Memory Box

16 2 0
                                    

Langit berjalan dengan langkah gontainya sembari membawa sebuah kotak cantik milik sang adik, sebuah kotak yang sudah beberapa waktu disimpan rapat dalam lemarinya. Dia tersenyum menatap benda itu, pada akhirnya permintaan Kaca kini diturutinya. “Cih, pada akhirnya tetap saja aku yang mengantarkannya. Dasar Kaca!” gerutunya kecil, dengan perasaan sedikit kesal.

Beberapa waktu lalu, dua orang kakak beradik itu tengah duduk tenang dalam sebuah ruangan yang penuh dengan warna.

“Abang ganteng ...,” rayu Kaca dengan senyum lebarnya pada seorang langit yang tengah duduk menatap langit malam dengan bintang yang gemerlapan.

“Hemm, ada apa lagi Kaca ... Kau mau suruh Abang belikan permen karet? Oh tidak bisa Kaca sayang ...,” sahut langit sambil menatap pada Kaca yang kini memanyunkan bibirnya.

“Ish, Abang gitu deh ... Btw, kotak ini cantik gak, warnanya?” tanyanya sambil menunjukkan sebuah kotak berukuran sedang berwarna biru muda dengan pita putih.

“Apa itu hadiah untukku?”

“Tentu saja tidak,” ia terkekeh saat mendapati wajah Langit yang mulanya senang itu berubah menjadi datar seketika. Kaca menatap benda itu dengan saksama, ternyata pada akhirnya semua yang ia persiapkan sudah selesai semuanya.

“Abang kecoak nih ...,” sahut Langit sembari menyilangkan kedua tangannya.

What, kecoak? Jangkrik kali Bang ....”

“Kenapa gak kelinci aja?”

“Enggak, Abang terlalu mengesalkan untuk seekor kelinci yang menggemaskan.”

Kaca seketika merasa puas saat berhasil membuat sang kakak kesal dan memasang wajah mengambeknya. Oleh sebab itu, dirinya kembali bercelatuk menyuruh sang kakak, “Ini untuk Kayu dan Abang harus mengantarkannya, titik. Valid no tawar-tawar!”

“Memang apa isinya?” tanya Langit penasaran dengan sebuah benda yang tampaknya sangat menarik.

“Rahasia dan Abang tidak boleh tahu, blee,” ejeknya pada sang kakak, hingga lelaki itu mencubit pipinya gemas. “Bang ... Sampaikan ini pada Kayu ya ...,” pintanya tulus pada sang Kakak.

“Tidak mau! Kau harus mengantarkannya sendiri. Ingat, antar sendiri!” suruh Langit pada Kaca dengan tangannya yang kini mengelus pelan rambut lembut itu, ia masih tidak terima dengan kenyataan.

🤍🤍🤍

Bola matanya mengamati sosok laki-laki dari bilik kaca kecil di pintu kamar rawat seorang Kayu. Dirinya menghirup nafas dalam-dalam sebelum tangan itu meraih ganggang pintu untuk masuk dan menghampirinya.

Langit mendapati Kayu yang tengah duduk menghadap ke arah luar jendela dengan tangannya yang sibuk memegang sebuah handphone dan earphone yang terpasang di telinganya. Sepertinya lelaki satu itu tengah sibuk mendengarkan musik untuk mengisi waktu sunyi nya.

Meskipun telinganya tertutup dengan earphone, tetap saja gerak-gerik kecil dapat dirasakannya dengan samar. Di mana tadinya yang didengar hannyalah suara musik, dan deru angin yang berembus dari jendela, kini didengarnya sebuah pintu terbuka pelan dan juga langkah kaki yang perlahan mendekat, hingga Kayu dengan cepat sadar akan hal itu.

“Ayah? Kaca?” Earphone yang tadinya menempel di telinganya, kini di lepaskan dengan tubuh yang perlahan mengarah ke arah deru nafas yang di dengarnya.

“Halo Kayu,” sapa langit pelan, suaranya tampak begitu merdu dan terdengar ramah di telinga Kayu. Bahkan sepertinya dia mengenali siapa nama dari pemilik suara ini.

“Bang Langit?” celetuk Kayu yang seketika membuat Langit tersenyum. Ternyata Kayu mempunyai ingatan yang sangat bagus, mereka hanya bertemu satu kali, dan itu pun perbincangan mereka tak berlangsung lama, karena seorang Kaca yang terus menerus berceloteh pada dua laki-laki yang sebenarnya ingin bercengkerama.

Achromatopsia, Kayu dan Kaca \\ LEE JENO \\ END✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang