yang sangat terang ini dibilangnya gelap gulita. Hingga dirinya dengan cepat memanggil dokter untuk memeriksa kondisi sang anak.

Bagaikan disambar petir di siang bolong, hati Areza seketika tertohok dengan kenyataan yang dikatakan oleh dokter itu. "Kemungkinan Kayu sudah tak bisa melihat karena benturan keras yang terjadi di kepalanya, hingga menyebabkan dirinya mengalami kebutaan."

"Apa! Kayu buta?" ucap Kayu tersentak kaget. "Enggak-enggak, Kayu tidak boleh buta dokter ...," Sambung Kayu lagi dengan nada sedikit tertatih dan tak terima dengan kenyataan.

Achromatopsia, Kayu dan Kaca \\ LEE JENO \\ END✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang